Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momen

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMERIKA SERIKAT
Republik Hadang Obama di Senat

Jutaan rakyat Amerika Serikat telah memberikan suara dalam pemilihan umum sela, Selasa pekan lalu. Dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir, Partai Republik berhasil menang dalam pemilu itu dengan menguasai kursi di Senat.

Hasil tersebut menjadi pukulan keras bagi Presiden Barack Obama, yang berasal dari Partai Demokrat. Diperkirakan timbul perselisihan politik baru dalam dua tahun mendatang.

Hasil penghitungan suara awal, segera setelah tempat-tempat pemungutan suara ditutup, menunjukkan Partai Republik menguasai kursi Senat, antara lain di Arkansas, Colorado, Iowa, Montana, Carolina Utara, Dakota Selatan, dan Virginia Barat. Tak hanya di Senat, Partai Republik juga menguatkan diri di Dewan Perwakilan Rakyat.

"Sudah terlalu lama pemerintah ini mencoba memberi tahu rakyat Amerika apa yang baik bagi mereka dan kemudian menyalahkan orang lain ketika kebijakan mereka gagal," kata Mitch McConnell dari Partai Republik, yang diharapkan menjadi pemimpin Senat berikutnya, dalam pidato kemenangannya, seperti dikutip CNN, Rabu pekan lalu.

Secara total Partai Republik mendapatkan 52 kursi Senat, sementara Partai Demokrat 45 kursi—termasuk dua untuk independen. Selain pertarungan di Senat, Partai Republik menunjukkan kekuatan dalam pemilihan 435 anggota DPR, dengan menguasai 246 kursi. Pemilihan sela digelar untuk memilih 36 senator, 36 gubernur negara bagian, dan semua anggota DPR.

Pengamat mengatakan kemenangan Republik akan membuat situasi bahkan lebih buruk sebelum pemilu presiden digelar pada 2016. Hasil ini juga menjadi pukulan keras bagi Presiden Obama karena akan membatasi agenda legislatifnya dan bisa memaksanya menghabiskan waktu dua tahun sisa masa jabatan untuk melakukan perbaikan kebijakan.

BURKINA FASO
Politikus Sepakati Masa Transisi

Partai-partai politik di Burkina Faso menyetujui masa peralihan negara itu selama setahun, yang segera diikuti pemilihan umum pada 2015. Tapi perundingan pada Rabu pekan lalu di Ouagadougou, ibu kota negara, untuk membahas keadaan krisis itu berakhir tanpa kesepakatan mengenai siapa yang akan memimpin pemerintahan transisi.

Setelah penggulingan Presiden Blaise Compaore, yang telah berkuasa 27 tahun, kekuasaan kini berada di tangan militer. Kudeta oleh militer ini mendapat kecaman keras dari oposisi dan rakyat Burkina Faso, termasuk negara-negara tetangga dan Uni Afrika. Kepada Letnan Kolonel Isaac Zida, yang mengambil alih kepemimpinan dari Compaore, Uni Afrika menuntut pengunduran diri dalam waktu dua minggu. Uni Afrika siap menjatuhkan sanksi jika militer bertahan.

Kepala Angkatan Udara Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika Simeon Oyono Esono mengatakan kudeta itu berlawanan dengan demokrasi. Meski demikian, Uni Afrika meyakini tekanan masyarakatlah yang membuat Compaore bisa digulingkan. "Kekacauan ini yang menjadi celah bagi angkatan bersenjata untuk mengambil alih," kata Esono, seperti dilansir Al Jazeera, Senin pekan lalu.

Pada Ahad lalu, ribuan orang berkumpul di lapangan utama Ouagadougou untuk memprotes pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

Letnan Kolonel Zida sendiri sudah mengatakan militer akan segera menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah transisi dan menunjuk seorang kepala negara. "Kami akan bergerak cepat, tapi mesti hati-hati untuk menghindari kesalahan agar negara kami tidak hancur," katanya.

UKRAINA
Kecaman untuk Pemilu Ukraina Timur

Pemimpin kelompok separatis Ukraina, Alexander Zakharchenko, telah diambil sumpah sebagai presiden pada Selasa pekan lalu. Zakharchenko menjadi presiden bagi wilayah yang disebut Republik Rakyat Donetsk, yang merupakan basis kelompok pro-Rusia.

"Kita akan memulai sejarah baru dalam pelantikan presiden hari ini, dan apa yang akan terjadi akan terus berulang di masa yang akan datang," kata Andrei Purgin, tokoh separatis pro-Rusia, seperti dikutip Reuters.

Pada Ahad dua pekan lalu, kelompok separatis pro-Rusia menggelar pemilihan umum sendiri untuk mencari pemimpin bagi wilayah Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Zakharchenko menang dalam pemilu di Republik Rakyat Donetsk, sedangkan Igor Plotnitsky menang di Luhansk.

Presiden Ukraina Petro Poroshenko menolak pemilu yang dianggap tak sah itu. Ia menilai terpilihnya kedua pemimpin itu sebagai lelucon tak bermutu. "Saya berharap Rusia tidak akan menerima hasil pemilu. Hal ini jelas melanggar Protokol Minsk, yang juga ditandatangani oleh Rusia," katanya, mengacu pada perjanjian internasional yang dimaksudkan untuk mengakhiri pertempuran antara kelompok separatis dan pasukan Ukraina.

Kecaman juga datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menilai pemilu di Ukraina Timur tak berguna dan kontraproduktif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus