Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Penumpang Gelap Kemerdekaan Berpendapat

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ERA digital ini, penumpang gelap kemerdekaan berpendapat itu bernama Triomacan2000—juga sejumlah nama lain yang sejenis. Menggunakan akun samaran—menyembunyikan identitas asli untuk menutupi kejahatan—mereka mengambil keuntungan ketika informasi datang bagai bah, membanjiri situs-situs media sosial. Menggunakan situs microblogging, Twitter, mereka menebarkan cerita kontroversial buat menarik pengikut. Meski serial cerita itu sering merupakan bauran antara data dan khayalan, sebagian follower telanjur mempercayainya.

Twitter, yang hanya menyediakan maksimal 140 karakter untuk sekali unggah, memiliki kekuatan cukup signifikan. Selain sebagai aplikasi untuk jejaring pertemanan, media sosial ini bisa dipakai untuk membuat gerakan sosial—terjadi misalnya pada mobilisasi masyarakat yang membela Komisi Pemberantasan Korupsi ketika berkonflik dengan polisi pada 2012. Informasi yang ­beredar di Twitter sering bahkan dijadikan rujukan oleh media "konvensional".

Dengan kekuatan media yang relatif baru itulah, menurut polisi, pengelola kelompok Triomacan2000 memeras sejumlah korbannya. Mereka awalnya menebarkan cerita tentang "kejahatan" korban. Gambar-gambar, yang sering merupakan hasil rekayasa, juga diunggah dalam serial cuitan agar meyakinkan. Cerita yang sama kemudian ditayangkan di portal berita yang juga dikelola kelompok ini. Lalu korban ditekan agar memberikan sejumlah uang agar tulisan-tulisan itu dihapus dari dunia maya. Pekan lalu, polisi menangkap tiga orang yang ditengarai merupakan administrator Triomacan2000. Mereka adalah Edi Syahputra, Raden Nuh, dan Koes Hardjono.

Pemerasan yang dilakukan kelompok Triomacan2000 memang bukan modus baru. Koran-koran "kuning" biasa melakukannya di masa lalu. Namun penggunaan media sosial oleh kelompok itu menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar bagi korbannya. Sebab, hal yang digunjingkan di media sosial memiliki efek viral, menyebar cepat dari satu orang ke orang lain seperti virus. Selain itu, koran kuning bisa dimintai pertanggungjawaban karena memiliki "nama": tak seperti akun anonim, surat kabar mencantumkan nama pengurus redaksi dan alamat kantornya.

Kelompok Triomacan2000 dan semacamnya memanfaatkan keunggulan sekaligus kelemahan media sosial. Di komunitas virtual ini, hampir semua perkembangan sosial politik dibicarakan secara langsung dan tanpa batas. Semua orang berbicara dalam posisi yang setara: mereka dapat menjadi narasumber sekaligus penulis berita. Setiap orang juga bisa terlibat aktif dalam pertukaran informasi. Walhasil—dan ini kelemahannya—suatu informasi bisa dipercaya meski kebenarannya belum terverifikasi.

Di beberapa negara, akun anonim sebenarnya bisa dipakai untuk mengungkap sejumlah skandal. Mereka menggunakannya sebagai sistem "peniupan peluit" atau whistleblowing. Tapi yang dilakukan kelompok pengelola akun Triomacan2000 jauh dari kegiatan mulia itu. Mereka memakai identitas palsu justru buat melakukan tindak kriminal.

Tidak ada kata terlambat bagi polisi untuk membongkar kejahatan ini. Langkah aparat penegak hukum menangkap pengelola akun anonim dengan tuduhan pemerasan itu perlu dihargai. Korban-korban pemerasan lain semestinya segera melapor ke polisi agar perkara ini bisa ditelisik lebih jauh. Penggunaan pasal pemerasan jelas memudahkan kerja polisi ketimbang membuktikan bahwa ketiga orang tersebut adalah admin akun abal-abal itu. Meski bukan tak mungkin, yang terakhir membutuhkan pembuktian forensik yang tak sederhana.

Perkara pemerasan sebaiknya dijadikan awal pengusutan kasus yang lebih besar. Sebab, kuat diduga, kelompok pengelola Trio­macan2000 juga berafiliasi dengan sejumlah mantan petinggi negeri, yang bisa jadi menggunakan akun itu sebagai alat penekan demi kepentingan mereka.

Akun Triomacan2000 terbukti telah digunakan untuk menyerang pihak yang berseberangan secara politik. Mereka melancarkan propaganda gelap pada masa pemilihan presiden lalu, misalnya menyerang Joko Widodo menggunakan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan. Hal yang sama mereka lakukan pada waktu pemilihan Gubernur DKI pada 2012.

Penyidik kepolisian perlu mengungkap kekuatan yang pernah memakai "jasa" kelompok itu. Selain memeras, berdasarkan keterangan orang dalam, kelompok Triomacan2000 diduga menerima imbalan untuk menebarkan kampanye gelap selama masa kampanye. Proyek untuk kepentingan satu kelompok politik ini jelas merusak demokrasi. Pengusutan ini penting agar kekuatan media sosial tidak disalahgunakan. Penumpang gelap tidak seharusnya diberi tempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus