Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BURMA
Suu Kyi Ikut Pemilu
Mantan tahanan politik sekaligus aktivis hak asasi manusia Burma, Aung San Suu Kyi, akan ambil bagian dalam pemilihan umum mendatang. Partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengakhiri masa boikot politiknya pada Jumat pekan lalu.
"Daw Suu (panggilan hormat untuk perempuan Burma) berencana mengambil bagian dalam pemilu mendatang," ujar juru bicara NLD, Nyan Win. Menurut Win, Suu Kyi hadir dalam rapat delegasi partai dan memutuskan mendaftarkan ulang NLD.
Ada 48 kursi parlemen yang akan diperebutkan dalam pemilu. Namun hingga kini belum ditentukan kapan pemilu berlangsung. Pemilu ini merupakan yang pertama selama 20 tahun sejarah politik Burma.
Partai NLD menang besar dalam pemilu 1990. Namun junta militer yang berkuasa tidak rela NLD mengambil alih kekuasaan. Berkat kegigihan pendiriannya melawan junta militer hingga dihukum sebagai tahanan rumah, Suu Kyi diganjar Nobel bidang perdamaian pada 1991. n
SPANYOL
Mariano Rajoy, Perdana Menteri Baru
Mariano Rajoy terpilih sebagai Perdana Menteri Spanyol menggantikan Jose Luis Rodriguez Zapatero, Ahad dua pekan lalu. Pria kelahiran 27 Maret 1955 ini adalah politikus dari Partai Rakyat Sosial.
Rajoy mengawali karier politiknya pada 1981 sebagai politikus sayap kanan dari Partai Aliansi Masyarakat (AP). Ia pernah menjabat menteri sekretaris negara pada 2002-2003 dan menteri dalam negeri 2001-2002.
Rajoy memenangi pemilu karena dianggap mampu menstabilkan kondisi perekonomian Spanyol, yang terkena dampak krisis yang melanda Eropa. Namun kelompok progresif Spanyol ragu terhadap kepemimpinan Rajoy. Ia dianggap sebagai ancaman bagi proses pengesahan undang-undang pernikahan sesama jenis.
Sebelumnya, kepada Reuters, Rajoy menyatakan mendukung pembentukan wadah bagi pernikahan sesama jenis. Namun ia tidak bisa menganggap pernikahan yang dilakukan pasangan sesama jenis sebagai pernikahan yang sah.
MESIR
Mesir Kembali Bergolak
Demonstrasi di Lapangan Tahrir semakin panas dan korban terus berjatuhan. Sejak aksi dimulai Sabtu dua pekan lalu, jumlah korban tewas terus bertambah, menjadi 35 orang, sedangkan korban terluka setidaknya sudah mencapai 2.000 orang.
Rabu pekan lalu, tiga orang di Tahrir Square tewas. Unjuk rasa kemudian berlanjut di timur laut Kota Mersa Matruh, yang menyebabkan empat orang tewas sehari kemudian. Di Kota Alexandria, ratusan orang bahkan meneriakkan protes di depan markas militer.
Imam Besar Masjid Al-Azhar, Syekh Ahmed al-Tayeb, mengatakan aksi apa pun yang dilakukan di Mesir saat ini hanya akan memperburuk keadaan dan mengakibatkan lebih banyak pertumpahan darah. "Karena itu, kami (Al-Azhar) meminta polisi mengurangi penggunaan senjata dalam menghadapi aksi pengunjuk rasa," ujarnya.
Komisioner Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Navi Pillay, mengaku sangat terkejut oleh aksi belakangan ini. Pillay meminta pemerintah transisi memperjelas tujuan sebelum memilih menggunakan senjata dan kekuatan militer dalam merespons tuntutan pengunjuk rasa.
Mesir memang kembali bergolak setelah berlangsung demo menuntut kejelasan alih kekuasaan dari pemerintah militer transisi ke pemerintah sipil. Pengunjuk rasa terus menagih janji peralihan kekuasaan hingga pemilu presiden dilangsungkan.
Menurut rencana, Mesir akan mengadakan pemilu anggota parlemen pada Senin pekan ini. Sedangkan pemilu presiden akan dilakukan tahun depan. Pemerintah transisi menjamin pemilihan presiden dilakukan pada Juni atau lebih awal enam bulan dari rencana sebelumnya.
Akibat kondisi yang terus memanas di Tahrir Square, pemerintah transisi menjadi serba salah. Pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban yang meninggal saat unjuk rasa berlangsung. Melalui Facebook, pemerintah menyatakan, "Dewan Tinggi militer dan seluruh pasukan keamanan menyesal serta meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kematian para martir selama peristiwa di Tahrir Square."
Permintaan maaf ini diumumkan setelah pemimpin lapangan Dewan Tinggi Militer dan Pasukan Keamanan Mesir (SCAF), Marsekal Hussein Tantawi, yang bertugas mengamankan aksi di Tahrir, dianggap gagal. Ia diprotes karena tidak menyebutkan bahwa penyebab kematian 35 pengunjuk rasa adalah tindakan ceroboh polisi.
YAMAN
Presiden Saleh Mengundurkan Diri
Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh akhirnya bersedia meletakkan jabatan setelah 33 tahun berkuasa. Saleh menandatangani kesepakatan pengunduran diri di depan perwakilan negara-negara Arab, Rabu pekan lalu.
Sambil tersenyum, Saleh menyatakan penandatanganan kesepakatan bukan hal penting. "Yang paling penting adalah perhatian dan dedikasi serius dalam membangun kembali semua yang telah hancur selama krisis sepuluh bulan terakhir," katanya setelah menandatangani persetujuan di hadapan Raja Arab Abdullah.
Dewan Kerja Sama Negara-negara Arab memberi Saleh waktu 30 hari untuk menandatangani kesepakatan mundur dan mengalihkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Abed Rabbo Mansour. Sebelumnya, Saleh ragu-ragu menandatangani kesepakatan ini dan tiga kali ingkar janji atas rencananya untuk mundur.
Kesepakatan mundur ditandatangani setelah permintaan Saleh agar ia tidak dibawa ke pengadilan dikabulkan Dewan Kerja Sama Negara-negara Arab. Dia juga berjanji tidak akan kabur apabila keinginan itu dipenuhi.
Pemimpin Aksi Utama di Sanaa, Walid al-Amari, menyatakan kesepakatan mundurnya Saleh belum memenuhi keinginan rakyat Yaman. Ia menegaskan ada dua keinginan rakyat Yaman yang harus terus diperjuangkan, yaitu reformasi dan demokrasi di Yaman serta penyerahan Ali Abdullah Saleh ke pengadilan.
"Kami akan terus melakukan aksi, dari jalan hingga ruang publik, sampai tuntutan kami yang direncanakan sebelumnya terpenuhi," kata Al-Amari.
RUSIA
Ancaman untuk Gudang Senjata Amerika
Rusia mengancam akan mengarahkan rudal ke sistem pertahanan rudal Amerika Serikat apabila Washington gagal meredakan kekhawatiran Moskow tentang apa sebenarnya yang sedang direncanakan. Kekhawatiran ini muncul sekalipun Presiden Barack Obama berupaya memperbarui hubungan dengan Kremlin.
"Kami masih berharap bisa mencapai kesepakatan di bidang pertahanan dan persenjataan, tapi tampaknya Amerika malah mengabaikan semua kekhawatiran kami," ujar Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Rabu pekan lalu.
Medvedev menegaskan Rusia akan melancarkan tindakan balasan apabila Amerika terus membangun sistem pertahanan tanpa jaminan legal bahwa sistem itu bukan untuk digunakan terhadap Rusia.
Menanggapi pernyataan itu, salah satu pejabat Pentagon mencoba meyakinkan bahwa kerja sama pertahanan antara Amerika, Eropa, dan sekutunya, NATO, tidak ditujukan untuk mengancam persenjataan nuklir Rusia. "(Sistem) ini dirancang untuk membantu menahan dan melumpuhkan ancaman rudal balistik terhadap Eropa dan sekutu kami dari Iran," ujar pejabat yang tidak ingin identitasnya diungkap itu.
Juru bicara Gedung Putih, Tommy Vietor, menyatakan Amerika tetap meneruskan kerja sama dengan Moskow dan ingin kerja sama itu segera direalisasi. "Sistem pertahanan rudal yang direncanakan dibangun di Eropa tidak mungkin bisa mengancam strategi pertahanan Rusia," katanya.
Meski sudah diyakinkan, Presiden Medvedev tetap meminta persetujuan yang mengikat. "Ketika kami mengusulkan menuliskannya di atas kertas dalam wujud kewajiban hukum yang tegas dan jelas, saya malah mendengar banyak terjadi penolakan," ujarnya.
Cheta Nilawaty (AP, Guardian, Huffington Post, Telegraph, Wikipedia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo