Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses penyitaan tanah seperti itu di Zimbabwe memang suatu tindakan yang legal. Sebab, pemerintahan Mugabe telah mengubah undang-undang kepemilikan tanah yang memungkinkan pihak pemerintah mengambil alih tanah milik orang kulit putih tanpa kompensasi, 24 Mei lalu. Presiden Mugabedengan bantuan dari Presiden Afrika Selatan, Tabo Mbekitelah menyediakan US$ 14 juta untuk menuntaskan program land reform yang dicanangkannya sejak 1980, yakni sejak Zimbabwe merdeka dari Inggris.
Kepemilikan tanah di Zimbabwe memang timpang. Tak kurang dari 4.500 petani kulit putih menguasai 70 persen tanah pertanian, sementara sisanyatanah yang kurang suburdimiliki oleh petani kulit hitam. Padahal, penduduk kulit putih hanya satu persen dari total 11 juta penduduk.
Karena itu, isu tanah pun berubah menjadi konflik dengan kekerasan setelah sekelompok milisi veteran perang mulai menduduki pertanian kulit putih pada Februari silam. Mugabe membiarkan bahkan mendukung pendudukan tersebut dengan alasan bahwa tanah Afrika adalah hak bangsa Afrika.
Kontan sikap Mugabe tersebut makin meningkatkan suhu politik di dalam negeri. Hingga akhir pekan lalu, masalah pendudukan tanah pertanian kulit putih itu telah menelan korban 27 orang tewas dan empat di antaranya adalah warga kulit putih. Pada 31 Mei silam, seorang diplomat Inggris, Nick Syrett, yang sedang berlibur di Umsengesikota di utara Hararediculik dan dipukuli oleh kelompok yang mengaku pro-Mugabe. Seorang kandidat dari partai oposisi Movement for Democratic Change (MDC), Thadeus Rukuni, juga mati tertembak.
Mugabe memang identik dengan soal tanah bagi warga kulit hitam. Puluhan tahun lamanya, pria berusia 76 tahun yang pernah fanatik memegang ideologi Marxis itu mencoba mengangkat isu tanah tersebut menjadi isu Afrika. Beberapa negara Afrika yang pernah dijajah Inggris, seperti Namibia dan Afrika Selatan, juga mengalami persoalan dalam penguasaan kepemilikan tanah oleh orang kulit putih. "Orang Zimbabwe menolak diperintah oleh orang asing. Itulah mengapa kami ingin mengambil tanah kami kembali," kata Mugabe dalam pidato di Hari Afrika pekan silam.
Tidak aneh bila banyak pihak yang meramalkan bahwa suhu politik di Zimbabwe akan semakin panas menjelang pemilihan umum anggota parlemen pada 24-25 Juni 2000. Partai oposisi MDC, yang mencium bau ketidakberesan dalam pemilu, sudah menyatakan akan memboikot pemilu, April lalu. Negara-negara Persemakmuran dan beberapa negara anggota Uni Eropa telah mengirimkan tim untuk mengawasi jalannya pemilu tersebut, bernama Club's 44, yang mulai memantau masa kampanye awal bulan ini.
Bagi Mugabe, yang menjadi presiden sejak 1980, isu tanah bisa menjadi kendaraan politik terbaik untuk kembali menduduki kursi kepresidenan. Mugabe tak mungkin merebut hati rakyat dengan mengangkat isu perbaikan ekonomi. Sebab, perekonomian Zimbabwe telah telanjur terpuruk sejak krisis ekonomi pada 1998. Mata uang dolar Zimbabwesuatu saat pernah lebih kuat dari dolar ASnilainya telah merosot 70 persen pada 1998. Tingkat inflasi mencapai 40 persen dan rakyat kekurangan makan karena harga makanan melonjak hingga 20 kali sejak 1990. "Kami begitu miskin hingga tak mungkin membuat rencana jangka panjang," tutur Ropafadzo Mapimhidze, wartawan harian Herald. Dan menurut penelitian Yayasan Helen Suzman, jebloknya perekonomian adalah kesalahan pemerintahan Mugabe.
Tampaknya, isu tanah memang sangat cocok dengan karakter Mugabe. Pria lulusan Universitas Fort Hare, Afrika Selatan, itu memang sejak semula telah berjuang di jalur hak bangsa Afrika. Mugabe pernah bergabung dengan milisi melawan pemerintahan kulit putih di Rhodesiademikian nama lama Zimbabwe. Setelah menjadi presiden, Mugabe langsung mencanangkan program land reform untuk mengubah komposisi kepemilikan tanah antara warga kulit putih dan bangsa Zimbabwe yang sangat senjang. Dan tampaknya, Mugabe akan terus melaju dengan perjuangan hak bangsa Zimbabwe atas tanah. Tapi berapa banyak korbankah?
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo