Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Goodbye Speight, Welcome Komodor

Kekuasaan Speight hanya bertahan sepuluh hari. Militer kembali berkuasa, masa depan Fiji penuh tanda tanya.

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perhelatan minum sava di Barak Queen Elizabeth, Suva, pada hari Kenaikan Isa Almasih Kamis silam, bukanlah ritual biasa. Pada hari itu, pemimpin kudeta George Speight bertemu dengan Kepala Royal Fijian Military Forces, Komodor Frank Bainimarama, dan para pemimpin dari Dewan Pemimpin Informal Fiji (GCC) bertemu untuk pertama kalinya. Mereka merundingkan penyelesaian krisis antaretnis Fiji-India serta pembebasan 30 sandera. Pertemuan tertutup yang berlangsung sekitar tiga jam itu dihangatkan dengan minum sava—jenis minuman beralkohol khas Fiji. ”Itulah yang disetujui Frank Bainimarama dan saya, sebagai definisi luas kepercayaan baik,” tutur Speight.

Menurut Kapten Erony Volavola, pertemuan itu menghasilkan terobosan yang berarti. Speight sepakat membebaskan ke-30 sandera, tidak lebih dari 36 jam, walaupun belum disebut rincian pembebasannya. Bahkan Speight sudah bisa menerima bahwa dirinya tidak mungkin menjadi perdana menteri, tapi bisa memperoleh amnesti. Selain itu, Komodor Bainimarama mengangkat Ratu Timoci Silatol, anggota parlemen yang bekas teknisi perusahaan telekomunikasi Fiji, sebagai pejabat perdana menteri.

Selesaikah persoalan?

Tampaknya belum. Menurut Jim Rolfe, analis dari Universitas Victoria, Wellington, kembalinya militer ke tampuk pemerintahan itu justru awal dari persoalan yang sebenarnya di Fiji. Negara dengan julukan Sorga di Pasifik itu bisa kembali ke keadaan tak menentu. Krisis yang dipicu oleh kudeta Speight dengan mengangkat isu ”menaikkan harkat etnik Fiji” itu bisa berubah menjadi era penindasan baru di bawah kontrol Komodor Bainimarama.

Naga-naganya sudah tampak. Setelah mengumumkan bahwa militer mengambil alih kontrol pemerintahan pada 29 Mei 2000, Bainimarama mengeluarkan perintah ”tembak di tempat” bagi para perusuh.

Hari berikutnya, Bainimarama mengumumkan dua buah dekrit. Yang pertama, menghapus semua hak amendemen yang diberikan kepada parlemen, sekaligus memberikan hak kepada Bainamarama untuk membuat dekrit selanjutnya. Dekrit kedua menyatakan bahwa segala aturan hukum yang ada hanya berlaku hingga 29 Mei 2000.

Tampaknya, Bainimarama memang sigap. Sang Komodor tahu bahwa ia harus mendekati GCC—dewan ”sakral” berusia 125 tahun yang berisi para tokoh sesepuh Fiji—sebelum berunding dengan Speight. Bainimarama juga bisa dengan halus menyingkirkan Presiden Ratu Sir Kamisese Mara sekaligus mengumumkan bahwa Perdana Menteri Mahendra Chaudhry tak mungkin menjabat kembali setelah krisis ini usai. Ternyata, semua tindakan Bainimarama ini mendapat restu GCC.

Menurut Rolfe, Bainimarama memang ”belajar” dari kesalahan Jenderal Sitiveni Rabuka, yang pernah melakukan kudeta pada 1987 dan menjabat perdana menteri dari 1992 hingga 1999. Pada masa Rabuka, warna kekerasan sangat kentara. Apalagi terjadi diskriminasi terhadap etnis India.

Adapun Bainimarama memilih pendekatan yang halus dalam mencari dukungan dari kalangan militer. Dia tak langsung bertindak setelah Speight dan anak buahnya mengambil alih kekuasaan pada 19 Mei silam. Komodor yang seangkatan dengan Rabuka ini juga mengumumkan penerapan keadaan darurat dengan hati-hati, sehingga tidak memicu ketegangan. ”Bainimarama tampak cermat berhitung untuk tidak memicu kemarahan pengikut Speight,” kata Rolfe.

Betapapun canggihnya teknik Bainimarama, apa yang terjadi dalam dua minggu di Fiji itu bisa membawa kebaikan bagi negara kepulauan tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Menurut Brij V. Lal, Kepala Pusat Kajian Pasifik Kontemporer di Universitas Nasional Australia, krisis yang terjadi di Fiji ini bukanlah konflik etnis, tapi kekuasaan. Sebab, menurut Lal, yang juga ikut menyusun Undang-Undang 1997—yang tidak diskriminatif—krisis ini hanya akan menjadikan isu perbedaan etnis dan pemurnian identitas Fiji sebagai pembenaran dari penindasan terhadap kelompok tertentu. ”Sebenarnya, tidak ada masalah yang serius tentang etnis dan identitas di Fiji,” kata profesor sejarah yang juga kelahiran Fiji itu.

Lalu kepentingan siapa yang akan digunakan oleh Komodor Bainimarama sebagai legitimasi kekuasaan militernya?

Bina Bektiati (dari berbagai sumber)


Kudeta di Fiji: dari Speight ke Bainimarama

19 Mei
George Speight memimpin sekelompok sipil bersenjata menyerang gedung parlemen dan menyandera Perdana Menteri Mahendra Chaudhry, anggota kabinet, dan anggota parlemen. Kudeta tersebut berlang-sung bersamaan dengan perayaan setahun terpilih-nya Chaudhry. Kerusuhan terjadi di kota dengan target perusakan toko-toko milik keturunan India.

20 Mei
Speight mengangkat diri sebagai pejabat perdana menteri, sekaligus menging-kari bahwa anak buahnya telah memukuli Chaudhry. Dua puluh sandera dan lima anggota parlemen dibebaskan.

21 Mei
Speight mengancam akan membunuh para sandera, termasuk Chaudhry, jika tidak diizinkan memimpin Fiji.

22 Mei
Speight akhirnya mengakui bahwa Chaudhry telah dipukuli. Presiden Ratu Sir Kamisese Mara menyatakan tidak bisa menjamin Chaudhry akan tetap menjadi perdana menteri bila krisis usai.

23 Mei
Dewan Pemimpin Informal Fiji (GCC) menyerukan agar pemimpin kudeta membebaskan para sandera. Rencana penandatanganan kesepakatan baru antara negara-negara Uni Eropa dan 71 negara bekas jajahan Inggris, yang seharusnya terjadi pada Juni di Fiji, batal.

25 Mei
Dewan Pemimpin Informal menyarankan agar posisi Chaudhry digantikan oleh orang Fiji asli. Para pemimpin kudeta kembali menyatakan menolak membebaskan sandera.

26 Mei
Amerika Serikat mengan-cam akan menjatuhkan sanksi. Kelompok Speight tampak berpesta-pora di depan gedung parlemen, meraya-kan kemenangan atas tentara Fiji.

27 Mei
Presiden Mara membubarkan pemerintahan Chaudhry, tapi dirinya tetap berada di posisi presiden.

28 Mei
Speight mengumum-kan akan memerintah berdasarkan dekrit selama setahun karena kelompok pendukungnya masih melakukan kekerasan di berbagai sudut kota.

29 Mei
Pemimpin militer, Komodor Frank Bainimarama, mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang dan mengambil alih tampuk eksekutif. Tentara di Suva diperintahkan ”menembak mati” demi mempertahankan stabilitas.

30 Mei
Presiden Mara mengun-durkan diri.

1 Juni
Perundingan pertama antara Speight, Bainimarama, dan Dewan Pemimpin Informal untuk membicarakan pembebasan 30 sandera. Pihak militer menyatakab pertemuan ini sebagai terobosan dan sandera akan dibebaskan dalam waktu 36 jam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus