Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Patah Tumbuh Warisan Deppen

Gubernur Jawa Timur diprotes. Ia dianggap mengembalikan fungsi kontrol terhadap media melalui Dinas Informasi dan Komunikasi Daerah. Terjadi salah interpretasi atau ada tujuan terselubung?

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur sungguh ramai, Selasa pekan lalu. Gedung di Jalan Indrapura, Kemayoran,Surabaya, itu dipenuhi sejumlah praktisi penyiaran. Mereka menemui Komisi A DPRD Jawa Timur untuk melontarkan unek-unek. Di hadapan anggota dewan yang terhormat, mereka, para pengurus pusat dan daerah Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), memprotes Surat Keputusan (SK) Gubernur Ja-Tim, Imam Utomo, yang membentuk Dinas Informasi dan Komunikasi Daerah (DIKD). Ini peristiwa unik. Soalnya, selain di Jawa Timur, lembaga ini sebenarnya dibentuk juga di berbagai daerah lain untuk menampung mantan karyawan Departeman Penerangan. Namun, hanya DIKD Ja-Tim, yang sedianya mulai beroperasi sepekan setelah keputusannya diteken Pak Gub, 13 Mei lalu, yang menuai protes. Rupanya dinas informasi versi Imam Utomo itu diwarnai beberapa cacat yang membuat kalangan praktisi penyiaran naik darah. Tepatnya, dua pasal dalam SK itu mereka pandang memasung kebebasan pers. Itulah kewenangan DIKD Ja-Tim mengoordinasi penyelenggaraan kegiatan informasi, komunikasi, dan media massa, juga hak merekomendasi perizinan serta memantau penyelenggaraan kegiatan siaran. Yang lebih edan lagi, SK ini menetapkan DIKD Ja-Tim boleh memonitor serta memberi petunjuk teknis di bidang penerbitan—berikut mengevaluasi media informasi cetak. Keputusan ini kontan mendatangkan reaksi, "SK itu harus dibatalkan karena membuat DIKD berfungsi mengontrol media penyiaran," ujar Wolly Baktiono, Ketua PRSSNI Jawa Timur. "Keputusan itu melanggar Undang-Undang Pers (1999), yang melarang sensor," ia memberi alasan. Menurut Wolly, SK ini menempatkan pemerintah sebagai pemantau kegiatan pers—yang seharusnya jadi tanggung jawab masyarakat. Substansi SK ini bukan cuma melibas Undang-Undang Pers, tapi juga UUD 1945, yang menjamin kebebasan setiap warga negara mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Anggota dewan di Jawa Timur rupanya melihat hal serupa. Tiga hari setelah protes pengurus PRSSNI, sebuah dengar pendapat antara Komisi A, Pemda Jawa Timur, dan DIKD digelar untuk membahas protes itu. Hasilnya? "Kita perlu kejelasan soal Dinas Informasi dan Komunikasi Daerah Ja-Tim karena menyangkut masalah hajat hidup orang banyak," ujar Djarot Saiful Hidayat, ketua komisi yang memimpin sidang. Pertemuan itu ditutup dengan tiga alternatif jawaban dari DPRD: operasional lembaga informasi daerah ini harus ditunda, direvisi, atau dicabut. Kesepakatan lain: akan ada pertemuan lanjutan untuk membuat peraturan daerah (perda) tentang landasan hukum DIKD. Lo, apa perlunya perda? Masalahnya, urusan penyiaran yang diteken gubernur jelas-jelas menyangkut pengaturan hak publik termasuk sanksinya. Nah, semua yang menyangkut hajat publik harus diputuskan melalui perda—tak cukup bila cuma diteguhkan selembar SK kepala daerah. Dengan alasan ini pula, Hinca Panjaitan, konsultan hukum PRSSNI Pusat, menjelaskan SK itu harus batal demi hukum. Alhasil, selain menyodorkan tiga alternatif keputusan di atas, Komisi A DPRD Ja-Tim sepakat merevisi jalur keputusan: dari SK gubernur ke perda. Bagaimana sikap pemerintah daerah? "Ya, nanti kita revisi," ujar Akhmadsyah Naina, enteng. Mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Penerangan Jawa Timur itu terlibat aktif dalam rancangan SK itu. Bekas Direktur Pembinaan Wartawan Deppen ini menyebutkan DIKD dibentuk dengan SK gubernur, dan bukan lewat jalur perda, karena lembaga itu didirikan tergesa-gesa—tanpa merinci alasan mereka mengejar waktu. Jawaban lebih pasti seharusnya datang dari Imam Utomo. Tapi, ketika dihubungi TEMPO, ia mewakilkan urusan ini ke Naina. Barulah pada Jumat siang, minggu lalu, Imam akhirnya menggelar jumpa pers di Surabaya. Dan ia membantah menjadikan dinas informasi itu sebagai "satpam" media massa: "DIKD dibentuk untuk memudahkan koordinasi dalam hal fungsi penerangan masyarakat, bukan untuk memasung kebebasan pers," ujarnya. Jika cuma koordinasi, memang tidak ada masalah. Justru lembaga seperti ini, menurut Ketua Dewan Pers Atmakusumah, dapat memasok aneka informasi yang diperlukan masyarakat—seperti yang sudah banyak diterapkan di negara-negara maju. Hanya, Akhmadsyah Naina bersikukuh DIKD tetap harus diberi wewenang mencegah penguasaan perizinan radio hanya oleh kelompok tertentu, dan pengaturan frekuensi penyiaran radio lokal. Namun, logika ini juga kurang masuk akal. Sebab, sampai sekarang pengaturan frekuensi merupakan wewenang Departemen Perhubungan. Dengan lain kata, Pak Gubernur boleh-boleh saja menampung dan mendayagunakan para karyawan bekas Departemen Penerangan di daerahnya, tapi—tentunya—tanpa melahirkan kembali wewenang sensor warisan Orde Baru. Hermien Y. Kleden, Zed Abidien (Surabaya), Ardi Bramantyo, Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus