Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YANGON - Militer Myanmar disebut telah merencanakan pembunuhan besar-besaran atau genosida terhadap warga etnis Rohingya secara sistematis beberapa bulan sebelum serangan milisi Rohingya pada Agustus lalu. Hal ini diungkapkan kelompok hak asasi manusia Fortify Rights berdasarkan kesaksian dari 254 orang yang terdiri atas penyintas, pejabat, dan pekerja selama investigasi 21 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dilansir Al Jazeera kemarin, laporan Fortify Rights setebal 162 halaman menunjukkan militer Myanmar, yang disebut Tatmadaw, mulai melakukan serangan terhadap etnis Rohingya sejak Oktober 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, militer Myanmar dan pejabat daerah melarang keberadaan benda tajam yang dapat digunakan sebagai alat bela diri warga Rohingya. Pihak berwenang juga menghancurkan pagar rumah-rumah warga etnis Rohingya untuk memudahkan serangan militer.
Selain itu, bantuan internasional bagi masyarakat Rohingya diputus. Pasukan militer dikirim ke Negara Bagian Rakhine utara, tempat sebagian besar warga Rohingya hidup tanpa kewarganegaraan.
"Militer Myanmar ingin dunia percaya bahwa operasi keamanan brutal yang mereka lakukan bertujuan memerangi terorisme di Negara Bagian Rakhine, dan ini adalah respons spontan atas serangan ARSA (Tentara Pembebasan Rohingya Arakan)," ucap Matthew Smith, Kepala Fortify Rights, kepada Al Jazeera.
"Namun kami telah mendokumentasikan bahwa militer melakukan persiapan sistematis berminggu-minggu dan berbulan-bulan sebelum 25 Agustus 2017, yakni saat serangan oleh militan Rohingya terjadi," ia menambahkan.
Fortify Rights menyatakan ada sekitar 27 batalion tentara Myanmar dengan 11 ribu tentara, dan tiga batalion polisi tempur dengan sekitar 900 personel, yang berpartisipasi dalam serangan pada akhir Agustus 2017. Pertumpahan darah itu berlanjut selama berminggu-minggu sesudahnya.
The New York Times melansir, eksodus sekitar 700 ribu warga etnis Rohingya ke Bangladesh pada tahun lalu merupakan akibat dari pembantaian massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa hasil operasi militer di Rakhine.
"Genosida ini tidak terjadi secara spontan," ujar Smith. "Impunitas atas kejahatan ini akan membuka jalan bagi lebih banyak pelanggaran dan serangan di masa mendatang."
Pemerintah militer dan sipil Myanmar menggambarkan tindakan keras itu sebagai operasi untuk membersihkan teroris. "Tidak ada genosida dan pembersihan etnis di Myanmar," kata Zaw Htay, juru bicara pemerintah. THE NEW YORK TIMES | TIME | AL JAZEERA | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo