KATA orang-orang di ibu kota Burma, rezim militer mengganti nama negeri ini karena usul dari dukun. Kata Wakil Menteri Luar Negerinya, itulah upaya memperkukuh kesatuan bangsa dan negara. Sejak Senin pekan lalu secara resmi Negeri Seribu Pagoda berganti nama menjadi Myanmar. "Burma itu nama satu suku bangsa kami," kata U Ohn Gyaw, Wakil Menlu itu, kepada koresponden TEMPO Yuli Ismartono di Yangon -- nama baru untuk Ibu Kota Rangoon. "Sedangkan Myanmar dalam bahasa kami berarti seluruh negara kita." Setidaknya, memang negeri ini tak lalu menonjolkan ras Burma yang sejak kemerdekaan 1948 mendominasi panggung politik. Untuk mempersatu bangsa atau karena saran dukun, penggantian nama itu tak mengubah apa pun bagi Aung San Suu Kyi pemimpin partai Liga Nasional Demokrasi (LND), partai oposisi terbesar kini. "Semua itu hanya merupakan langkah untuk memperkuat kedudukan pemerintah," katanya. "Semakin banyak yang diubah, makin banyak yang tak berubah," kata seorang warga Yangon pula. Bersamaan dengan peresmian penggantian nama itu, pemerintahan militer Jenderal Saw Maung mulai membuka kembali sekolah-sekolah dasar di seantero Burma, yang ditutup karena kerusuhan berdarah tahun lalu. Kerusuhan yang muncul ketika mahasiswa dan pelajar bersama masyarakat umum melakukan unjuk rasa menuntut demokrasi. Sedangkan sekolah menengah dan universitas-universitas bakal menyusul, "kalau kondisi sudah memungkinkan," ujar pejabat Badan Pemulihan Kemanan Negara Myanmar. Pihak mahasiswa sendiri menentang pembukaan sekolah dan perguruan tinggi sebelum, "pemerintah memulihkan kebebasan politik yang mendasar," kata Nyo Tun, Ketua Federasi Uni Mahasiswa Burma. Sejak melancarkan kudeta militer dan mengambil alih kekuasaan politik September silam, Saw Maung memberlakukan UU Darurat yang melarang berbagai aktivitas politik masyarakat. Di antaranya melarang berkumpulnya lebih dari 4 orang, sensor media yang ketat, dan diterapkannya jam malam. Dengan politik tangan besinya, rezim militer Sau Maung rupanya berhasil "memulihkan stabilitas negara". Dan tangan besi itu tak berubah dengan adanya nama baru. Juga tak berubah adalah keadaan ekonomi negeri berpenghasilan per kepala US$ 200 ini. Diberlakukannya UU penanaman modal asing sejak Desember lalu, dan dibukanya kantor Komisi Investasi Asing di Yangon Mei lalu, ternyata belum juga menarik investor asing. Baru sekitar t0 pengusaha asing yang datang, dan baru mencari informasi. Memang, secara resmi sistem multipartai diberlakukan -- sudah sekitar 235 partai resmi terdaftar. Namun, partai-partai oposisi terbesar seperti LND, Partai Demokrat, dan Partai Demokrat Rakyat selalu mendapat tekanan keras dari pemerintah. Rabu pekan lalu, misalnya, Aung San Suu Kyi sempat ditahan pihak keamanan selama seperempat jam, saat menghadiri peringatan setahun gugurnya para mahasiswa demonstran di depan Rumah Sakit Umum Yangon. Seorang tewas ditembak tentara yang mencoba membubarkan upacara yang dihadiri sekitar 200 orang itu. Inilah kali pertama pihak militer menembak ke arah penduduk sipil, sejak pembantaian September tahun silam. "Padahal, kami hanya menginginkan dijaminnya kebebasan berkampanye," ujar Suu Kyi. Pihak kemanan menuduh Suu Kyi dalam peristiwa itu menghina ajaran Budha, dengan memanasi para remaja agar menentang penguasa, "cara yang dilakukan oleh Partai Komunis Burma," tulis koran pemerintah Working People's Daily. Tuduhan penguasa atas putri Bapak Pendiri Burma Aung San ini membuat berang para pemuda pendukungnya. Sekitar 2.000 pemuda, Jumat pekan lalu, melakukan pawai unjuk rasa ke pusat Kota Yangon, memprotes tuduhan pemerintah terhadap Aung San. Tampaknya, Aung San Suu Kyi, 42 tahun, benar. Apalah artinya ganti nama bila "isi" sama saja.FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini