DI Australia ada unta dan kebahagiaan. Memang sulit dipercaya bahwa ada negeri yang punya dua hal itu sekaligus, tapi saya tak bergurau. Menurut cerita, unta itu datang bersama rombongan imigran Afghan dua ahad yang lalu, dan ternyata bisa berkembang biak di sana. Di belantara Australia kini bahkan ada unta-unta liar, dan orang harus menyiapkan jerat dulu untuk bisa menjinakkan makhluk ini. Ada yang mengatakan unta Australia itu sampai kini hanya bisa dibujuk dengan ucapan Afghan dan sedikit lafal Arab (seperti nenek moyang mereka, bahasa Inggris mereka diperkirakan jelek sekali) tapi mungkin cerita ini tak sungguhsungguh. Yang lebih masuk akal ialah bahwa unta Australia adalah unta bebas dan berbahagia. Kebahagiaan memang salah satu ciri negeri itu. Dalam surveinya tentang Australia, The Economist bulan lalu mengutip satu pengumpulan pendapat yang membandingkan rasa bahagia orang di pelbagai negara. Diketahui bahwa orang Australia berada di tingkat atas. Orang Jepang, pekerja keras pembangun mukjizat pertumbuhan ekonomi itu, meletakkan diri di tingkat bawah. Kenapa? Jawabnya: orang Australia adalah orang Jawa yang jauh lebih kaya. Mereka paham betul apa arti hidup yang tak ngoyo. Sebuah buku petunjuk terbitan 1986 menulis: "Satu di antara tiga orang di Australia bekerja untuk pemerintah, dan satu dari 10 menganggur. Kadang-kadang sukar membedakan mana yang menganggur dan mana yang bekerja untuk pemerintah." Ada teman saya yang tinggal di Sydney. Ia harus memperbaiki rumahnya. Ia mempekerjakan buruh setempat, tentu, tapi segera ia insaf: tukang batu Australia tak mau melembur. Mereka tak ingin penghasilan tambahan. Mereka ingin pergi ke pantai, berjemur, minum bir. Teman saya mungkin menahan senewen dan bertanya dalam hati kenapa di sini tak ada "pekerja pendatang" seperti di Jerman: buruh dari negeri berkembang yang menjalankan jenis kerja yang sudah dienggani orang setempat. Tapi itulah soalnya. Di Canberra bulan lalu saya tanyakan soal ini kepada seorang Australia. Jawabnya: "Kami bangga untuk mengerjakan pekerjaan tangan kami sendiri." Ia pasti sengaja lupa bahwa di Australia ada bebrapa ribu orang Asia yang memburuh di pabrik-pabrik. Mereka imigran gelap. Mereka terkadang diusir. Mereka juga terkadang seperti dibiarkan, mekipun tak berbiak seperti unta Afghan. Jika terasa ada sikap mendua itu agaknya satu ciri kebahagiaan Australia: untuk menikmati waktu senggang yang cukup, orang Asia dibutuhkan. Tapi untuk itu pula orang Asia dianggap bisa mengganggu. Diketahui 80% orang Australia menganggap jumlah imigran dari Asia harus dibatasi. Tapi ketika hal ini terdengar sampai di Hong Kong, dan para imigran kaya dari Asia jadi ragu untuk datang, Perdana Menteri Hawke menyesal: Australia kehilangan kesempatan dimasuki investasi A$ 350 juta. Orang Australia memang sering lupa bahwa kebahagiaan yang mereka miliki adalah produk bersama dari hadirnya sejumlah unta asing, keturunan asing, warga pendatang yang ikut menumbuhkan ekonomi dan keanekaragaman bakat. Memang tak enak untuk mengingat-ingat bahwa kehahagiaan sering perlu uang yang terkadang amis dan tenaga kasar yang keringatnya berbau aneh, bau bawang. Kebahagiaan sering perlu sejumlah tetangga, yang tak jarang lebih miskin. Dalam hal Australia bahkan kehahagiaan itu berkait erat dengan "keterbukaan" yang dengan bagus disebut oleh Bruce Grant, Ketua Institut Indonesia-Australia pekan lalu di Jakarta. "Keterbukaan" itu bersifat georafis: inilah wilayah di dua samudera luas, yang begitu luas hingga tak mungkin ada satu negara superkuat pun yang bisa menguasainya sendiri. "Keterbukaan" itu juga dalam arti lain: wilayah tempat Australia dan tetanganya hadir adalah wilayah perdagangan dan dengan itu terjalinlah tali antara pelbagai kebudayaan dan sistem politik yang ragamnya tak didapatkan di bagian dunia lain. Harus diakui bahwa tak selamanya tetangga bisa menyenangkan. Asia adalah misteri dan jika Asia tiba-tiba saja bisa seakan-akan mengamuk (seperti Indonesia), tetangga itu memang mungkin membingungkan dan mencurigakan. Tapi apa alternatifnya? Kebahagiaan yang dihayati sebagai satu liang perlindungan, satu sanctuary, adalah kebahagiaan si mandul. Itu adalah kehahagiaan Miss Quodling dalam lakon Night on Bald Mountain karya Patrick White. "In the end, you can't trust anythun but goats and silence", kata Miss Quodling, tapi suaranya nyeri.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini