ADA atau tidak adanya Undang-Undang Peradilan Agama, agaknya, tak banyak pengaruhnya bagi penyelesaian sengketa kekeluargaan Islam yang sudah berlangsung selama ini. Selain soal perkawinan dan perceraian, yang selama sudah ditangani pengadilan agama, soal kewarisan -- diadili di pengadilan negeri ternyata tak pula menyimpang banyak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam. Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan, misalnya, Januari lalu, sesuai dengan hukum kewarisan Islam, membatalkan hak seorang anak, Syarifah, untuk mewaris dari orangtuanya, yang beragama Islam. Sebab, Syarifah ternyata telah masuk Kristen Pantekosta pada 1963, sebelum ibunya meninggal, karena ikut agama suaminya. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan Ujungpandang juga bukan hal baru. Sebab, keputusan hakim tunggal Sultan itu berlandaskan yurisprudensi Mahkamah Agung pada 1974 (no. 172 K/Sip/1974). Dalam yurisprudensi itu telah ditetapkan bahwa dalam sebuah sengketa warisan, hukum waris yang dipakai adalah hukum si pewaris. Artinya, bila si pewaris beragama Islam -- dan tak menyatakan lain dalam sebuah wasiat, misalnya -- maka hukum waris yang dipakai adalah hukum waris Islam. Berdasarkan hukum Islam, memang Syarifah, yang telah pindah agama, tak berhak lagi menikmati warisan dari orangtuanya -- Sulemanji dan Hawa -- yang terakhir meninggal tahun 1976. Sebab itu, hakim banding menolak gugatan Syarifah terhadap saudara kandungnya Aminah, yang sampai kini masih tetap beragama Islam. Sulemanji dan Hawa, selain meninggalkan dua putri tersebut, juga meninggalkan harta warisan berupa tanah persil seluas 0,91 hektar (Rp 45 juta), 0,45 hektar (20 juta), dan sebuah rumah yang berdiri di atas sepetak tanah hak sewa seharga Rp 8 juta. Berdasarkan keputusan Pengadilan Agama Ujungpandang, Aminah berhak atas seluruh warisan itu. Aminah kemudian menjual sebagian harta peninggalan orangtuanya itu kepada Ditjen Perhubungan Udara Wilayah IV Sulawesi -- Maluku di Ujungpandang dan Fery Subagyo. Syarifah, yang merasa tak tahu-menahu soal jual beli itu, belakangan, menggugat adiknya ke Pengadilan Negeri Ujungpandang. Selain menuntut agar hakim membatalkan jual beli itu, Syarifah juga menggugat separo dari warisan orangtuanya sebagai miliknya. Pengadilan Negeri, Januari 1984, memang memutuskan bahwa Syarifah termasuk ahli waris sah. Hanya saja, anehnya, hakim tingkat pertama itu tak menyebutkan bahwa harta warisan itu harus dibagi antara Syarifah dan Aminah. Syarifah pun banding. Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan, Agustus 1985, malah membatalkan putusan pengadilan bawahannya dan menolak gugatan Syarifah seluruhnya. Sebab, menurut pengadilan banding, perkara itu sudah diputus sebelumnya oleh pengadilan agama setempat. Merasa tidak puas, Syarifah kasasi. Majelis Hakim Agung yang diketuai Yahya Adiwimarta Maret 1988 ternyata membatalkan keputusan peradilan tingkat banding itu. Sebab, dasar penolakan peradilan banding, menurut Mahkamah Agung -- yaitu karena sudah diputus pengadilan agama -- tidak tepat. Sebab itu, Mahkamah memerintahkan Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus kembali pokok sengketa perkara tersebut. Sekali lagi peradilan di tingkat banding melakukan pemeriksaan. Hasilnya, Januari 1989, putusan hakim banding tetap seperti semula -- menolak gugatan Syarifah. Hanya saja, di vonis terbaru itu hakim banding mengambil putusan berdasar pada yurisprudensi Mahkamah Agung 1974 tadi. Yurisprudensi yang dipakai Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan itu adalah keputusan dalam sengketa waris di Desa Hanoko, Nias. Seorang muslim bernama Fataya Marunduri di pulau itu meninggal pada 1947, tanpa meninggalkan keturunan. Tapi Almarhum meninggalkan warisan 1.250 batang pohon kelapa. Repotnya, saudara-saudara Almarhum terbagi dalam dua agama yaitu Islam dan Kristen. Dua saudara Almarhum, yang muslim, Asali Maruhawan dan Zamalia Marunduri, menganggap, sesuai dengan hukum Fara'id (hukum Islam), hanya mereka berdualah yang berhak atas warisan Fataya. Tapi empat saudara Fataya, yang Kristen diwakili Asamudin Marunduri, mengajukan gugatan ke PN Gunungsitoli, Nias, dan menuntut agar harta warisan dibagi sesuai dengan hukum adat. Pengadilan Gunungsitoli, 1970, ternyata memenangkan penggugat Asamudin Marunduri. Namun, di tingkat banding, Hakim Yahya Harahap (kini hakim agung) meminta Pengadilan Negeri Gunungsitoli melakukan pemeriksaan tambahan untuk mendengarkan keterangan saksi-saksi ahli hukum adat setempat. Ternyata, menurut saksi ahli hukum adat itu baik yang beragama Islam maupun Kristen -- pembagian warisan memang harus didasarkan pada agama si pewaris. "Dari keterangan saksi ahli itu kami memutuskan hukum warisan yang dipakai adalah hukum si pewaris," kata Yahya. Putusan PT Sumatera Utara itu kemudian dikuatkan Mahkamah Agung dengan putusan nomor 172 K/Sip/1974. Kendati sistem hukum Indonesia tak menanut sistem preseden, dalam arti harus mengikuti setiap yurisprudensi, kata Yahya, secara hierarki dan moral hakim-hakim harus mengikuti yurisprudensi. Kalau tidak, menurut Yahya, bila perkara itu sampai ke Mahkamah Agung, hakim agung akan kembali ke yurisprudensi yang sudah mapan. Kendati begitu, dalam kasus Ujungpandang, sekali lagi Syarifah, melalui penasihat hukumnya, O.C. Kaligis, naik kasasi. Menurut Kaligis, sengketa waris ini lebih menyangkut masalah perbedaan agama. Sebab itu, penyelesaiannya tak perlu memakai hukum Islam. "Perpindahan agama tidak menyebabkan Syarifah kehilangan hak waris," kata Kaligis. Tapi menurut Dr. Peunoh Daly, Wakil Ketua Majelis Fatwa MUI, warisan orang Islam tidak bisa diterimakan pada orang nonmuslim. Begitu pula sebaliknya. "Ini sudah jelas dalam hukum Islam," katanya. Alhamdulillah, kendati para pakar hukum berdebat, kedua kakak-beradik itu kini sudah melupakan kasus mereka. "Walau bagaimanapun kami ini saudara kandung," kata mereka kepada Erwin Patandjengi dari TEMPO di Ujungpandang. Boleh saja hubungan mereka baik-baik, dan bahkan membagi warisan, namun tak mengubah putusan hukum.Agus Basri Dan Mukhsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini