Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalur Gaza sangat teraniaya. Sekeping tanah seluas 365 kilometer persegi (sekitar tiga kali kota Bogor) itu menjelma menjadi sebuah penjara besar: dikelilingi pa-gar dan tembok beton, orang keluar dan masuk melalui tujuh pintu gerbang yang ada, harus seizin Israel. Apalagi, sejak 26 Juni lalu, tentara Israel melakukan serangan bertubi-tubi ke Gaza, menewaskan puluhan warganya—termasuk anak-anak—melukai ratusan lain-nya, dan menghancurkan bangun-an yang mungkin sudah jadi reruntuhan. Alasan resmi serangan itu: membebaskan tentara Israel yang diculik milisi Palestina.
Nasser al-Kidwa juga tidak berdaya. Mantan Menteri Luar Negeri Palestina yang kini penasihat Presiden Mahmud Abbas ini tak bisa menengok kampung halamannya, Gaza. ”Sangat sulit masuk ke sana,” kata Kidwa, sepupu men-diang Yasser Arafat. Maklum, sejak akhir Juni lalu, semua pintu gerbang ke Gaza ditutup. Hanya ada satu pintu yang dibuka dalam beberapa jam saja untuk memasukkan bahan makanan dan obat-obatan dalam jumlah sangat terbatas.
Kidwa, yang pernah menjabat perwakilan Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengatakan krisis bukan hal yang baru. Tapi, yang terjadi di Gaza kali ini lebih besar dan kompleks dibanding yang lalu. ”Saya kira Israel ingin menghancurkan Hamas,” kata-nya. Dan Gaza memang pusat Hamastan, pengikut Hamas.
Sejak Hamas menang dalam pemilih-an umum akhir Januari lalu, pemerintah Israel dan negara-negara Barat sudah mengancam Hamas. Israel menyetop hak hasil pajak Palestina yang biasa dipakai untuk membayar gaji pamong praja Pa-lestina. Tentara Israel juga menangkapi para menteri dan petinggi Hamas. Dan Kidwa yakin, keadaan tak akan segera membaik. ”Karena kekuatan politik di Israel makin ke kanan, makin garis ke-ras,” kata pria yang terbiasa terlibat berbagai perundingan Palestina dengan Israel ini. Terbukti, hingga pekan lalu, serangan militer Israel makin menjadi-jadi, hingga merembet ke Libanon.
Berikut petikan wawancara Bina Bek-tiati dari Tempo dengan Nasser al-Kidwa di Ramallah, Tepi Barat, melalui saluran telepon internasional, Selasa pekan silam.
Tiga minggu sudah tentara Israel menyerang Gaza. Apa komentar Anda?
Ini adalah tindak kriminal dan merupakan ulangan dari tindakan agresi tentara Israel terhadap penduduk Palestina secara umum yang mengakibatkan puluhan warga meninggal dan kerusakan di mana-mana. Meskipun serangan Israel makin intens, kami belum melihat reaksi serius dari komunitas internasional. Padahal, warga di Gaza sangat tertekan dan hidup tidak layak.
Apakah ini krisis yang terburuk?
Pada masa lalu, ada situasi yang mirip. Tentara Israel pernah mengepung dan memblokade tempat tinggal mendiang Presiden Yasser Arafat di Ramallah selama berbulan-bulan. Tentara Israel menggunakan semua mesin perang se-perti jet tempur, helikopter, senjata-senjata otomatis, tank.
Serangan ke Gaza bukan hal baru. Tapi pengulangan serangan seperti ini adalah tindak kriminal dan harus dikutuk, juga oleh komunitas internasional.
Sebagai mantan Menteri Luar Negeri, bagaimana pendapat Anda tentang cara pemerintah sekarang menangani krisis?
Saya tidak yakin pemerintahan se-karang berdaya dalam keadaan seperti ini. Pemerintah tidak mampu mengendalikan keadaan. (Para pimpinan sayap militer Hamas tinggal di Suriah. Mereka yang mengendalikan kelompok milisi Hamas.) Tapi, kami berharap keadaan segera membaik.
Menurut Anda, bagaimana krisis ini berakhir? Apakah pejuang Palestina akan membebaskan tentara Israel yang diculik?
Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Sejujurnya, saya tidak yakin ba-gaimana semua ini nantinya berakhir. Situasi sekarang ini makin kompleks.
Keadaan di Gaza sudah sangat buruk. Dengan pagar dan tembok yang menge-lilinginya, sebelum serangan, masyarakat di sana sudah sangat menderita.
Apa yang ingin Anda katakan kepada masyarakat internasional?
Keadaan kemanusiaan di Gaza semakin serius, bukan hanya akibat serang-an militer ini. Blokade yang dilakukan Israel di daerah yang tidak terlalu luas itu sangat ketat. Keadaan makin buruk karena Gaza berpenduduk padat.
Untuk itu, komunitas internasio-nal harus bertindak, Dewan Keamanan PBB juga harus melakukan sesuatu. Kami berharap negara-negara sahabat, seperti Indonesia, lebih menekan pihak-pihak tertentu di level internasional yang dapat mempengaruhi Israel.
Menurut Anda, apakah adanya faktor Hamas membuat keadaan makin sulit?
Terlepas dari apa yang Anda dan saya pikirkan tentang Hamas, secara obyektif Hamas memang membuat keadaan makin sulit.
Padahal, sebagian besar dari Hamas (lebih dari 80 persen) terdiri dari orga-nisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan. Tapi Israel dan negara-negara Barat mencapnya sebagai teroris.
Menurut Anda, bagaimana cara meng-ubah citra Hamas?
Hamas—melalui organisasi kemanusiaannya—memang telah memberikan sumbangan besar kepada masyarakat Palestina. Hal itu membuat Hamas memiliki pengaruh yang cukup besar, se-perti Anda lihat sekarang.
Sedangkan sikap negara-negara Ba-rat terhadap Hamas bukanlah tanpa alas-an. Hamas memang pernah melakukan beberapa kekerasan, termasuk terhadap PLO (Organisasi Pembebasan Pa-lestina). Ada banyak ketidakadilan ditimpakan ke Hamas, tapi juga ba-nyak yang harus dilakukan Hamas agar le-bih diterima banyak pihak. Misalnya, menurut saya Hamas harus mengakhiri menyerang warga sipil Israel, karena itu melanggar hukum internasional. Di luar apa yang dilakukan pihak lain, kita seharusnya tetap mematuhi hukum internasional. Rakyat Palestina memang berhak melawan, tapi jika ingin mencapai tujuan (membentuk negara Palestina merdeka), kita harus konsisten mematuhi hukum internasional.
Tapi, lahirnya Hamas adalah akibat dari situasi yang ada: aneksasi dan tekanan Israel atas Palestina.…
Tentu saja, ini adalah fenomena sebuah negara yang menjajah negara lain. Akan selalu ada reaksi dari yang dijajah, dan tidak jarang reaksi itu begitu ekstrem. Tapi, kita juga bisa berasumsi, jika orang Palestina ingin hidup le-bih normal, mereka juga harus bertindak lebih moderat.
Pemerintah Israel sangat terfragmentasi. Partai Kadima, yang berkuasa, bukan mayoritas. Pasti ada partai-partai yang pro-perdamaian dan anti terhadap serangan militer ke Palestina. Mungkinkah membuka hubungan dengan mereka?
Secara prinsip, hal itu mungkin dilakukan. Tapi, sialnya, kelompok-kelompok yang pro-perdamaian dan anti-kekerasan semakin kecil pengaruhnya. Menurut saya, penguasa Israel semakin berorientasi ke kanan. Hal ini membuat keadaan makin rumit saja. Saya tidak melihat, di jalur utama politik, Israel memiliki kehendak untuk mencapai penyelesaian final dengan rakyat Palestina. Itulah mengapa Kadima melakukan aksi unilateral.
Masalah Palestina dengan Israel tidak dapat diselesaikan dengan sekadar mundurnya tentara Israel dari Palestina. Ini adalah persoalan tanah yang dianeksasi, dari Tepi Barat hingga Yerusalem. Kami sangat mengharapkan komposisi kekuat-an politik di Israel segera berubah, sehingga bisa bernegosiasi dengan kelompok moderat di Palestina.
Apakah, menurut Anda, penculikan tentara Israel merupakan satu-satunya motif penyerangan ke Gaza? Tentara Israel kan telah mundur dari Gaza sejak September lalu. Apakah ada motif lain yang lebih kuat, misalnya untuk menguasai cadangan minyak di lepas pantai Gaza?
Memang benar ada sejumlah besar cadangan minyak di pantai Gaza, tapi saya pikir bukan itu alasan Israel me-nyerang Gaza. Serangan kali ini memang lebih dahsyat ketimbang sebelumnya. Penyebabnya adalah situasi yang lebih luas. Saya kira Israel ingin menghancurkan Hamas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo