Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prashant Singh melompat ke ger-bong kereta yang merapat di Stasiun Andheri, Mumbai, India. Gerbong lengang meskipun saat itu adalah jam pulang kantor. Maklum, sehari sebelumnya, Selasa 11 Juli 2006, terjadi tujuh ledakan pada gerbong berbeda di jalur sibuk kereta api di kota berpenduduk 17 juta jiwa itu. Singh adalah salah satu saksi mata. ”Kabin tiba-tiba penuh asap hitam. Tubuh-tubuh berhamburan tanpa busana; beberapa sudah tak utuh,” kisah Singh. Sedikitnya 200 orang tewas dalam musibah di rel kereta api yang menjadi urat nadi kota yang dulu bernama Bombay. Ini adalah tragedi terburuk sejak kejadian pada 1993, serangkaian ledakan menewaskan lebih dari 250 orang.
Sehari berselang, kehidupan di Mumbai kembali normal. Memang kereta api masih sepi, tapi indeks di Bursa Saham Sensex Mumbai malah meningkat, Rabu pekan lalu. Para pialang lebih se-rius menanti hasil kinerja empat bulanan Infosys, perusahaan perangkat lunak ung-gulan, ketimbang bereaksi terhadap pe-nge-bom-an.
Pemerintah India pun menahan diri, tidak menyalahkan Pakistan sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab di balik ledakan tersebut. Maklum, setiap kali ada bom di India, tuduhan ter-arah kepada kelompok separatis Kashmir yang didukung Pakistan. Pemerintah India rupanya tidak ingin mengula-ngi kejadian 2001, ketika terjadi ledakan bom di gedung parlemen India yang menewaskan 50 orang. Saat itu, India langsung menuduh Pakistan dan berbuah konflik bersenjata di perbatasan kedua negara. Akibat yang lebih buruk, perdagangan di bursa dan perekonomian India porak-poranda.
Sementara itu, polisi tetap melakukan penyelidikan atas insiden bom tersebut. Mereka mencurigai tiga kelompok sebagai otak peristiwa itu, yakni Lashkar-e Toiba (LeT) dan Jaish-e-Mohammad (JeM), keduanya berbasis di Pakis-tan dan Gerakan Pelajar Islam di India. Ketiganya adalah kelompok Islam militan dan diduga memiliki kaitan dengan Al-Qaidah. Pemimpin pasukan antiteror di Negara Bagian Maharashtra, K.P. Raghuvanshi, menyatakan, ledakan di kereta api mirip dengan gaya bom Lashkar-e-Toiba.
Tiga kelompok itu sudah menjadi lang-gan-an sasaran tuduhan. Pada A-gustus 2003, lebih dari 55 orang meninggal akibat bom kembar di kawasan finansial New Delhi. Tahun berikutnya, 60 aktivis Hindu dibunuh di kereta api jurus-an Gujarat. Lalu pada 1993, sekitar 250 orang meninggal akibat ledakan beruntun di gerbong kereta api di Mumbai. Sayangnya, kasus-kasus peledakan bom itu tidak ada yang terproses hingga ke pengadilan sehingga tidak ada bukti siapa yang bersalah.
Hingga akhir pekan silam, belum ada titik terang. Tak satu pun dari tiga kelompok itu mengaku bertanggung ja-wab. Polisi sudah menanyai 300-an orang. Menurut penyelidikan forensik, ledak-an berasal dari dinamit atau amonium nitrat. Kedua bahan ini mudah didapat dan lazim dipakai dalam industri pertambangan. Artinya, untuk melakukan pengeboman tidak perlu sumber daya besar seperti yang dimiliki Al-Qaidah. ”Mungkin saja pelakunya hanya kelompok kecil yang tak terlalu canggih,” kata seorang pejabat kepolisian di Mumbai.
Tampaknya penyelidikan peristiwa ini diupayakan agar tak mempengaruhi stabilitas ekonomi. Pemerintah India sudah belajar dari pengalaman: setiap kali ada konflik terbuka dengan Pa-kistan atau di daerah Kashmir, pereko-nomian terguncang. Karena pemerintah India sudah bertekad bahwa 2006 adalah tahun penentuan keberhasil-an ekonomi India, maka mereka akan mengupayakan apa pun agar perekonomian stabil.
Andari Karina Anom (BBC, The Times of India, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo