SUASANA perang dan huru-hara belum sepenuhnya lenyap dari Kota
Phompenh. Para pedagang penganan memang sudah menjajakan
jualannya di berbagai penjuru kota. Di pojok-pojok yang agak
ramai penarik becak menunggu penumpang dengan gaya santai.
Tetapi tentara masih terlihat di mana-mana. Kadang-kadang di
jalanan melintas para cacat veteran -- sisa perang yang belum
usai.
Pasar mulai memperagakan barang konsumen. Ada bahan pakaian,
bahkan casette recorder dan radio transistor. Semua barang ini
diduga hasil selundupan dari Muangthai.
Kini, setelah suasana mulai sediht tenang, Kampuchea mau
menggalakkan pariwisata. "Seperti halnya di bidang lain, turisme
juga sedang dipulihkan kembali" ujar Chunmu Bumrong, pejabat
Deplu Kampuchea. Keterangan itu diberikannya kepada Yuli
Ismartono, koresponden TEMPO di Bangkok, satu-satunya wartawan
Indonesia yang meliput penarikan sebagian kecil (15.000) pasukan
Vietnam dari Kampuchea.
Bumrong agaknya terlalu optimistis. Untuk hidup sehari-hari saja
penduduk Phnompenh masih kembang kempis. Bahan pangan sulit.
Apalagi tahun lalu petani dihajar kemarau panjang.
Di tengah suasana suram itu, toh tidak kurang dari 36.000
penduduk Phnompenh membuang waktu sekitar setengah hari,
berkerumun di sepanjang Jalan Tuo Masut, menyaksikan parade
undur Divisi Cuu Long. Dan meneriakkan: Cheo Samaki
Vietnam-Kampuchea -- Hidup Solidaritas Vietnam-Kampuchea.
Pasukan yang pulang itu memang tampak bungah. Apalagi sehari
sebelumnya, tepat 1 Mei, Kepala Negara Kampuchea Heng Samrin
membagi-bagikan anugerah di ruang Thak Tomouk, Gedung Majelis
Nasional Kampuchea. Komandan Divisi Cuu Long Letkol Vo Van Dan
dan dua perwira Vietnam lainnya menerima bintang jasa Angkor
Watt, penghargaan tertinggi pemerintah Kampuchea. Peristiwa itu
disaksikan para anggota Politbiro, wakil-wakil rakyat yang duduk
di Majelis Nasional, termasuk anggota minoritas Cham yang
beragama Islam.
Para pejabat Phnompenh tampaknya memang hendak memberikan kesan
"normal" kepada sejumlah wartawan yang diundang. "Penarikan
pasukan akan dilanjutkan setiap tahun secara berangsur-angsur,"
kata Menteri Luar Negeri Kampuchea Hun Sen kepada Yuli
Ismartono. Tapi ia segera menambahkan, "pasukan Vietnam yang
masih tinggal di Kampuchea cukup kuat untuk menangkis serangan
dari luar." Pasukan Vietnam yang masih berada di Kampuchea
diperkirakan masih 165.000 orang.
Hun Sen tidak menutup-nutupi hasratnya untuk "secepat mungkin
membuka dialog dengan negara-negara ASEAN." Tetapi ia tidak mau
ditawar soal representasi. "Kamilah satu-satunya wakil rakyat
Kampuchea," katanya. "Kami tidak pernah ingin berunding dengan
koalisi yang dipimpin Sihanouk." Ia bahkan mengatakan pangeran
itu sedang melakukan political suicide, (pembunuhan politik) dan
"tidak mungkin dapat berperan lagi di Kampuchea".
Phnompenh kini berpenduduk 500.000 orang. Tatkala Heng Samrin
mengambil alih kekuasaan, 1979, jumlah penduduknya hanya 76.000.
Tamu asing biasa dibawa melihat Tuol Sleng -- semacam 'monumen'
yang menunjukkan kebengisan rezim Pol Pot yang membantai jutaan
rakyat Kampuchea. Di sini ada sebuah peta Kampuchea dibuat dari
tengkorak manusia. Tempat itu terletak di Kampung Choeng Ek,
sekitar 5 km dari Phnompenh.
"Hidup sekarang memang sulit, tetapi jauh lebih baik daripada di
zaman Pol Pot," kata Dr. Tin Yuosus Abdulcayaume wakil minoritas
Cham di Majelis Nasional. Pada masa itu, katanya, "saya
dipekerjakan sebagai budak."
Hampir setiap penduduk Phnompenh menyimpan duka cita masa
lampau. Neak Vantha, 35 tahun, tidak lupa menceritakan azab
sengsaranya di zaman Pol Pot. Wanita ini dipisahkan dari
keluarganya, dan dipekerjakan di hutan. Kembali ke kota setelah
Pol Pot jatuh, ia mendapatkan seluruh anggota keluarganya mati
terbunuh. Kini ia bekerja di sebuah lembaga pemerintah.
Orang di Phnompenh kini memang sudah bisa tertawa. Tapi kota
yang dulu dijuluki Paris dari Asia Tenggara itu sampai sekarang
masih belum sembuh dari luka. Bank Sentral yang dihancurkan oleh
Pol Pot sampai sekarang belum lagi bangun, fasilitas untuk
menerima tamu pun sangat menyedihkan. Tempat penginapan yang
lumayan baru Hotel Samaki, dan sebuah hotel lain di jantung kota
-- keduanya banyak dihuni para wakil dari berbagai organisasi
kemanusiaan, seperti Unicef, Oxfam, Quaker International, dan
operation California.
Hotel Cambodiana, yang terbengkalai, dan tadinya dibangun dengan
modal India konon ingin dilanjutkan lagi. Kapan dimulainya,
entahlah. Tapi sejak tahun 1979, baru tercatat sekitar 30.000
tamu yang berkunjung ke Kampuchea -- kebanyakan datang dari
Jepang, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
Akan berduyunkah turis ke Kampuchea? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini