Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Negeri Duka-Cita Menunggu Turis

Setelah penarikan mundur pasukan vietnam, kampuchea akan menggalakkan pariwisata. (ln)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA perang dan huru-hara belum sepenuhnya lenyap dari Kota Phompenh. Para pedagang penganan memang sudah menjajakan jualannya di berbagai penjuru kota. Di pojok-pojok yang agak ramai penarik becak menunggu penumpang dengan gaya santai. Tetapi tentara masih terlihat di mana-mana. Kadang-kadang di jalanan melintas para cacat veteran -- sisa perang yang belum usai. Pasar mulai memperagakan barang konsumen. Ada bahan pakaian, bahkan casette recorder dan radio transistor. Semua barang ini diduga hasil selundupan dari Muangthai. Kini, setelah suasana mulai sediht tenang, Kampuchea mau menggalakkan pariwisata. "Seperti halnya di bidang lain, turisme juga sedang dipulihkan kembali" ujar Chunmu Bumrong, pejabat Deplu Kampuchea. Keterangan itu diberikannya kepada Yuli Ismartono, koresponden TEMPO di Bangkok, satu-satunya wartawan Indonesia yang meliput penarikan sebagian kecil (15.000) pasukan Vietnam dari Kampuchea. Bumrong agaknya terlalu optimistis. Untuk hidup sehari-hari saja penduduk Phnompenh masih kembang kempis. Bahan pangan sulit. Apalagi tahun lalu petani dihajar kemarau panjang. Di tengah suasana suram itu, toh tidak kurang dari 36.000 penduduk Phnompenh membuang waktu sekitar setengah hari, berkerumun di sepanjang Jalan Tuo Masut, menyaksikan parade undur Divisi Cuu Long. Dan meneriakkan: Cheo Samaki Vietnam-Kampuchea -- Hidup Solidaritas Vietnam-Kampuchea. Pasukan yang pulang itu memang tampak bungah. Apalagi sehari sebelumnya, tepat 1 Mei, Kepala Negara Kampuchea Heng Samrin membagi-bagikan anugerah di ruang Thak Tomouk, Gedung Majelis Nasional Kampuchea. Komandan Divisi Cuu Long Letkol Vo Van Dan dan dua perwira Vietnam lainnya menerima bintang jasa Angkor Watt, penghargaan tertinggi pemerintah Kampuchea. Peristiwa itu disaksikan para anggota Politbiro, wakil-wakil rakyat yang duduk di Majelis Nasional, termasuk anggota minoritas Cham yang beragama Islam. Para pejabat Phnompenh tampaknya memang hendak memberikan kesan "normal" kepada sejumlah wartawan yang diundang. "Penarikan pasukan akan dilanjutkan setiap tahun secara berangsur-angsur," kata Menteri Luar Negeri Kampuchea Hun Sen kepada Yuli Ismartono. Tapi ia segera menambahkan, "pasukan Vietnam yang masih tinggal di Kampuchea cukup kuat untuk menangkis serangan dari luar." Pasukan Vietnam yang masih berada di Kampuchea diperkirakan masih 165.000 orang. Hun Sen tidak menutup-nutupi hasratnya untuk "secepat mungkin membuka dialog dengan negara-negara ASEAN." Tetapi ia tidak mau ditawar soal representasi. "Kamilah satu-satunya wakil rakyat Kampuchea," katanya. "Kami tidak pernah ingin berunding dengan koalisi yang dipimpin Sihanouk." Ia bahkan mengatakan pangeran itu sedang melakukan political suicide, (pembunuhan politik) dan "tidak mungkin dapat berperan lagi di Kampuchea". Phnompenh kini berpenduduk 500.000 orang. Tatkala Heng Samrin mengambil alih kekuasaan, 1979, jumlah penduduknya hanya 76.000. Tamu asing biasa dibawa melihat Tuol Sleng -- semacam 'monumen' yang menunjukkan kebengisan rezim Pol Pot yang membantai jutaan rakyat Kampuchea. Di sini ada sebuah peta Kampuchea dibuat dari tengkorak manusia. Tempat itu terletak di Kampung Choeng Ek, sekitar 5 km dari Phnompenh. "Hidup sekarang memang sulit, tetapi jauh lebih baik daripada di zaman Pol Pot," kata Dr. Tin Yuosus Abdulcayaume wakil minoritas Cham di Majelis Nasional. Pada masa itu, katanya, "saya dipekerjakan sebagai budak." Hampir setiap penduduk Phnompenh menyimpan duka cita masa lampau. Neak Vantha, 35 tahun, tidak lupa menceritakan azab sengsaranya di zaman Pol Pot. Wanita ini dipisahkan dari keluarganya, dan dipekerjakan di hutan. Kembali ke kota setelah Pol Pot jatuh, ia mendapatkan seluruh anggota keluarganya mati terbunuh. Kini ia bekerja di sebuah lembaga pemerintah. Orang di Phnompenh kini memang sudah bisa tertawa. Tapi kota yang dulu dijuluki Paris dari Asia Tenggara itu sampai sekarang masih belum sembuh dari luka. Bank Sentral yang dihancurkan oleh Pol Pot sampai sekarang belum lagi bangun, fasilitas untuk menerima tamu pun sangat menyedihkan. Tempat penginapan yang lumayan baru Hotel Samaki, dan sebuah hotel lain di jantung kota -- keduanya banyak dihuni para wakil dari berbagai organisasi kemanusiaan, seperti Unicef, Oxfam, Quaker International, dan operation California. Hotel Cambodiana, yang terbengkalai, dan tadinya dibangun dengan modal India konon ingin dilanjutkan lagi. Kapan dimulainya, entahlah. Tapi sejak tahun 1979, baru tercatat sekitar 30.000 tamu yang berkunjung ke Kampuchea -- kebanyakan datang dari Jepang, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain. Akan berduyunkah turis ke Kampuchea? Siapa tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus