SUATU malam di musim gugur yang sejuk di tahun 1971, di barat
Kota Beijing, Menteri Pertahanan RRC Lin Biao beserta istri dan
dua orang rekan diberondong tembakan. Mereka baru saja habis
menikmati makan malam di sebuah villa, dan meninggalkan tempat
itu dengan sedan limousine ketika maut menyambar tak terduga.
Itulah akhir riwayat Lin, tokoh militer cemerlang, teman
seperjuangan paling dekat, bahkan disebut-sebut calon pengganti,
Ketua Mao.
Bagaimana peristiwa itu bisa terjadi? Buku Komplotan dan
Kematian Lin Biao yang terbit di New York, Senin lalu,
mengungkapkan pembunuhan tersebut memang direncanakan. Informasi
ini membantah keterangan resmi yang disiarkan sebelumnya: Lin
meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang.
Kedua peristiwa terjadi pada hari yang sama, 12 September 1971,
tapi kecelakaan versi pemerintah itu diragukan kalangan tertentu
kebenarannya. Dan kini keraguan itu, setelah disambut dengan
info dari buku yang bahan tertulisnya diselundupkan dari daratan
Cina tersebut, makin berdasar. Jubir dari Alfred A. Knopf,
penerbit buku itu, mengatakan pengarangnya adalah Yao Mingle --
sebuah nama samaran. Dengan ini terjawablah, untuk sementara,
desas-desus seputar kematian Lin Biao.
Dalam kurun paling gelap dari sejarah Cina kontemporer masalah
kematian Lin memang menimbulkan banyak spekulasi. Kuat dugaan
jenderal yang besar jasanya itu dibunuh Mao sebagai tindakan
balasan terhadap usaha perebutan kekuasaan yang dilancarkannya
beberapa pekan sebelumnya.
Apakah Lin memang merencanakan kudeta? Yao Mingle membenarkannya
dengan mengajukan bukti, misalnya, tentang provokasi militer
yang didalangi Lin di perbatasan Cina-Soviet. Usaha ini
merupakan batu penguji kekuatan bagi Lin sebelum melangkah ke
rencana utama: pembunuhan atas diri Mao Zedong. Tapi usaha Lin
keburu tercium dan lalu dihabisi -- menurut keterangan resmi
yang dikeluarkan sembilan bulan kemudian disebutkan bagaimana ia
berusaha melarikan diri ke Uni Soviet beserta istri dan
komplotannya. Usaha pelarian tersebut, menurut sumber resmi,
waktu itu, gagal karena pesawatnya kehabisan bahan bakar dan
jatuh di Mongolia.
Para editor penerbit Alfred A. Knopf yakin sumber tertulis yang
mereka peroleh benar-benar asli -- otentik. Tapi Ross Terril,
seorang ahli Cina yang pernah menulis biografi Mao, khawatir
beberapa catatan harian yang dikutip oleh buku tersebut tidak
otentik. Beberapa pemuda Cina, katanya, bisa saja mengolah
cerita-cerita yang mereka dengar dan menuangkannya ke dalam
bentuk dokumentasi yang bisa menarik minat orang Barat.
Andrew Nathan, ahli Cina pada Universitas Columbia, New York,
juga agak ragu. Terutama karena tertutup kemungkinan untuk
menguji huruf Cina asli dari naskah yang katanya otentik itu.
Siapakah Lin Biao? Ia adalah putra kedua dalam keluarga seorang
pemilik pabrik barang kerajinan, yang dilahirkan tahun 1908 di
Provinsi Hupeh. Pada umur 18 tahun Lin belajar di Akademi
Militer Whampoa dan berguru, antara lain, pada Chiang Khaishek
dan Chau Enlai. Di sinilah ia mengubah namanya dari Lin Yu-yung
menjadi Lin Biao (Biao artinya macan tutul).
Ketika komunis ditindas Chiang Khaishek, Lin, yang ketika itu
berpangkat kolonel, memimpin pasukannya mundur ke daerah
pegunungan dan kemudian bermarkas di gua-gua bersama Mao Zedong.
Kepada Edward Snow, dalam sebuah wawancara, Mao memuji Lin,
terutama, karena ia berhasil menanamkan disiplin dalam tubuh
tentara dan sekaligus memenangkan dukungan petani. Disiplin Lin,
antara lain, bayarlah setiap barang yang kamu beli dari petani,
dan buatlah jamban di belakang tiap rumah petani.
Menurut Current Biography, terbitan 1967, Lin terkenal sebagai
tokoh gerilya yang paling manusiawi. Tipe pemimpin yang jarang
ditemukan. Di samping membela hak-hak sipil, dia adalah militer
yang berusaha menekan angka kematian di kalangan tentara
serendah mungkin. Dan selalu baik serta ramah terhadap anak
buahnya.
Mao juga kagum pada Lin -- yang pada tahun 1936 ditunjuknya
sebagai presiden Akademi Militer Tentara Merah di Yenan.
Beberapa artikel yang ditulis Lin, waktu itu, di antaranya
berjudul Perjuangan dan Revolusi Perang, telah menarik banyak
perhatian di Cina dan Uni Soviet. Sembilan tahun kemudian Lin
secara resmi ditunjuk anggota Komite Sentral Partai Komunis Cina
(PKC).
Di saat permusuhan antara kelompok nasionalis dan komunis
meruncing, Lin mengorganisasi pasukan di Manchuria. Bersama-sama
dengan Chen Yi dan Peng Tenhuai, dia memimpin orang-orang
komunis melawan kaum nasionalis yang jumlahnya dua kali lebih
besar. Tahun 1948, ia merebut Beijing dan sesudah itu dengan
mudah menguasai seluruh daratan Cina. Hingga Chiang Khai-shek
terpaksa melarikan diri ke Formosa -- sekarang populer dengan
nama: Taiwan.
Nama Lin semakin harum ketika menggerakkan 200.000 tentara Cina
untuk memaksa mundur Divisi ke-7 AS kembali ke wilayah Korea
Selatan -- di belakang garis lintang 38ø. Enam tahun kemudian Lin
diangkat jadi menteri pertahanan. Besar kemungkinan mulai saat
itulah ia memasang orang-orangnya di kalangan pemerintahan. Tapi
di Barat nama Lin baru populer tahun 1965. Ketika ia melontarkan
teori revolusi dengan gagasan mengepung kota, sesudah
memenangkan revolusi di daerah pedesaan. Dalam peristilahan Lin:
dunia Barat yang maju adalah kota, dan Asia, Afrika, serta
Amerika Latin adalah pedesaan.
Edward Snow berkomentar tentang Lin: "Spartan, sederhana, jarang
dipotret (mungkin karena lama tidak muncul di depan publik) dan
hidupnya sepenuhnya diabdikan pada tugas." Lin, menurut Snow,
tidak pernah berambisi menggantikan Mao. Chen Yi, sahabatnya,
juga menegaskan bahwa Lin termasuk sejumlah kecil orang yang
tidak akan pernah menentang Mao.
Kalau demikian apa dosanya? Entahlah.
Kata analis Cina Simon Leys, Lin dihukum bukan karena
mengkhianati Mao, tapi lantaran terlalu mengabdi kepada pemimpin
itu. Tapi, menurut Yao Mingle, Lin disingkirkan karena berencana
berbuat makar terhadap Mao. Mana yang benar? Teka-teki itu masih
tetap tak akan terjawab -- juga sesudah terbitnya buku dari Yao
Mingle.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini