UNGKAPAN seperti 'teknologi madya', teknologi tepat guna, ataupun 'kecil itu indah', tak terdengar lagi. Amerika, Jepang, atau Eropa, semua menjagoi high-tech sebagai obat penawar ekonomi mereka yang sedang merana. Tak terkecuali Negeri Belanda, yang pekan lalu di Jakarta menyelenggarakan seminar teknologi tinggi di bidang transportasi dan komunikasi. Kesempatan itu melontarkan tokoh baru ke dalam kancah hubungan Belanda-Indonesia: Menteri Transportasi dan Pekerjaan Umum Kerajaan Belanda Nyonya Smit Kroes. "Kita memerlukan teknologi itu jika jutaan manusia mendambakan kesempatan hidup yang layak," ujar menteri wanita yang tampak muda itu di depan peserta seminar. Turut mengangguk dengan para peserta lainnya ialah Menteri Perhubungan Roesmin Nuryadin, Menteri Negara Ristek Dr. Ir. B.J. Habibie, dan Menteri Pariwisata & Postel Achmad Taher. Bukan kebetulan kalau Belanda memilih sektor transportasi dan komunikasi untuk dipamerkan. Kedua sektor itu sangat berkembang dan punya sejarah panjang bagi negeri kecil di tepi Benua Eropa itu. Sementara bagi Indonesia kedua sektor itu juga penting. Ini sudah terkesan oleh Ny. Smit Kroes ketika pada 1980 berkunjung ke Indonesia dalam kedudukannya sebagai Sekretaris Kementerian Transportasi dan Pekerjaan Umum Belanda. Seperti dijelaskan Menteri Roesmin Nuryadin, dibanding laju perkembangan PNB (Produk Nasional Bruto) Indonesia yang 7% setahun, laju perkembangan sektor transportasi dan komunikasi rita-rata mencapai 10% setahun. Perkembangan pesat ini menuntut pemakaian teknologi yang semakin tinggi dan padat modal. "Karenanya inilah saatnya untuk menetapkan pilihan yang tepat di bidang teknologi transportasi dan komunikasi itu," ujar Roesmin Nuryadin yang membuka seminar itu. Perlu diperhatikan, kata menteri, upaya konservasi dan diversifikasi energi melalui perkembangan teknologi di bidang transpor dan energi. Jangan dilupakan, soal padat karya, pengendalian buangan bahan bakar, dan tetap melestarikan sarana transportasi tradisional seperti perahu layar dan kendaraan non-mesin. Penjabaran yang gamblang itu agaknya berkesan bagi lebih seratus orang yang duduk dalam delegasi Belanda di seminar itu. "Menjadi terperinci di mana bidang kerjasama itu kelak," ujar A.D. de Jonge, Koordinator Senior dari perusahaan Wijsmuller Engineering B.V. Komposisi delegasi itu bukan alang-kepalang. Lebih dari 50 perusahaan dan instansi dari Belanda terhimpun di situ. "Untuk pertama kali dalam sejarah negeri kita, terbentuk delegasi sebesar dan seunik seperti ini," ujar Ny. Smit Kroes dalam suatu pertemuan dengan pers. Nama yang punya rcputasi sedunia hadir di situ. Fokker, Philips, Sikkens, DHV, KLM, PTT, NKF, Laboratorium Hidraulika Delft, TNO, Marin, dan belasan raksasa industri lainnya di bidang transportasi dan komunikasi. Semuanya diwakili oleh orang-orang utamanya. Tampak N.L. Schenkman, Sekretaris Jenderal Badan Belanda untuk Program Penerbangan Angkasa, yang juga merangkap sebagai ketua Komite Organisasi seminar itu. Ada pula Ph. Leenman, Dirjen PTT Belanda, J.G.H.R. Diephuis, wakil direktur Laboratorium Hidraulika Delft, F. Swartouw, ketua Dewan Direksi Fokker, D.C. Geest, direktur pelaksana senior dari Philips Telecomunication Systems, dan serentetan nama kebeken lainnya. Lalu apa saja yang ditawarkan Belanda itu? Kalau melihat pameran foto dan model yang mendampingi seminar itu, memang banyak. Tampil segala kebolehan Belanda di bidang teknologi angkutan laut, darat, udara dan telekomunikasi. Dari kapal keruk sampai peralatan navigasi berkomputer. Dari derek pelabuhan sampai satelit IRAS yang Januari lalu diluncurkan Belanda. Ada cat khusus untuk pelapis pesawat udara sampai perencanaan pelabuhan peti kemas. Ada juga kabel serat kaca sampai antena radar mutakhir. Belum lagi bantalan rel kereta api, kaca pelindung terbuat dari intan raksasa untuk alat pengindera merah infra pada satelit IRAS, sistem pengendalian otomatis jaringan kereta api, dan alat sensur yang mengatur efisiensi dan perbandingan pemakaian bahan bakar dalam karburator mobil. Pilihan memang tidak terbatas dan ibarat belanja di supermarket, pengunjung cenderung ingin menggaet semuanya. Apakah Belanda itu tak tahu keadaan kita? Ny. Smit-Kroes menjawab pertanyaan TEMPO: "Kami mengerjakan PR (pekerjaan rumah) cukup cermat." Maksudnya persiapan seminar itu dilandasi pertimbangan prioritas yang dihadapi Indonesia. Delegasi Belanda itu agaknya tidak bermaksud menjual barang -- setidaknya belum dalam kesempatan ini. "Seminar ini bukan tujuan akhir, melainkan satu tahap dalam serangkaian kegiatan yang menuju pada kerjasama yang diharapkan," ujar L.HJ.B. van Gorkom, duta besar Belanda di Indonesia. Seperti dikemukakan Dr. K.A. de Jong, direktur Badan Perdagangan Luar Negeri dari Kementerian Ekonomi Belanda, kepada TEMPO: "Wakil perusahaan kami datang bukan untuk bik n kontrak tapi untuk bikin kontak." Sementara dalam seminar sudah disampaikan tawaran konkrit. "Kirimlah orang-orangmu sebanyak-banyaknya ke negeri kami untuk belajar," seru Dirjen PTT, Ph. Leenman, ketika memimpin sidang tentang telekomunikasi. Kontan saja seorang peserta Indonesia menanyakan tentang pembiayaan ajakan itu. "Kami tak akan berani menawarkan, kalau tidak siap untuk menjamin segala biaya," jawab Leenman. Pendeknya Belanda bertekad, jangan sampai seminar ini bernasib Eenmaal is Geenmaal, kalau hanya sekali sama dengan tidak sama sekali -- jangan sampai!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini