KEMASYHURANNYA bergema dan terekam dalam kitab bangsa seberang.
Namun di mana persisnya letak pusat Kerajaan Majapahit, yang
pernah jaya enam abad silam, tidak pernah terungkap. Hingga
beberapa waktu lalu, ketika hadir sejumlah fakta baru, yang
diperoleh melalui penerapan teknologi modern. Meski begitu,
fakta dan data baru itu belum menyingkap rahasia lokasi kerajaan
itu, bahkan para "ahli Majapahit" bertahan pada mazhabnya
sendiri.
Kisahnya bermula pada 1972. Ketika itu Penas melakukan
pemotretan udara di atas seluruh Pulau Jawa. Foto udara itu
dibuat dengan film hitam-putih biasa yang hasilnya dipergunakan
untuk menunjang pembuatan peta. Kerja rutin itu tidak menjadi
perhatian khusus dan bertahun-tahun terlupakan.
Tapi ketika P & k berencana melakukan penelitian untuk memugar
keraton bekas Kerajaan Majapahit, 1980, Prof. Dr. Kardono
Darmoyuwono dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional) teringat akan foto Penas itu. Di salah satu
foto dari daerah sekitar Trowulan di Jawa Timur terlihat
sejumlah garis-garis putih.
Bagian itu segera dibesarkan dan terlihat suatu pola jalur-jalur
lurus yang saling memotong tegak lurus. Keberaturan pola itu
menimbulkan dugaan: kemungkinan besar jaringan jalan raya atau
saluran air buatan. Dan mumpung ada rencana P & K itu, Kardono
membuat proposal, lalu dibentuk sebuah tim peneliti bersama P &
K, Arkeologi UI, Fisika ITB dan Hidrografi UGM. Tim ini mulai
bekerja pada 1980.
Langkah pertama ialah meneliti keadaan topografis jalur-jalur
itu. Ternyata permukaan jalur itu lebih rendah daripada daerah
kiri-kanannya -- dengan perbedaan tinggi rata-rata 1-2 m. Lebar
jalur itu diperkirakan sekitar 20-30 m. Kenyataan ini menjurus
pada kesimpulan bahwa jalur-jalur itu merupakan saluran air dan
bukan bekas jalan raya. Ini juga diperkuat penemuan lain. Tahun
itu juga Bakosurtanal, bekerja sama dengan Lapan, melakukan
pemotretan udara di atas daerah jalur-jalur itu. Kali ini
menggunakan film infrared yang dapat menampakkan jalur-jalur itu
sebagai daerah "sejuk" - karena berair atau lembab -- dengan
warna lebih gelap daripada daerah yang kering.
Meski begitu, tim belum puas, karena kemungkinan jalur-jalur itu
merupakan jalan raya belum tersanggah secara tuntas. "Kalau
jalan raya mestinya ada pengerasan," ujar Drs. Soenarso Simoen,
ketua Jurusan Hidrografi pada Fakultas Geografi UGM, pekan lalu.
Paling tidak karena seringnya dilalui kendaraan, kuda, dan
manusia. Di sinilah peranan jurusan Hidrografi untuk membuktikan
ini dengan peralatan geolistrik yang ada pada mereka.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa jalur-jalur itu tidak
mengalami pengerasan. Yang ada cuma endapan lumpur setebal 2-3
m. Sementara di tepi jalur itu, yang nyatanya lebih tinggi,
banyak ditemukan batu bata dan pecahan kereweng. Peta hasil
geolistrik itu menunjukkan, suatu profil saluran dengan
kedalaman sekitar 4 m, tebing agak miring dan lebar terbesar
antara 20 dan 30 m.
Tapi, menurut Soenarso, meski sudah terbukti jalur-jalur itu
bekas saluran air, fungsinya belum terungkap. Tapi, di kanan
kiri saluran itu tampaknya tidak ada lahan yang perlu diairi,
hingga tipis kemungkinannya bahwa saluran itu dipergunakan untuk
irigasi. "Lagipula, masak saluran irigasi lebarnya sampai 2-30
meter," kata Soenarso. Itu sebabnya sementara disimpulkan
saluran itu adalah jalur lalu lintas air.
Kalau dugaan ini betul, maka keadaan Kota Majapahit waktu itu
seperti Kuala Tungkal di Jambi atau Banjarmasin!
Tapi Drs. Martinus Sukarto K. Atmodjo dosen jurusan purbakala
dari Fakultas Sastra UGM, tidak heran mendengar hasil
interpretasi foto udara dan penelitian geolistrik itu. Pendapat
yang menganggap Majapahit itu 'kota air', menurut Sukarto, bukan
barang baru. Ini disimpulkan dari benda temuan dan interpretasi
prasasti. Pada sebuah prasasti bertarikh 1358 M, di zaman Raja
Majapahit II, tersebut nama berpuluh-puluh desa di tepi Sungai
Brantas dan Bengawan Solo. Desa-desa yang bebas pajak itu
disebut nadi tira pradesa, artinya desa di pinggir kali. "Ini
membuktikan sungai itu penting untuk perdagangan dan lalu
lintas," ujar Sukarto.
Tapi tidak semua ahli sependapat agaknya. Di antaranya Prof. Dr.
Slametmoeljono, bekas dosen di Sastra UI. Meski mengakui tidak
pernah melakukan penelitian arkeologis di lapangan, "semua
literatur yang berhubungan dengan Majapahit, saya baca " katanya
pekan lalu. Menurut Slametmoeijono yang filolog itu, bisa saja
garis-garis pada sebuah foto dianggap sebagai parit. "Akibatnya
Trowulan penuh parit," katanya agak sinis. "Apakah tidak ada
kemungkinan lain kecuali parit?"
Menurut Slametmoeljono, Majapahit letaknya cukup jauh dari laut,
juga dari Sungai Brantas sedang tempatnya cukup tinggi. "Kalau
garis-garis itu dianggap sebagai parit, agak aneh buat saya,"
ujarnya lagi. Juga dalam buku Negarakertagama tak pernah disebut
tentang adanya parit. Satu-satunya parit yang disebut, hanya
parit pertahanan, yang melingkari lapangan di muka gerbang barat
(pura waktra).
Slametmoeljono tetap berpegang pada naskah Negarakertagama
karangan Mpu Prapanca yang pernah ia terjemahkan. Karyanya itu
terbit dengan judul "Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya".
Sesaat lagi bukunya terbaru "Singosari, Majapahit dan Demak"
akan terbit. Keyakinan, Majapahit bukan "kota parit" juga
didasarkan naskah Pararaton, yang ditulis sesudah
Negarakertagama. Tak ada disebut tentang parit dalam Pararaton
itu.
Sumber lain adalah catatan seorang ulama Cina bernama Ma Huan,
yang pernah berkunjung ke Majapahit, 1416 M. Catatannya itu
berjudul Ying Yai Seng Lan dan menggambarkan geografi kota-kota
utama Kerajaan Majapahit serta cara mencapai Majapahit itu dari
Surabaya. Ma Huan itu naik perahu dari Surabaya sejauh 40 km
menuju Cangu. Setelah itu berjalan kaki ke arah selatan selama 1
« hari, baru sampai di Majapahit. Ma Huan itu secara teliti
menggambarkn keadaan kerajaan itu, tanpa menyebut adanya parit.
Slametmoeljono tidak mengindahkan hasil penerapan teknik baku
seperti pengukuran geolistrik, geomagnetis dan foto udara dengan
film infrared. Soalnya, "banyak pertentangannya dengan
sumber-sumber tertulis," ujar ahli naskah kuno itu yang pernah
melontarkan versi lain tentang asal usul Wali Sanga -- lain
dulu, lain sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini