Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Majapahit di kepung parit?

Berdasarkan hasil interpretasi foto udara dan penelitian geolistrik, fakta baru menunjukkan bahwa majapahit adalah kota air. (ilt)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMASYHURANNYA bergema dan terekam dalam kitab bangsa seberang. Namun di mana persisnya letak pusat Kerajaan Majapahit, yang pernah jaya enam abad silam, tidak pernah terungkap. Hingga beberapa waktu lalu, ketika hadir sejumlah fakta baru, yang diperoleh melalui penerapan teknologi modern. Meski begitu, fakta dan data baru itu belum menyingkap rahasia lokasi kerajaan itu, bahkan para "ahli Majapahit" bertahan pada mazhabnya sendiri. Kisahnya bermula pada 1972. Ketika itu Penas melakukan pemotretan udara di atas seluruh Pulau Jawa. Foto udara itu dibuat dengan film hitam-putih biasa yang hasilnya dipergunakan untuk menunjang pembuatan peta. Kerja rutin itu tidak menjadi perhatian khusus dan bertahun-tahun terlupakan. Tapi ketika P & k berencana melakukan penelitian untuk memugar keraton bekas Kerajaan Majapahit, 1980, Prof. Dr. Kardono Darmoyuwono dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) teringat akan foto Penas itu. Di salah satu foto dari daerah sekitar Trowulan di Jawa Timur terlihat sejumlah garis-garis putih. Bagian itu segera dibesarkan dan terlihat suatu pola jalur-jalur lurus yang saling memotong tegak lurus. Keberaturan pola itu menimbulkan dugaan: kemungkinan besar jaringan jalan raya atau saluran air buatan. Dan mumpung ada rencana P & K itu, Kardono membuat proposal, lalu dibentuk sebuah tim peneliti bersama P & K, Arkeologi UI, Fisika ITB dan Hidrografi UGM. Tim ini mulai bekerja pada 1980. Langkah pertama ialah meneliti keadaan topografis jalur-jalur itu. Ternyata permukaan jalur itu lebih rendah daripada daerah kiri-kanannya -- dengan perbedaan tinggi rata-rata 1-2 m. Lebar jalur itu diperkirakan sekitar 20-30 m. Kenyataan ini menjurus pada kesimpulan bahwa jalur-jalur itu merupakan saluran air dan bukan bekas jalan raya. Ini juga diperkuat penemuan lain. Tahun itu juga Bakosurtanal, bekerja sama dengan Lapan, melakukan pemotretan udara di atas daerah jalur-jalur itu. Kali ini menggunakan film infrared yang dapat menampakkan jalur-jalur itu sebagai daerah "sejuk" - karena berair atau lembab -- dengan warna lebih gelap daripada daerah yang kering. Meski begitu, tim belum puas, karena kemungkinan jalur-jalur itu merupakan jalan raya belum tersanggah secara tuntas. "Kalau jalan raya mestinya ada pengerasan," ujar Drs. Soenarso Simoen, ketua Jurusan Hidrografi pada Fakultas Geografi UGM, pekan lalu. Paling tidak karena seringnya dilalui kendaraan, kuda, dan manusia. Di sinilah peranan jurusan Hidrografi untuk membuktikan ini dengan peralatan geolistrik yang ada pada mereka. Penelitian ini mengungkapkan bahwa jalur-jalur itu tidak mengalami pengerasan. Yang ada cuma endapan lumpur setebal 2-3 m. Sementara di tepi jalur itu, yang nyatanya lebih tinggi, banyak ditemukan batu bata dan pecahan kereweng. Peta hasil geolistrik itu menunjukkan, suatu profil saluran dengan kedalaman sekitar 4 m, tebing agak miring dan lebar terbesar antara 20 dan 30 m. Tapi, menurut Soenarso, meski sudah terbukti jalur-jalur itu bekas saluran air, fungsinya belum terungkap. Tapi, di kanan kiri saluran itu tampaknya tidak ada lahan yang perlu diairi, hingga tipis kemungkinannya bahwa saluran itu dipergunakan untuk irigasi. "Lagipula, masak saluran irigasi lebarnya sampai 2-30 meter," kata Soenarso. Itu sebabnya sementara disimpulkan saluran itu adalah jalur lalu lintas air. Kalau dugaan ini betul, maka keadaan Kota Majapahit waktu itu seperti Kuala Tungkal di Jambi atau Banjarmasin! Tapi Drs. Martinus Sukarto K. Atmodjo dosen jurusan purbakala dari Fakultas Sastra UGM, tidak heran mendengar hasil interpretasi foto udara dan penelitian geolistrik itu. Pendapat yang menganggap Majapahit itu 'kota air', menurut Sukarto, bukan barang baru. Ini disimpulkan dari benda temuan dan interpretasi prasasti. Pada sebuah prasasti bertarikh 1358 M, di zaman Raja Majapahit II, tersebut nama berpuluh-puluh desa di tepi Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Desa-desa yang bebas pajak itu disebut nadi tira pradesa, artinya desa di pinggir kali. "Ini membuktikan sungai itu penting untuk perdagangan dan lalu lintas," ujar Sukarto. Tapi tidak semua ahli sependapat agaknya. Di antaranya Prof. Dr. Slametmoeljono, bekas dosen di Sastra UI. Meski mengakui tidak pernah melakukan penelitian arkeologis di lapangan, "semua literatur yang berhubungan dengan Majapahit, saya baca " katanya pekan lalu. Menurut Slametmoeijono yang filolog itu, bisa saja garis-garis pada sebuah foto dianggap sebagai parit. "Akibatnya Trowulan penuh parit," katanya agak sinis. "Apakah tidak ada kemungkinan lain kecuali parit?" Menurut Slametmoeljono, Majapahit letaknya cukup jauh dari laut, juga dari Sungai Brantas sedang tempatnya cukup tinggi. "Kalau garis-garis itu dianggap sebagai parit, agak aneh buat saya," ujarnya lagi. Juga dalam buku Negarakertagama tak pernah disebut tentang adanya parit. Satu-satunya parit yang disebut, hanya parit pertahanan, yang melingkari lapangan di muka gerbang barat (pura waktra). Slametmoeljono tetap berpegang pada naskah Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang pernah ia terjemahkan. Karyanya itu terbit dengan judul "Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya". Sesaat lagi bukunya terbaru "Singosari, Majapahit dan Demak" akan terbit. Keyakinan, Majapahit bukan "kota parit" juga didasarkan naskah Pararaton, yang ditulis sesudah Negarakertagama. Tak ada disebut tentang parit dalam Pararaton itu. Sumber lain adalah catatan seorang ulama Cina bernama Ma Huan, yang pernah berkunjung ke Majapahit, 1416 M. Catatannya itu berjudul Ying Yai Seng Lan dan menggambarkan geografi kota-kota utama Kerajaan Majapahit serta cara mencapai Majapahit itu dari Surabaya. Ma Huan itu naik perahu dari Surabaya sejauh 40 km menuju Cangu. Setelah itu berjalan kaki ke arah selatan selama 1 « hari, baru sampai di Majapahit. Ma Huan itu secara teliti menggambarkn keadaan kerajaan itu, tanpa menyebut adanya parit. Slametmoeljono tidak mengindahkan hasil penerapan teknik baku seperti pengukuran geolistrik, geomagnetis dan foto udara dengan film infrared. Soalnya, "banyak pertentangannya dengan sumber-sumber tertulis," ujar ahli naskah kuno itu yang pernah melontarkan versi lain tentang asal usul Wali Sanga -- lain dulu, lain sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus