BILA ada yang lebih menderita daripada orang Palestina, barangkali itulah Kurdi. Bangsa ini belum pernah punya negara, tak populer secara internasional, dibantu bila diperlukan dan sesudahnya ditindas. Lihat saja nasib mereka di Irak. Merasa punya kesempatan selagi Saddam Hussein kalah perang dan digoyang kelompok Syiah di selatan, orang Kurdi bangkit di utara. Berhasil, sebentar. Beberapa kota Irak utara direbut. Namun, begitu pasukan Pengawal Republik ditarik dari selatan, bubarlah perlawanan Kurdi. Mereka bukan tandingan pasukan yang terlatih dan berdisiplin tinggi. Kini ratusan mereka -- tak cuma lelaki bersenjata, tapi juga wanita dan anak-anak -- terjepit di bukit-bukit bersalju, di perbatasan Suriah, Turki, dan Iran. Ketakutan mereka terutama bukan karena pasukan Pengawal Republik yang terus mengejar, tapi lebih karena trauma peristiwa di Kota Halabja, tiga tahun lalu. Dekat setelah perang Iran-Irak berhenti, Saddam mengirim senjata kimia ke Halabja. Sekitar 4.000 orang Kurdi tewas. Maka, bukan omong kosong bila pemimpin Kurdi mengatakan bahwa mereka bukannya kalah, tapi mundur untuk menghindarkan korban sipil. Maka, sungguh tak ada artinya tawaran pengampunan pemerintah Irak bagi semua orang Kurdi, kecuali bagi "mereka yang terlibat dalam pembunuhan, perkosaan, dan penjarahan". Jawaban Front Demokratik Kurdi yang bermarkas di Damaskus, "Kami tak percaya pada Saddam. Itu cuma guyon orang gila." Pasukan gerilya Kurdi tampaknya memang kurang terkoordinasi dengan baik. Sekarang saja mereka punya dua pucuk pimpinan: Masoud Barzani, pemimpin Partai Demokratik Kurdi yang bergerak di perbatasan, dan Jalal Talabani, Ketua Uni Patriotik Kurdi yang mengambil posisi agak di selatan. Mereka bukan lawan pasukan bersenjata berat yang didukung angkatan udara. Benar, Irak yang kalah perang diancam Amerika bila berani menggunakan angkatan udaranya terhadap Kurdi dan Syiah. Ketika dua pesawat SU-22 milik Irak dirontokkan Amerika, harapan pasukan Kurdi marak. Tapi, hanya pesawat bersayap permanen itulah yang diancam akan ditembak. Artinya, helikopter, bersenjata atau tidak, aman dari gangguan tentara Amerika. Apa mau dikata, peluang ini dimanfaatkan benar oleh Saddam, dan kocar-kacirlah Kurdi. Yang lebih menyengsarakan orang yang lari ke bukit-bukit itu, setelah penindasan pemberontakan pada 1988, Saddam memerintah- kan desa-desa Kurdi yang berada di pegunungan semuanya diratakan dengan tanah. Para penghuninya dipaksa pindah ke tempat permukiman di pinggiran kota terdekat. Dalam kondisi perbukitan tanpa penghuni itu, sulit bagi Kurdi menjalankan taktik gerilya. Tak ada penduduk yang bisa jadi andalan sumber makanan, dan tak ada tempat sembunyi. Di samping itu, dengan tiadanya warga desa, bebaslah bagi helikopter Saddam untuk menghamburkan peluru dan bom. Tak enaknya lagi, orang Kurdi selalu mengambil posisi serba salah. Dalam perang Iran-Irak, Kurdi yang bermukim di Irak membantu tentara Iran yang masuk ke Irak. Celakanya, Iran tak terus menang, bahkan gencatan senjata diteken. Maka, begitu Iran meninggalkan wilayah Irak yang direbut dengan pertolongan Kurdi, ganti Irak menghantam Kurdi habis-habisan. Bahkan dalam Revolusi Islam di Iran, orang Kurdi seperti ditipu. Mereka bertempur melawan pasukan Syah Iran, dan mendukung Khomeini. Republik Islam Iran berdiri, permintaan orang Kurdi memiliki wilayah otonom di Provinsi Kurdistan ditolak. Orang Kurdi berontak, tapi dengan mudah dipadamkan. Di Turki, orang Kurdi dipaksa meninggalkan bahasa dan adatnya. Bila mereka menolak, penjara akibatnya. Memang, sebuah wilayah bernama Kurdistan, tanah orang Kurdi. Namun, itu hanya nama karena sepanjang sejarah belum pernah secara berdaulat dimiliki oleh Kurdi. Bahkan kemudian Kurdistan terbagi-bagi masuk dalam wilayah Irak, Iran, Turki, juga Soviet dan Suriah. Itu pula yang menyebabkan Amerika dan Barat umumnya enggan mendukung Kurdi -- takut menyinggung kedaulatan negara yang menyimpan sepotong Kurdistan. Maka, meski Amerika dan Inggris mengirimkan bantuan makanan dan tenda-tenda, tidak bantuan militer. Tak sebagaimana pembelaan Barat terhadap Kuwait, orang Kurdi seolah dibiarkan hidup untuk sengsara. Mungkin karena itu, orang Kurdi mencoba menarik perhatian dunia dengan menduduki Kedutaan Besar Irak di London, Jumat pekan lalu. Dua hari sebelumnya, Kedutaan Irak di Brussel juga mengalami nasib sama. Di Istambul, di depan konsulat Irak, demonstrasi Kurdi meletus. Sementara itu, di Wina, sekelompok orang Kurdi melakukan aksi duduk di kantor PBB. Semua gerakan itu meminta dunia menghentikan Irak, yang mereka sebut sedang melakukan pemusnahan bangsa Kurdi. Reaksi memang ada. Jumat pekan lalu, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi mengecam Irak. Namun, itu hanya kata-kata, tanpa ada prospek tindakan nyata. Maka, sekitar 18 juta orang Kurdi, yang terbagi di banyak negara itu, boleh terus meratap, tapi dunia internasional tetap enggan turun tangan. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini