BAAD al azimah, itulah kata-kata yang kini merajalela di Arab Saudi. Dalam percakapan-percakapan di mana pun, kata itu tak pernah ditinggalkan. Adapun arti kata itu, biasa saja: "sesudah krisis". Maksudnya, tentulah Krisis Teluk. Memang, di Saudi, ada yang berubah sesudah Perang Teluk. Orang tak lagi cuma diam bila tak setuju, tapi mengutarakan pendapatnya dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka pun tak takut lagi bila pendapatnya didengarkan orang lain, termasuk wartawan asing. Tengoklah percakapan seru di sebuah tenda, di samping sebuah rumah di pinggiran Riyadh, belum lama ini, yang dihadiri oleh wartawati New York Times Magazine, yang kemudian melaporkannya di medianya. Di tenda permanen gaya Badui, merupakan bagian dari halaman rumah yang berpagarkan tembok tinggi, yang dilengkapi seperangkat peralatan elektronik mewah -- sejumlah pemuda Saudi berdebat sengit. "Pasukan Amerika seharusnya tak perlu diundang masuk ke sini," ujar pemuda bernama Abdul Rahman sambil mengisap rokok Marlboronya. "Kita sudah menjadi negara yang diduduki." "Kau lebih suka negara kita diduduki Saddam Hussein?" tukas Muhammad. "Mengapa sih itu cuma satu-satunya pilihan. Apa yang terjadi dengan milyaran dana pertahanan kita?" Abdul Rahman kembali melemparkan persoalan. Muhammad tak menggubris pertanyaan itu. "Saddam Hussein itu monster," katanya. Pemuda ini memang punya alasan pribadi terhadap Saddam. Adik perempuannya kawin dengan warga Kuwait. Ketika Irak menyerbu Kuwait, paman iparnya baru saja selesai menjalani operasi jantung di sebuah rumah sakit di Kota Kuwait. Sejumlah tentara Irak, yang tiba-tiba masuk ke rumah sakit itu, langsung saja menarik seluruh selang penunjang hidup sang paman, dan menembak kepalanya. Pemuda Abdul Aziz, yang selama itu diam, buka suara. "Saya benci Saddam Hussein," ujarnya. "Ia merusak acara berburuku." Pemerintah Riyadh, sebelum Krisis Teluk, berusaha sedemikian rupa agar para wartawan asing tak mengusik Arab Saudi. (Keluarga Saud, sejak dahulu, tak pernah menyukai pers, terutama setelah terjadi kontroversi siaran TV tentang eksekusi pemancungan kepala salah seorang anggota keluarganya pada 1977. Pemutaran rekaman pemancungan seorang putri keluarga Saud -- konon cucu kemenakan raja -- dan kekasihnya, yang dituduh berzina, sempat mengundang perhatian dan kecaman dunia.) Namun, Perang Teluk mengubah segalanya. Tiba-tiba saja pemerintah Riyadh jadi kelewat ramah: Riyadh mengobral izin masuk bagi wartawan asing. Sekitar 2.000 wartawan asing bebas berkeliaran baik di kota maupun di gurun di kerajaan yang kaya minyak ini selama Krisis dan Perang Teluk. Di dalam Saudi sendiri, untuk pertama kalinya, terjadi suatu gejolak yang belum pernah ada. Biasanya, kehidupan sosial di Saudi mengalir menurutkan aturan-aturan yang keluar dari Dewan Kerajaan di Riyadh, tanpa bisa dibelokkan. Sejak Krisis Teluk meletus, rakyat Saudi, pada segala tingkatan, memperdebatkan masa depan mereka secara bersemangat. Menurut koresponden TEMPO Dja'far Bushiri, yang masih berada di Jeddah pekan lalu, untuk pertama kali dalam sejarah Saudi modern, muncul dan kian berkembang tuntutan masyarakat agar rakyat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Kini mulai terdengar suara-suara yang mempersoalkan, mengapa kabinet didominasi oleh keluarga Raja. Hanya satu-dua menteri diangkat dari kalangan di luar keluarga raja. Umpamanya, menteri perburuhan dan urusan masyarakat. Ada yang mengatakan, sistem pemerintahan yang berjalan sebenarnya bukan berdasarkan Islam sepenuhnya karena lebih didominasi oleh tradisi kerajaan. Ia memberi contoh, Islam mengatur agar pemilihan pemegang pucuk kekuasaan ditentukan atas dasar syura atau musyawarah. Yang terjadi di Saudi, pucuk pimpinan ditentukan berdasarkan hak waris. Dengan kata lain, suatu tuntutan diterapkannya semacam demokrasi gaya Barat di negeri monarki ini tengah bergerak. Sudah lama kelompok liberal Saudi berpendidikan Barat -- dikenal sebagai para teknokrat -- mengalami frustrasi akibat pembatasan-pembatasan pada diskusi umum. Juga pada kontrol ketat pers. Tapi baru kini mereka berani bersuara, menuntut penghentian sensor pemerintah. Mereka menginginkan hak berorganisasi secara sosial dan politik tanpa rasa takut diintimidasi dan dicap kafir. Kelompok muda berpendidikan ini -- tujuh perguruan tinggi tiap tahun menelurkan ribuan sarjana pria dan wanita -- tampak resah tiba-tiba harus menyadari betapa soal hak sosial di Saudi tertinggal dalam beberapa hal. Bahkan dengan tetangganya, Kuwait. Inilah akibat berseliwerannya wanita-wanita Kuwait di belakang setir mobil mewah mereka. Hal itu secara langsung rupanya mempengaruhi sejumlah wanita Saudi, khususnya mereka yang sudah pernah "mencium bau Barat", yang umumnya memang juga bisa mengemudi mobil. Antara lain karena itulah terjadi aksi protes oleh 50 wanita Saudi, November silam. Mereka secara demonstratif beriringan mengendarai sendiri 15 mobil sepanjang jalan raya Raya Abdul Aziz di Riyadh. Tapi unjuk rasa setir mobil kaum hawa Saudi itu ternyata tak berbuah seperti yang diinginkan. Pemerintah menindak dengan tegas: memecat mereka yang mengajar di perguruan tinggi, melarang mereka dan keluarganya bepergian ke luar negeri, dan melarang mereka bertemu dengan wartawan asing. Pemimpin mereka ditahan. Untunglah, Gubernur Riyadh Pangeran Salman bin Abdul Aziz sebenarnya mendukung aksi ini. "Saya setuju dengan tuntutan mereka, tapi waktunya belum tepat benar. Tunggulah beberapa bulan lagi," katanya. Meski tuntutan belum dikabulkan, mereka yang ditahan akhirnya dibebaskan, "mereka tak melakukan pelanggaran kriminal," kata gubernur itu. Sejauh ini, sebagian rakyat Saudi sudah merasa bangga bahwa mereka bisa mendiskusikan soal-soal yang dahulu disinggung-singgung pun tidak. Sebagian yang lain tetap pesimistis bahwa gerakan ini akan mengkristal lebih berwujud. Mengapa? Pada kenyataannya, banyak kaum pedagang dan pegawai pemerintah tak begitu peduli pada aspirasi baru. Mereka sudah cukup puas dengan berbagai fasilitas yang diberikan oleh kerajaan. Minyak memang mengubah dan, mungkin, membentuk masyarakat Saudi. Juga nasib Dinasti Saud. Dengan seperempat cadangan minyak dunia tersimpan di bumi mereka, Saudi yang primitif tiba-tiba berkembang jadi negeri modern sejak 1960-an: dengan sistem komunikasi tercanggih di dunia, gedung-gedung spektakuler, taman-taman di bekas gurun -- di Riyadh saja kini tumbuh sekitar sejuta pohon palem. Generasi tua, yang masih ingat zaman rumah dari lumpur dan tidur dengan ternak, umumnya berterima kasih kepada pemerintah. Namun, banyak generasi muda yang melecehkan keberhasilan pemerintah Riyadh. "Orang bodohpun bisa membangun negara dengan dana lebih dari 500 juta dolar," ujar seorang profesional Saudi. Mereka yang berterima kasih pun punya alasan sendiri. Mereka memuji "kejeniusan keluarga Saud": kemampuannya menjaga stabilitas dengan menjadi pengimbang kekuatan-kekuatan yang bertentangan. Tak dirincinya bagaimana keluarga Saud menjaga keseimbangan itu. Pihak penentang menyebut cara itu sebagai "politik rial". Yakni memberi hadiah kepada kawan, dan menyuap musuh. Ada yang mencoba memberikan analisa dari sisi lain. "Kestabilan Saudi bisa ditambatkan secara positif karena kemampuan pemerintah menjamin kemakmuran dan keamanan," ujar Abdulaziz Fahad, pengacara Saudi yang menulis buku tentang kehidupan politik di negaranya. Dan hanya kemakmuran dan keamanan, itu tidak cukup. Teori itu terbukti ketika pada 1980-an harga minyak merosot, dan dana untuk membeli kesetiaan masyarakat bisnis Saudi pun susut. Ketika itulah muncul protes pada monopoli bisnis sejumlah pangeran keluarga Saud. Maka, ketika Irak menginvasi Kuwait dan kestabilan Saudi terancam, protes pun menemukan pintu keluar. Tiba-tiba saja setiap orang -- dari kelompok fundamentalis sampai kaum pedagang -- menuntut perubahan sistem yang lebih mementingkan keadilan. Debat soal masa depan kerajaan pun dimulai. Tuntutan diberikannya peran serta lebih besar dalam pengambilan keputusan pada rakyat merupakan dampak politik pertama yang paling menonjol setelah Krisis Teluk. Pemerintah langsung memberikan tanggapan. Dalam sebuah pidato pada Oktober tahun lalu, Raja Fahd berjanji untuk membentuk Majelis Asyura, Dewan Konsultasi. Badan ini akan menampung gagasan dan kritik pada pemerintah. Pers pun, yang semula dikontrol ketat -- tiga hari setelah pendudukan Irak atas Kuwait, pers Saudi masih belum memberitakannya -- akibat kehadiran pasukan asing dan pers asing, mulai agak dibebaskan. "Dalam sekejap terciptalah glasnost gaya Saudi," ujar seorang pengamat Barat tentang pers Saudi pada masa Krisis Teluk. Berita-berita di media Saudi jadi berwarna dan "basah". Misalnya, sebuah majalah wanita Saudi Sayidati, yang biasanya hanya menulis masalah keluarga yang baik-baik, menurunkan cerita perkosaan oleh tentara Irak di Kuwait. Sebuah koran berbahasa Inggris mulai berani menulis soal pelanggaran hak asasi meski yang diceritakan peristiwa di Irak. Sebelumnya, menurunkan cerita tentang keburukan negara Arab tetangga dan berita pelanggaran susila sungguh tabu. Toh masalah di dalam negeri sendiri tetap tak disinggung. Peristiwa 50 wanita berdemonstrasi menuntut hak menyetir mobil sendiri itu, umpamanya, tak sekalimat pun ada di media Saudi. Akibatnya, desas-desus tentang masalah dalam negeri hidup subur -- suatu hal yang biasa terjadi di negeri yang persnya kurang bebas. Ada isu yang benar, tak sedikit yang cuma omong kosong -- tapi hampir semua dipercaya oleh massa. Salah satu desas-desus paling hangat adalah masalah korupsi, khususnya korupsi di kalangan keluarga kerajaan. Contohnya soal topeng pelindung senjata kimia. Begitu kabar pertama muncul, bahwa Scud Irak menghantam Ibu Kota, ribuan warga Saudi dan pekerja asing mencari topeng pelindung senjata kimia itu. Namun, cuma ratusan yang tersedia di penyalur-penyalur lokal. Kata seorang pengusaha Saudi pada wartawan New York Times Magazine, hak tunggal mengimpor penangkal senjata kimia itu diberikan pada seorang anak pejabat tinggi. Setelah pecah perang, harga impor topeng pelindung itu melambung, itu berarti tak lagi mendatangkan untung besar bagi importirnya. Maka, pembelian pun dibatalkan. Dampak glasnost gaya Saudi memang tak terhindarkan. Dimuatnya berita-berita soal hak asasi di Irak, atau perbedaan kaya miskin di Kuwait, rupanya membuat rakyat Saudi bertanya tentang hal yang sama tapi yang terjadi di negerinya sendiri. Tiba-tiba ada yang mulai mempersoalkan perbedaan yang besar antara penghasilan para pangeran dari komisi perusahaan asing yang berusaha di Saudi dan gaji warga biasa. Memang tak semua pangeran dan putri keluarga kerajaan hidup bermewah-mewah. "Kami merupakan keluarga besar. Saya tahu, ada sejumlah pangeran yang bahkan untuk membayar sewa rumah pun sulit," ujar Pangeran Abdullah bin Faisal bin Turki. Pangeran ini, salah satu generasi muda kerajaan, dikenal sebagai pekerja keras dan hidup sederhana. Namun, dari sekitar 5.000 pangeran dan putri keluarga kerajaan, lebih banyak yang hidup mencolok, menghamburkan kekayaan di dalam dan luar negeri. Bila pemerintah Saudi bertahan pada sikap konservatifnya, tampaknya lebih karena Raja Fahd membutuhkan dukungan para syeikh dan mufti dalam masalah penempatan pasukan asing di Saudi. Menurut seorang profesor Saudi, "Kelompok religius menentang masuknya pasukan asing dan hak wanita menyetir mobil. Raja mengorbankan salah satu, untuk mendapat dukungan yang lain." Begitu pemerintah mengambil sikap keras pada para pengunjuk rasa wanita, selebaran dan kaset yang menentang hadirnya pasukan asing raib. Khotbah Jumat di masjid-masjid kelompok fundamentalis pun mengalihkan topik perang ke topik yang lain. Dan ketika Sheik Abdulaziz bin Baz, Ketua Dewan Ulama Tinggi, mengeluarkan fatwa Januari silam, untuk perang jihad melawan Saddam dan membenarkan kehadiran pasukan asing yang bukan muslim di Saudi, kelompok fundamentalis tak lagi membicarakan soal diundangnya pasukan asing. Kelompok fundamentalis memang cukup punya kekuatan. Kelompok ini memiliki sejumlah juru bicara yang masih muda, di bawah usia 35 tahun. Daerah gerak mereka selain di masjid-masjid, juga di sejumlah perguruan tinggi. Dari sana, mereka berhasil menghimpun pengikut yang loyal. Politik dalam negeri Saudi pada pasca perang tampaknya masih belum jelas. Analisa sementara pada akhirnya benturan dengan kelompok ekstrem akan tak terhindarkan bila arus "modernisasi" kini berjalan terus. Belum lagi politik luar negeri yang menyangkut masalah Israel. Bila mengikuti kecenderungan yang muncul di Konperensi Liga Arab bulan lalu, Saudi harus berubah sikap terhadap Israel (lihat Menuju Timur Tengah Baru). Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini