Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Niat Bersatu di Tahun Baru

Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, menyerukan reunifikasi dengan Korea Selatan. Terganjal kebijakan Korea Selatan.

6 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIM Jong-un berdiri tegak di belakang podium besar berwarna cokelat pada Selasa pekan lalu. Di samping kanan podium, berdiri sebuah tiang dengan bendera Partai Buruh Korea berwarna merah dengan logo palu-sabit-kuas di tengahnya. Logo yang sama tertempel pada bagian depan podium dan di dinding di belakang podium. Tak ada bendera Korea Utara di sekeliling podium itu.

Jong-un berpidato. Suaranya bombastis. Hari itu pemimpin Korea Utara tersebut menyerukan diakhirinya konfrontasi dengan Korea Selatan. Kedua negara terlibat konflik sejak meletus Perang Korea pada 1950-1953.

"Kunci untuk mengakhiri pemisahan negara dan mencapai reunifikasi adalah mengakhiri konfrontasi Utara dan Selatan. Konfrontasi tak menghasilkan apa-apa kecuali perang," ujar Kim muda seperti dikutip kantor berita KCNA.

Ini untuk pertama kalinya dalam 19 tahun terakhir pemimpin Korea Utara menyampaikan pidato tahun baru. Mendiang Kim Jong-il, ayah Kim Jong-un, tak pernah melakukannya selama 17 tahun berkuasa. Jong-un mengikuti jejak kakeknya, Kim Il-sung, yang sangat dihormati penduduk Korea Utara karena dianggap lebih dekat dengan rakyatnya ketimbang Kim Jong-il.

Ketika berkuasa selama 46 tahun, Kim Il-sung secara rutin berpidato pada tahun baru. Terakhir kali ia melakukannya pada tahun baru 1994 atau enam bulan sebelum "Pemimpin Besar" itu wafat pada 8 Juli. Kim Jong-un memang dianggap mirip sang kakek semasa muda, dalam berpakaian, penampilan, gerak-gerik, ataupun potongan rambut.

Dalam pidato sepanjang 4.000 kata yang disiarkan radio dan televisi pemerintah itu, pria 29 tahun tersebut juga berjanji meningkatkan standar hidup penduduknya, yang sebagian menderita karena kelaparan. Kendati begitu, ia tetap bertekad memperkuat militernya dengan mengembangkan senjata canggih.

"Mari kita membuat perubahan besar untuk membangun raksasa ekonomi dengan semangat dan keberanian, sama seperti kita menaklukkan antariksa," ujar Jong-un merujuk pada keberhasilan peluncuran roket jarak jauh pada Desember lalu.

Sejak Juli tahun lalu, sejumlah media Korea Utara memberitakan pemerintah mulai memberikan insentif untuk meningkatkan produktivitas di sektor pertanian dan industri. Para petani diizinkan menyimpan hingga 50 persen hasil panennya. Selama ini sebagian besar hasil panen harus dijual ke pemerintah dengan harga lebih rendah dari harga pasar. Kebijakan itu untuk menekan kenaikan harga bahan makanan dan mengatasi malnutrisi.

Kim Jong-un mengatakan prasyarat dasar untuk meningkatkan hubungan serta mempercepat reunifikasi adalah menghormati dan melaksanakan deklarasi bersama, yang ditandatangani pada Juni 2000 dan Oktober 2007. Kala itu, Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung dan penggantinya, Roh Moo-hyun, mengeluarkan kebijakan menggenjot rekonsiliasi dan kerja sama ekonomi dengan Korea Utara.

Korea Selatan pun mengucurkan dana miliaran dolar untuk investasi, perdagangan, dan bantuan ke Korea Utara. Korea Selatan menanamkan modalnya di galangan kapal dan kawasan industri. Para pemimpin Korea Selatan percaya niat baik di bidang ekonomi adalah jalan terbaik mengakhiri isolasi, permusuhan, dan kesenjangan ekonomi di antara kedua Korea.

Tapi hubungan yang mulai menghangat itu berantakan sejak Lee Myung-bak berkuasa pada 2008. Dia menghentikan semua bantuan dan investasi dengan alasan mencegah pengembangan program nuklir Korea Utara. Hubungan kedua negara pun memburuk, yang berujung pada penembakan terhadap pulau milik Korea Selatan, Pulau Yeonpyeong, yang menewaskan dua penduduk dan dua serdadu pada 2010.

Pidato Kim Jong-un yang disampaikan secara langsung—bukan melalui siaran pers di media massa—itu merupakan pertanda positif di tengah memanasnya hubungan kedua negara setelah peluncuran roket Korea Utara. "Bahasanya mendalam. Tidak berlebihan seperti layaknya propaganda Korea Utara," kata Mark Fitzpatrick dari Institut Internasional untuk Kajian-kajian Strategis, yang berpusat di London, Inggris.

Namun bekas anggota staf senior Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat itu ragu ucapan Jong-un tersebut sebagai bukti perubahan kebijakan yang ekstrem di Korea Utara. "Saya tidak membacanya sebagai tanda damai," ujarnya.

Sedangkan Menteri Unifikasi Korea Selatan Yu Woo-ik mengatakan pidato itu tidak spesial, hanya berisi niat Kim Jong-un mengelola hubungan antar-Korea. "Pesannya hambar dan tanpa usul inovatif," ucap Woo-ik seperti dikutip kantor berita Yonhap pada Rabu pekan lalu.

Sebagian besar media massa Korea Selatan tak menanggapi serius isi pidato itu. Dalam editorialnya, JoongAng Daily menulis usul reunifikasi bisa diterima bila Korea Utara sungguh-sungguh melaksanakan reformasi. Harian ini menilai pidato itu berkaitan dengan kampanye Park Geun-hye—presiden terpilih Korea Selatan—yang menyatakan akan meningkatkan hubungan kedua negara.

Upaya reunifikasi dua Korea sebenarnya telah dimulai jauh sebelum Kim Jong-un lahir. Korea Selatan di bawah pemerintahan Park Chung-hee mengawalinya dengan membentuk Dewan Unifikasi Nasional pada 1969. Lembaga ini berperan mempromosikan dialog dan kerja sama Utara-Selatan.

Pada 1998, lembaga ini berubah menjadi Kementerian Unifikasi. Selain mengurusi aneka rupa kebijakan dan kerja sama antar-Korea, salah satu biro di kementerian ini bertugas mengurusi Kompleks Industri Gaeseong, salah satu wujud nyata upaya reunifikasi yang digagas Korea Selatan.

Kompleks industri seluas 66 kilometer persegi itu mulai dibangun pada Juni 2003 di wilayah Korea Utara, sekitar sepuluh kilometer dari Zona Demiliterisasi Korea. Kompleks ini dihubungkan oleh jalur kereta api dan jalan ke wilayah Selatan serta hanya satu jam perjalanan dari Seoul, ibu kota Korea Selatan. Pada Agustus 2003, Utara dan Selatan meratifikasi empat perjanjian pajak dan pembukuan untuk mendukung investasi.

Konstruksi percontohan dibuka pada 2004. Lima belas perusahaan Korea Selatan membangun fasilitas pabrik, tiga di antaranya mulai beroperasi Maret 2005. Fase awal ini melibatkan 250 perusahaan Korea Selatan yang mempekerjakan sekitar 100 ribu orang hingga 2007. Pembangunan kompleks ini direncanakan selesai pada 2012 dan akan mempekerjakan 700 ribu orang. Sejak Juni 2010, sebanyak 110 perusahaan telah mempekerjakan kurang-lebih 42 ribu orang Korea Utara dan 800 anggota staf dari Korea Selatan. Bank of Korea memperkirakan kompleks industri ini menyumbang pendapatan warga Korea Utara hingga US$ 500 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun per tahun pada 2012.

Namun rencana besar itu terganjal kebijakan pemerintah Lee Myung-bak. Pada 24 Mei 2010, dia mengeluarkan peraturan yang melarang warga Korea Selatan berhubungan dengan warga Korea Utara, termasuk mempekerjakan mereka. Peraturan itu dikeluarkan setelah kapal perang Cheonan milik Korea Selatan tenggelam di dekat Pulau Baengnyeong di Laut Kuning akibat hantaman torpedo Korea Utara pada 26 Maret 2010, yang menewaskan 46 awak kapal.

"Sebelum Peraturan 24 Mei diberlakukan, tidak ada pembatasan untuk merekrut buruh Korea Utara," ujar seorang pejabat Kementerian Unifikasi.

Warga Korea Selatan juga dilarang berkunjung ke Korea Utara, kecuali ke Kompleks Industri Gaeseong. Perusahaan Korea Selatan juga dilarang menanamkan investasi baru dan menambah investasinya di Korea Utara. Sejak peraturan itu keluar, bisnis Korea Selatan di Korea Utara rontok. Ratusan perusahaan bangkrut. Menurut survei pada 2011, sejumlah 102 dari 154 perusahaan yang ikut dalam kerja sama ekonomi antar-Korea berhenti beroperasi dan 19 lainnya menunda usahanya.

Menurut laporan Komite Luar Negeri, Perdagangan, dan Unifikasi Majelis Nasional yang dipublikasikan September 2011, kerugian bisnis Korea Utara akibat peraturan itu mencapai US$ 12,4 miliar atau setara dengan Rp 121 triliun.

Inilah salah satu ganjalan besar Kim Jong-un untuk menyatukan dua Korea. Apalagi setelah Park Geun-hye terpilih menjadi presiden menggantikan Lee Myung-bak pada Desember lalu. Geun-hye adalah putri bekas diktator Korea Selatan, Park Chung-hee, yang di masa lalu menjadi musuh besar Korea Utara. Ibunya, Yuk Young-soo, tewas ditembak seorang simpatisan Korea Utara pada 15 Agustus 1974.

Meski demikian, selalu ada titik terang di ujung terowongan panjang ini. Dalam kampanyenya, Park Geun-hye menyatakan akan memisahkan politik dari aksi kemanusiaan. Ia berencana menggelar pertemuan dengan Kim Jong-un. Geun-hye juga tak asing dengan gagasan reunifikasi. Ia pernah berkunjung ke Pyongyang pada 2002, sebagai Ketua Yayasan Eropa-Korea, untuk merundingkan rekonsiliasi dengan Kim Jong-il.

Sapto Yunus (ap, Bbc, Hankyoreh, Kyunghyang Shinmun, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus