Bertahun-tahun setelah kematiannya, Pastor Mehr akhirnya mendapatkan keadilannya. Delapan hari yang lalu pemerintah Iran menyerahkan US$ 18 ribu (sekitar Rp 162 juta) kepada keluarganya. Ini ganti rugi untuk kematian Mehr pada 1994 yang misterius. Ganti rugi kepada Mehr yang beragama Katolik menandai tonggak penting dalam perjalanan sejarah perundang-undangan Iran. Untuk pertama kalinya korban nonmuslim (yang jumlahnya cuma satu persen) di negeri itu boleh mendapatkan ”uang darah”—ini istilah ganti rugi untuk mereka yang meninggal sebagai korban kekerasan.
Dua pekan lalu, parlemen Iran meresmikan undang-undang ganti rugi tersebut. Sebelum ini, cuma warga Iran yang beragama Islam saja—sekitar 99 persen dari total penduduk Iran—yang berhak atas uang ganti rugi tersebut. Pemberian uang kepada Mehr adalah kemenangan kaum reformis di Iran: 290 anggota parlemen setuju dengan suara bulat soal ganti rugi itu dalam sebuah sidang terbuka. Aturan baru ini bahkan tak lagi membedakan jenis kelamin, seperti yang tercantum dalam undang-undang lama. Sekarang, lelaki dan perempuan akan mendapatkan jumlah uang darah yang sama.
”Uang darah” bukan hal baru di Iran. Korban yang terbunuh karena kekerasan dapat menerima ganti rugi dari para tersangka pembunuhnya. Prinsipnya, penyerang diwajibkan membayar uang tersebut kepada si korban atau kerabatnya. Peraturan ini diberlakukan agar siapa saja yang menyebabkan kematian itu terhindar dari hukuman mati. Sedangkan keluarga korban mendapat kompensasi uang duka.
Ayatullah Youssef Saanei, 63 tahun, mantan murid Ayatullah Khomeini yang menjadi salah seorang perancang konstitusi Iran, adalah orang yang pertama kali melontarkan ide ini. Saanei juga aktif membela hak perempuan. Menurut dia, perempuan dapat saja menduduki jabatan apa pun di negeri Islam itu: presiden, pemimpin spiritual, dan hakim, jenis pekerjaan yang dilarang bagi perempuan sejak revolusi Islam tahun 1979.
Saanei bahkan membela wanita yang melakukan aborsi, sejauh itu demi alasan kesehatan.
Sumbangan Saanei terbaru dalam reformasi Iran adalah soal uang darah itu. Walau jumlah mereka cuma satu persen, menurut Saanei, orang Kristen, Yahudi, Baha’i, Zoroaster, di Iran tetap berhak mendapatkan ganti rugi yang sama. ”Semua jiwa adalah ciptaan Tuhan,” katanya. Hal yang sama dia katakan untuk kaum perempuan. ”Jiwa perempuan tak berharga lebih rendah daripada lelaki.”
Dasar pemikiran Saanei sebetulnya amat realistis. Masa depan Iran kelak akan banyak ditentukan oleh wanita. Sebab, 57 persen penghuni kampus-kampus di Iran adalah mahasiswi. Sedangkan puluhan ribu wanita sudah pula bekerja di berbagai bidang. ”Kita tak bisa mempertahankan undang-undang lama itu (yang melarang perempuan menduduki posisi tertentu) sepanjang waktu,” dia melanjutkan.
Saanei beruntung bahwa ide-idenya lahir di bawah pemerintahan Presiden Mohammad Khatami yang moderat dan progresif. Badan Pengawas Konstitusi yang beranggotakan para ayatullah yang amat dihormati di Iran telah pula menerima beleid baru tersebut. Yang paling penting, pemimpin spiritual tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, juga sudah memberikan perkenannya. Maka para pemeluk agama minoritas di Iran kini bisa hidup lebih nyaman.
Selain urusan kemanusiaan, kesetaraan hak terhadap uang darah yang diberikan kepada kaum nonmuslim dan kaum wanita juga menaikkan citra Iran di dunia internasional. Selama ini Iran memang digolongkan sebagai negara yang menerapkan diskriminasi terhadap kaum wanita. Tapi, sejak Presiden Khatami berkuasa, wajah negeri itu mulai berubah. Kaum wanita mulai dipulihkan hak-haknya. Begitu juga agama minoritas. Mereka diizinkan punya sekolah serta membangun rumah ibadahnya sendiri.
Reformasi ala Khatami bahkan memberikan ruang kepada para penggemar joget dan nyanyi—sejauh itu dilakukan di klub khusus yang tertutup. Toh Maurice Motamed, satu-satunya anggota parlemen yang beragama Yahudi—dari lima anggota parlemen yang nonmuslim—masih menyimpan kritik untuk pemerintah yang tengah berkuasa.
Menurut Motamed, kaum nonmuslim seharusnya juga mendapatkan hak untuk bersaksi di pengadilan Islam serta bekerja sebagai pegawai negeri, sebagai bagian dari kebijakan nondiskriminatif yang selalu didengungkan Khatami.
I G.G. Maha Adi (Irna, Reuters, Ap)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini