Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia tenis punya grand slam, serial kejuaraan bergengsi. Politik Amerika punya Condoleezza Rice, penasihat Dewan Keamanan Nasional (NSC) yang baru saja memecahkan rekor serial grand slam yang lain. Dia tampil dalam wawancara spartan di empat stasiun televisi bergengsi Amerika, ABC, CBS, NBC, dan CNN, dalam waktu seminggu.
Buat Condi—panggilan Rice—masalah yang dia hadapi memang gawat. Jumat dua pekan lalu, mantan penasihat khusus presiden untuk kontra-terorisme, Richard A. Clarke, bersaksi di depan 10 anggota Komisi Nasional Urusan Serangan Terorisme di Amerika. Menurut kesaksiannya, pemerintah Bush tidak mengambil tindakan apa pun terhadap Usamah bin Ladin sebelum serangan teror 11 September 2001. Padahal, kata Clarke, ia sudah memperingatkan adanya ancaman terorisme di tanah Amerika.
Ia pernah meminta rapat, tapi malah diledek Paul Wolfowitz, salah satu orang kepercayaan Presiden Bush. "Kenapa kita harus menaruh perhatian begitu besar pada Usamah bin Ladin? Kamu memberikan nilai terlalu tinggi," tulisnya menirukan Wolfowitz. Sedangkan Condi disebutnya sebagai "pejabat yang lamban mengambil tindakan dan bahasa tubuhnya menunjukkan tidak tahu apa-apa tentang Al-Qaidah." Condi merasa dipermalukan. Sebab, sebagai tangan kanan Presiden, dialah orang yang merancang strategi keamanan dalam negeri Amerika. Dia pula yang semestinya—dengan memakai semua sumber intelijen—melenyapkan segala ancaman sebelum terjadi.
Clarke melanjutkan kesaksiannya. Bahkan, setelah serangan itu, Bush belum tertarik dengan nama Usamah. Padahal Clarke dan beberapa koleganya sudah menetapkan Al-Qaidah dan Usamah sebagai tersangka utama. Bush malah menyebut nama itu jauh panggang dari api. "Temukan apa pun yang berkaitan dengan Saddam Hussein. Carilah bukti bila Irak yang melakukan hal itu," kata Clarke, kali ini menirukan Bush. Rupanya Bush ngebet mencari-cari kesalahan Irak. Dan Clarke menyimpulkan, pemerintah Bush ingin mencari alasan menyerang Negeri Seribu Satu Malam itu.
Dalam bagian lain bukunya, ia memuji Bill Clinton, yang menempatkan Al-Qai-dah dalam prioritas tinggi. Clinton bahkan sudah melancarkan serangan rudal ke kamp Al-Qaidah di Afganistan pada 1998. Kekurangan Clinton, menurut Clarke, dia tak membunuh Usamah pada saat bisa melakukannya.
Semua kesaksian itu memang tidak berasal dari transkripsi rekaman atau catatan terinci, tapi hanya berdasarkan ingatan Clarke. Tak mengherankan bila beberapa pejabat Gedung Putih menyangsikan kesaksian itu. Mereka, misalnya, menyangkal pertemuan antara Bush dan Clarke sehari setelah peristiwa 11 September 2001. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld mengatakan Clarke tidak akurat mengutip perkataannya.
Kelemahan Clarke yang paling mencolok adalah pendapatnya yang bertolak belakang. Dalam sebuah pertemuan dengan para wartawan pada 2002, ia memuji pemerintah Bush telah melakukan semua hal untuk mengatasi terorisme. Anggota Komisi dari Partai Republik sempat mencecar Clarke soal ini. Tapi ia dengan tenang menjawab. Saat itu, katanya, ia punya tiga pilihan: pensiun, berbohong, atau mengambil posisi semanis mungkin dengan fakta yang ada. Dan ia memilih yang ketiga. "Itu bukan pertanyaan soal moralitas, melainkan politik," katanya.
Apa yang diungkapkan Clarke tak sepenuhnya salah. Ada bukti memonya kepada Condi seminggu sebelum serangan, yang meminta rapat membahas ancaman Usamah bin Ladin. Bahkan, pada 25 Januari 2001, ia mengajukan usul untuk melenyapkan Usamah lewat operasi militer, tapi terlambat ditanggapi. Baru pada April usul itu dibahas Bush, dan disetujui sekitar sepekan sebelum serangan para teroris. Menurut Clarke, tak seorang pun menganggap Usamah sebagai prioritas untuk dilenyapkan.
Dalam buku Bush at War karangan Bob Woodward, Presiden Amerika itu mengaku tak terlalu peduli dengan serangan Usamah sebelum dan sesudah 11 September. "Saya tidak merasakan adanya kepentingan yang mendesak," katanya kepada Woodward. Bukti lain muncul satu minggu setelah serangan, seperti diungkap majalah investigasi Mother Jones. Bush membentuk badan intelijen sendiri di dalam Pentagon yang tujuannya menyiapkan serangan ke Irak (lihat bagan). Pejabatnya terdiri atas konco Bush dan lawan politik Saddam di Irak—ditunjang oleh beberapa lembaga pemikir semacam American Enterprise Institute dan Project for the New American Century. Obsesi untuk menyerang Irak itulah yang melemahkan perhatian terhadap Usamah bin Ladin dan malah memicu permusuhan dari kelompok ekstremis.
Kubu Republik, yang khawatir popularitas Bush merosot menjelang pemilu, bisa bernapas lega. Menurut jajak pendapat Newsweek, Bush masih mengungguli John Kerry dari Demokrat dengan persentase 45 berbanding 43. Akhir pekan lalu, Bush dan Condi menyatakan siap bersaksi. Komisi akan memanggil mereka. Dan Komisi bisa memutuskan apakah pemerintah Bush adalah sekumpulan Machiavelis, atau si Clarke, bekas orang dalam Bush, yang tengah berbohong. Bila yang pertama yang benar, efeknya bisa membikin Bush terpental habis dalam pemilu.
I G.G. Maha Adi (Time, Newsweek, Mother Jones, MSNBC, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo