Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendung bergelayut di langit Tanjung Lame, Ujung Kulon. Angin laut dari Teluk Harapan berembus pelan. Seperti pada hari lain di bulan Februari, hujan tampaknya segera mengguyur. Tapi pagi yang murung itu tak menciutkan semangat ratusan orang yang berbaris di lahan terbuka selebar lapangan bola.
Menggendong ransel besar, berbekal golok di pinggang, dan bersepatu bot setengah betis, pasukan berkostum hijau muda dan putih itu mulai bergerak. Menyebar berkelompok, mereka siap menerabas belukar, menyapu seluruh wilayah semenanjung Ujung Kulon.
Selama satu minggu, Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) tahun ini kembali mengerahkan ratusan orang untuk menyensus badak. Inilah salah satu cara memastikan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) masih ada, sekaligus mencegah nasib mereka sama dengan dinosaurus, yang punah 70 juta tahun silam.
Populasi badak jawa, yang punya asal-usul hingga 65 juta tahun silam, memang masih terancam. Satu setengah abad lalu, badak bercula satu ini masih tersebar dari Asia Tenggara sampai Asia Selatan, dari Jawa hingga Assam, India. Kini badak jawa hanya tersisa di kawasan Ujung Kulon (50-60 ekor) dan di Cat Tien National Park, Vietnam (kurang dari 15 ekor).
Pengamanan habitat dan pemantauan pertumbuhan populasi badak jawa pun menjadi prioritas. Pada 1992, UNESCO menetapkan Ujung Kulon sebagai world heritage site—kawasan warisan dunia yang dilindungi. Jaringan internasional untuk konservasi alam juga menggolongkan badak jawa sebagai satwa yang sangat langka dan terancam punah. "Ini warisan alam yang tersisa. Secara emosional, kita berkepentingan merawatnya," kata Adhi Rachmat Hariyadi, pelaksana proyek World Wide Fund for Nature (WWF) untuk konservasi Ujung Kulon.
Untuk mengawal badak, patroli dilakukan di darat dan di laut. Di darat, ada Rhino Monitoring and Protection Unit (RMPU). Dari pesisir, ada Unit Konservasi Laut (UKL). Anggotanya polisi hutan, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat setempat. Target patroli ini sama: mencegah perambahan habitat dan perburuan badak jawa.
Pada saat yang sama, pertumbuhan populasi badak jawa pun dipelototi. Ada tiga metode pemantauan badak: sensus tapak kaki badak, pemasangan kamera penjebak, dan analisis DNA.
Sensus tapak badak dilakukan berkala sepanjang transek—jalur pengamatan tempat pelintasan badak. Cara ini pertama kali dipakai Rudolph Schenkel, ilmuwan Swiss yang meneliti badak Ujung Kulon pada 1962-1970. Kini ada 15 transek yang membelah semenanjung seluas 39 ribu hektare itu. Setiap transek terpisah jarak selebar dua kilometer. Jadilah transek seperti garis-garis maya dari pesisir utara sampai pesisir selatan.
Mengapa dipilih tapak badak? Karena itulah jejak yang paling jelas. Badak jawa biasanya meninggalkan jejak mirip bunga teratai. Tapak itu kemudian diukur pada lima bagiannya: lebar kuku depan, lebar bagian atas di antara kedua kuku samping, lebar bagian bawah di antara kedua kuku samping, panjang kuku samping kiri, dan panjang kuku samping kanan.
Tidak semua tapak bisa didata. Hanya tapak berusia satu sampai enam hari yang bisa diukur. Makin baru sebuah tapak, makin jelas gambarannya. Untuk tapak berumur kurang dari satu hari, misalnya, tanahnya masih gembur, bentuk kukunya masih jelas, dan baunya (hangit) masih tercium. Jika tapak ada di tanah becek, air yang menggenanginya masih keruh.
Jumlah dan sebaran tapak, yang dicatat dengan bantuan teknologi global positioning satellite system, kemudian dihitung secara statistik. Hasilnya memang perkiraan jumlah minimum dan maksimum, bukan angka pasti. Dalam lima tahun terakhir, Balai TNUK setia memilih metode sensus. "Belum ada pakar yang membantah metode ini. Lagi pula ini paling murah. Hasilnya pun cepat," kata Kepala Balai TNUK, Awriya Ibrahim.
Awriya lantas menyebut hasil sensus 14-22 Februari 2004. Pengolahan data hanya perlu waktu satu bulan. Akhir Maret, pihaknya sudah menarik kesimpulan: populasi badak jawa ditaksir 53-63 ekor. Ini sedikit berubah dari taksiran sensus 2001, sebanyak 50-65 ekor, dan sensus 2002, sejumlah 50-60 ekor. Sensus 2004 juga menemukan tapak anak badak berukuran 17-18 sentimeter. "Artinya, ada kelahiran baru," ujar Awriya.
Berbeda dengan pengelola taman nasional, WWF memilih metode kamera penjebak (photo trap). Menurut Adhi, hasil metode ini lebih akurat dan lengkap. Sensus, misalnya, tak bisa mengidentifikasi jenis kelamin dan ciri-ciri individu badak, tapi photo trap bisa.
Teknisnya, kamera perangkap dipasang pada 16 titik pelintasan badak. Setiap unit kamera dilengkapi sensor inframerah. Jika makhluk sebesar badak melanggar sensor, kamera otomatis menjepret. Berkat photo trap ini pula WWF bisa memberi nama 32 ekor badak. "Ratusan foto lainnya masih dianalisis," ujar Adhi.
Di samping lebih akurat, metode kamera tidak terlalu mengganggu privasi badak. Kamera juga bisa disimpan tanpa perlu diawasi. Petugas cukup datang memasang dan mengambil film dua kali sebulan. Ini berbeda dengan metode sensus, yang serentak mengerahkan ratusan orang. Karena badak jawa sangat peka dan takut terhadap manusia, gerombolan penyensus akan membuat badak mengalami stres.
Yang jadi soal, menurut Adhi, metode photo trap tergolong mahal. Untuk 16 titik kamera saja, setiap tahun WWF harus menguras kas hingga US$ 65 ribu atau sekitar Rp 552,5 juta. Biaya itu bakal membengkak karena mulai tahun ini WWF memasang dua kamera sekaligus di tiap titik.
Analisis DNA juga pernah dipakai. Dengan menganalisis kotoran badak, hubungan kekerabatan dan sistem perkawinan antarbadak bisa tergambar. Karena itu, untuk menjaga akurasi, sampel kotoran harus sesegar mungkin. Jika tidak, kotoran itu bisa terkontaminasi kotoran hewan lain atau bakteri.
Seperti photo trap, metode analisis DNA mahal. Maklum, DNA harus dianalisis di Amerika. "Hasilnya kurang menggembirakan. Biayanya pun mahal. Karena itu, analisis DNA kita hentikan," kata Adhi.
Meski sarat kendala, upaya penyelamatan hewan purba ini sudah menunjukkan hasil. Pada akhir 1960-an, badak jawa diperkirakan tinggal 25 ekor. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya melonjak dua kali lipat. Menurut catatan WWF, sejak 1970-an, perburuan badak jawa tak pernah terjadi lagi.
Hanya, sejak 1970-an pula populasi badak seperti jalan di tempat. Turun tidak, naik pun ogah. Kisarannya selalu pada angka 50-60 ekor. Apakah ini pertanda habitat badak jawa di Ujung Kulon sudah jenuh? "Belum juga," ujar Adhi. Menurut kajian WWF, Ujung Kulon masih bisa menampung 80-100 badak jawa.
Setelah perburuan bisa ditekan, yang mengkhawatirkan justru gangguan tidak langsung dari manusia. Aksi perambahan hutan, pencurian kayu, dan perburuan burung bisa membuat badak kembali tertekan. Alam pun tampaknya tak selalu bersahabat. Di Ujung Kulon, kini ada sejenis pohon yang pertumbuhannya terlalu pesat. Pohon langkap—demikian penduduk setempat menyebutnya—terbukti menghambat tumbuhnya pohon-pohon perdu makanan badak.
Gangguan lain, di Ujung Kulon belakangan diduga ada persaingan antara banteng dan badak. Pemicunya adalah pertumbuhan populasi banteng yang pesat. Pada 1971, banteng di sana hanya ada sekitar 200 ekor. Tapi, pada 2003, menurut Balai TNUK, jumlahnya melonjak jadi sekitar 860 ekor. Akibatnya, banteng pun mulai menjarah makanan badak. Walhasil, badak, si fosil hidup itu, seperti ditakdirkan untuk terus terancam.
Jajang Jamaludin, Multazam (Ujung Kulon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo