Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pagelaran ron dan yasu

Kunjungan presiden AS Ronald Reagan ke Jepang, membicarakan masalah perdagangan dan pertahanan militer. lawatan Reagan ke Jepang akan dilanjuntukan ke korea selatan merupakan pameran politik. (ln)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM ada kata putus mengenai tambahan ekspor daging dan jeruk ketika Presiden Ronald Reagan meninggalkan Tokyo, akhir pekan silam. Kunjungan Pasifik ini dilanjutkan ke Seoul, sesudah kedua pihak sepakat membentuk komite tingkat tinggi yang membahas soal perdagangan AS-Jepang. Pada garis besarnya, perundingan dua putaran Ron dan Yasu - demikian pemimpin kedua negara membahasakan diri mereka satu sama lain - membicarakan masalah yen dan kerja sama militer. Reagan berkesimpulan, pembicaraan itu "produktif sekali". Seolah berpesan kepada para pemilihnya di tanah air, ia cepat menambahkan bahwa kunjungan singkatnya itu bukanlah untuk mengupas soal-soal dagang secara terperinci. Seperti dilaporkan wartawan TEMPO, Seichi Okawa, dari Tokyo, lawatan Pasifik lebih merupakan "pameran politik" yang dipergelarkan dengan baik oleh Ronald Reagan dan Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone. Dalam tiga hari dunia menyaksikan bagaimana eratnya kerja sama Washington-Tokyo dewasa ini. Kantor berita Uni Soviet, Tass, pun berkomentar tentang peningkatan hubungan AS-Jepang di bidang politik dan militer. Dan Uni Soviet memang disorot Reagan dan Nakasone karena cengkeraman militernya yang semakin kuat di Pasifik. Jepang, seperti diharapkan Reagan, harus tampil sebagai kekuatan tandingan: Maksimal menciptakan stabilitas di kawasan Asia dan minimal mengamankan jalur lautnya sendiri. Dalam kaitan itu, Nakasone menekankan perlunya kontak lebih sering dengan negara ASEAN seraya membina Taiheiyo Jidai (Zaman Pasifik). Ia bahkan berani menjamin bahwa ASEAN akan mempererat hubungan dengan AS dan Jepang. Sebaliknya, Reagan berjanji bahwa AS tidak akan "melupakan" Asia jika kelak Washington berhasil menandatangani persetujuan perlucutan nuklir dengan Soviet. Pidato Reagan di hadapan 500 anggota Diet (Majelis Rendah Jepang) mendapat sambutan hangat. Tercatat 25 kali tepuk tangan untuk kata-kata yang mendramatisisasikan bahaya nuklir. "Perang nuklir tidak mungkin dimenangkan dan tidak boleh terjadi. Memiliki nuklir gunanya cuma sekadar menjamin agar senjata itu tidak sampai dimanfaatkan," ucap Reagan. Dalam wawancara dengan empat stasiun tv Jepang, ketika ditanya tentang sikapnya yang terlalu anti-Soviet, presiden AS itu menjawab, "Itulah realisme. Perlu ditegaskan pada Soviet, sebaiknya negara itu tidak usah bermusuhan dengan negara-negara Barat." Untuk pertanyaan apakah peningkatan persenjataan AS dan Jepang ada manfaatnya untuk detente (peredaan ketegangan), Reagan spontan menjawab, "Ya Kita perlu minta ketegasan Soviet apakah ia condong pada persaingan senjata atau perlucutan nuklir." Partai Liberal Demokrat (LDP) yang memerintah menyambut gembira gebrakan Reagan itu. Partai Komunis bersikap dingin, bahkan seluruh anggotanya yang duduk di Diet memboikot "temu muka" dengan presiden AS itu. Partai Sosialis bersikap lebih kritis, dan menilai kata-kata Reagan tak ubahnya kosmetik, karena tidak menggubris penyerbuan ke Grenada, dan lain sebagainya. Tapi, sebegitu jauh, Jepang tampaknya terpanggil untuk memikul beban lebih besar dalam tugas menyangga perdamaian. Ini bisa diketahui dari pernyataan Menteri Luar Negeri Jepang Shintaro Abe yang menilai anggaran pertahanan mereka, yang di bawah 1% GNP, sebenarnya sudah tidak sesuai dengan situasi keamanan dan perkembanan ekonomi negara itu - padahal, April lalu ia menegaskan, anggaran itu tetap ditekan di bawah 1% GNP. Tidak kurang menarik adalah opini yang dikemukakan surat kabar beroplah besar, Asahi Shimbun, dalam tajuknya: "Posisi Jepang berbeda dengan pikiran Presiden Reagan mengenai kekuatan. Untuk menciptakan perdamaian, Jepang seharusnya mengandalan kekuatan ekonoml, bukan kekuatan militer." Selain Asahi, banyak teknokrat Jepang, di antaranya Saburo Okito, berpendirian sama. Nakasone, untuk sementara, agaknya harus bersikap waspada. Posisinya kini sedang rawan gara-gara ulah terpidana Tanaka, bekas PM, yang tetap menolak keluar dari Diet. Partai oposisi, sebagai protes atas sikap Tanaka, menolak bersidang hingga Diet lumpuh. Nakasone kelihatan tidak punya pilihan lain, kecuali membubarkan Diet, dan secepatnya mengadakan pemilu - rencananya Desember depan. Menjelang akhir tahun, tampak tak banyak lagi yang dapat dilakukan Nakasone, apalagi mengutik-utik kekuatan ekonomi atau membuka pasar Jepang lebar-lebar. Di pihak lain, Reagan, yang bersiap-siap memenangkan pemilu tahun depan, untuk sementara terpaksa mengabaikan soal daging dan jeruk. Namun, harus diakui bahwa dalam hal perdagangan, AS dan Jepang telah maju ke meja perundingan dengan pendekatan yang berbeda. Para pengamat menyesalkan tim pembantu Presiden Reagan yang tidak mampu mengajukan seperangkat jalan keluar untuk menembus jalan buntu. Mereka cuma menyalahkan Jepang, padahal AS secara tidak langsung menutup pasarnya terhadap barang-barang Jepang. Di samping itu, juga mencegah ekspor kayu dan minyak Alaska ke negeri sakura itu. Akan halnya posisi mata uang Jepang, yen, yang lemah terhadap dolar AS, ini juga disebabkan tingkat bunga yang terlalu tinggi di negeri Paman Sam. Masalahnya sekarang, bagaimana memperkuat yen dalam perdagangan internasional. Para pengamat berpendapat, nilai yen yang, secara tersamar, rendah mengakibatkan impor barang AS menjadi terlalu mahal bagi Jepang. Bersamaan dengan itu, impor barang Jepang juga terlalu mahal bagi pengusaha AS. Toh, Jepang masih mencatat surplus perdagangan US$ 21 milyar dengan AS. Untuk mencapai neraca perdagangan yang berimbang, status yen yang tersamar rendah itu harus lebih dulu ditembus. Kalau tidak, AS tidak mungkin mendobrak pasar Jepang. Sebaliknya, Jepang tidak bisa menuntut keringanan proteksi AS. Kerumitan yen ini kabarnya akan ditelaah lebih lanjut oleh komite tingkat tinggi AS-Jepang. Sementara itu, Ronald dan Nancy Reagan terbang ke Seoul sesudah bersama Yasu-san dan istrinya mencicipi tempura di villa Hinode Sanso dan menyaksikan yabusame (memanah sambil berkuda) di kuil Meiji Jingu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus