BELUM ada kata putus mengenai tambahan ekspor daging dan jeruk
ketika Presiden Ronald Reagan meninggalkan Tokyo, akhir pekan
silam. Kunjungan Pasifik ini dilanjutkan ke Seoul, sesudah
kedua pihak sepakat membentuk komite tingkat tinggi yang
membahas soal perdagangan AS-Jepang. Pada garis besarnya,
perundingan dua putaran Ron dan Yasu - demikian pemimpin kedua
negara membahasakan diri mereka satu sama lain - membicarakan
masalah yen dan kerja sama militer. Reagan berkesimpulan,
pembicaraan itu "produktif sekali". Seolah berpesan kepada para
pemilihnya di tanah air, ia cepat menambahkan bahwa kunjungan
singkatnya itu bukanlah untuk mengupas soal-soal dagang secara
terperinci.
Seperti dilaporkan wartawan TEMPO, Seichi Okawa, dari Tokyo,
lawatan Pasifik lebih merupakan "pameran politik" yang
dipergelarkan dengan baik oleh Ronald Reagan dan Perdana Menteri
Yasuhiro Nakasone. Dalam tiga hari dunia menyaksikan bagaimana
eratnya kerja sama Washington-Tokyo dewasa ini.
Kantor berita Uni Soviet, Tass, pun berkomentar tentang
peningkatan hubungan AS-Jepang di bidang politik dan militer.
Dan Uni Soviet memang disorot Reagan dan Nakasone karena
cengkeraman militernya yang semakin kuat di Pasifik. Jepang,
seperti diharapkan Reagan, harus tampil sebagai kekuatan
tandingan: Maksimal menciptakan stabilitas di kawasan Asia dan
minimal mengamankan jalur lautnya sendiri.
Dalam kaitan itu, Nakasone menekankan perlunya kontak lebih
sering dengan negara ASEAN seraya membina Taiheiyo Jidai (Zaman
Pasifik). Ia bahkan berani menjamin bahwa ASEAN akan mempererat
hubungan dengan AS dan Jepang. Sebaliknya, Reagan berjanji bahwa
AS tidak akan "melupakan" Asia jika kelak Washington berhasil
menandatangani persetujuan perlucutan nuklir dengan Soviet.
Pidato Reagan di hadapan 500 anggota Diet (Majelis Rendah
Jepang) mendapat sambutan hangat. Tercatat 25 kali tepuk tangan
untuk kata-kata yang mendramatisisasikan bahaya nuklir. "Perang
nuklir tidak mungkin dimenangkan dan tidak boleh terjadi.
Memiliki nuklir gunanya cuma sekadar menjamin agar senjata itu
tidak sampai dimanfaatkan," ucap Reagan.
Dalam wawancara dengan empat stasiun tv Jepang, ketika ditanya
tentang sikapnya yang terlalu anti-Soviet, presiden AS itu
menjawab, "Itulah realisme. Perlu ditegaskan pada Soviet,
sebaiknya negara itu tidak usah bermusuhan dengan negara-negara
Barat." Untuk pertanyaan apakah peningkatan persenjataan AS dan
Jepang ada manfaatnya untuk detente (peredaan ketegangan),
Reagan spontan menjawab, "Ya Kita perlu minta ketegasan Soviet
apakah ia condong pada persaingan senjata atau perlucutan
nuklir." Partai Liberal Demokrat (LDP) yang memerintah menyambut
gembira gebrakan Reagan itu. Partai Komunis bersikap dingin,
bahkan seluruh anggotanya yang duduk di Diet memboikot "temu
muka" dengan presiden AS itu. Partai Sosialis bersikap lebih
kritis, dan menilai kata-kata Reagan tak ubahnya kosmetik,
karena tidak menggubris penyerbuan ke Grenada, dan lain
sebagainya.
Tapi, sebegitu jauh, Jepang tampaknya terpanggil untuk memikul
beban lebih besar dalam tugas menyangga perdamaian. Ini bisa
diketahui dari pernyataan Menteri Luar Negeri Jepang Shintaro
Abe yang menilai anggaran pertahanan mereka, yang di bawah 1%
GNP, sebenarnya sudah tidak sesuai dengan situasi keamanan dan
perkembanan ekonomi negara itu - padahal, April lalu ia
menegaskan, anggaran itu tetap ditekan di bawah 1% GNP.
Tidak kurang menarik adalah opini yang dikemukakan surat kabar
beroplah besar, Asahi Shimbun, dalam tajuknya: "Posisi Jepang
berbeda dengan pikiran Presiden Reagan mengenai kekuatan. Untuk
menciptakan perdamaian, Jepang seharusnya mengandalan kekuatan
ekonoml, bukan kekuatan militer." Selain Asahi, banyak teknokrat
Jepang, di antaranya Saburo Okito, berpendirian sama.
Nakasone, untuk sementara, agaknya harus bersikap waspada.
Posisinya kini sedang rawan gara-gara ulah terpidana Tanaka,
bekas PM, yang tetap menolak keluar dari Diet. Partai oposisi,
sebagai protes atas sikap Tanaka, menolak bersidang hingga Diet
lumpuh. Nakasone kelihatan tidak punya pilihan lain, kecuali
membubarkan Diet, dan secepatnya mengadakan pemilu - rencananya
Desember depan.
Menjelang akhir tahun, tampak tak banyak lagi yang dapat
dilakukan Nakasone, apalagi mengutik-utik kekuatan ekonomi atau
membuka pasar Jepang lebar-lebar. Di pihak lain, Reagan, yang
bersiap-siap memenangkan pemilu tahun depan, untuk sementara
terpaksa mengabaikan soal daging dan jeruk. Namun, harus diakui
bahwa dalam hal perdagangan, AS dan Jepang telah maju ke meja
perundingan dengan pendekatan yang berbeda. Para pengamat
menyesalkan tim pembantu Presiden Reagan yang tidak mampu
mengajukan seperangkat jalan keluar untuk menembus jalan buntu.
Mereka cuma menyalahkan Jepang, padahal AS secara tidak langsung
menutup pasarnya terhadap barang-barang Jepang. Di samping itu,
juga mencegah ekspor kayu dan minyak Alaska ke negeri sakura
itu. Akan halnya posisi mata uang Jepang, yen, yang lemah
terhadap dolar AS, ini juga disebabkan tingkat bunga yang
terlalu tinggi di negeri Paman Sam. Masalahnya sekarang,
bagaimana memperkuat yen dalam perdagangan internasional.
Para pengamat berpendapat, nilai yen yang, secara tersamar,
rendah mengakibatkan impor barang AS menjadi terlalu mahal bagi
Jepang. Bersamaan dengan itu, impor barang Jepang juga terlalu
mahal bagi pengusaha AS. Toh, Jepang masih mencatat surplus
perdagangan US$ 21 milyar dengan AS. Untuk mencapai neraca
perdagangan yang berimbang, status yen yang tersamar rendah itu
harus lebih dulu ditembus. Kalau tidak, AS tidak mungkin
mendobrak pasar Jepang. Sebaliknya, Jepang tidak bisa menuntut
keringanan proteksi AS.
Kerumitan yen ini kabarnya akan ditelaah lebih lanjut oleh
komite tingkat tinggi AS-Jepang. Sementara itu, Ronald dan Nancy
Reagan terbang ke Seoul sesudah bersama Yasu-san dan istrinya
mencicipi tempura di villa Hinode Sanso dan menyaksikan yabusame
(memanah sambil berkuda) di kuil Meiji Jingu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini