BEBERAPA jam setelah Presiden Ronald Reagan mengumumkan
penyerbuan AS ke Grenada 2 Oktober lalu, lebih dari 400
wartawan mendarat di Barbados, 257 km dari St. George. Jumlah
itu hampir sama dengan kekuatan pasukan enam negara Karibia yang
mendukung invasi tersebut.
Tapi publikasi hari-hari awal "Perang Grenada" sama sekali tidak
bermutu. Potret pertama yang disiarkan media massa AS bukanlah
adegan pendaratan marinir yang mengesankan. Melainkan foto
mahasiswa Universitas St. George yang mencium tanah, sesaat
setelah mendarat di Carolina Selatan, AS. "Bagaikan foto
kunjungan Paus Johanes Il," sindir majalah Inggris The
Economist.
Selama dua hari pertama operasi Grenada, wartawan memang tak
diizinkan mendekat. Mereka tertahan di Barbados. Steve Shepard
dan Tim Ross dari jaringan TV ABC terpaksa menyewa kapal ikan Rp
5 juta untuk mencoba menghampiri pantai Grenada. Usaha serupa
ditempuh koresponden ABC lainnya, Josh Mankiewic.
Toh mereka gagal. Shepard dan Ross, setelah 30 jam berlayar dan
mendekati Carriacou, puau kecil di Utara Grenada, kepergok
kapal Angkatan Laut AS, dan dihalau pulang. Mankiewic. dihadang
oleh kapal perusak dan digertak dengan moncong mcrlam.
"Pembreidelan" Grenada memang menghadapkan pemerintahan Reagan
pada sumpah-serapah pers dalam negeri. "Sebuah kesalahan
besar," tulis Time. "Membuka belang AS dalam masalah kemerdekaan
pers," ujal Seymour Topping, redaktur pelaksana The New York
Times.
Dalam konperensi pers di Pentagon Menteri Pertahanan Caspar
Weinbergel menyebut alasan pemerintah, antara lain. untuk
menjamin keselamatan para wartawan. "Tapi wartawan Amerika tidak
pernah membutuhkan jaminan itu," tulis Henry Grunwald dalam
esainya di Time.
"Sepanjang ingatan saya, wartawan selalu dilkutsertakan pada
pendaratan pertama," kata Ben Bradlee, redaktur eksekutif The
Washington Post.
Dalam kenyataannya, wartawan Amerika sudah meliput pertempuran
sejak Perang Meksiko, 1846. Di Asia Tenggara saja, tak kurang
dari 50 wartawan AS terbunuh di medan perang. Tajuk rencana
harian The New York Times malah bercerita kembali tentang adegan
pemancangan bendera AS oleh para marinir di Gunung Suribachi Iwo
Jima, yang diabadikan wartawan AP, Joe Rosenthal. "Pernahkah
Weinberger menjamin keselamatan Rosenthal?" tulis Times.
Untuk wartawan AS sendiri, banyak tempat lain lebih berbahaya
ketimbang Grenada. Misalnya El Salvador dan Libanon. Karena itu
mereka menilai tindakan pembatasan itu sebagai langkah politis.
Dan protes segera dilancarkan ke Gedung Putih dan Pentagon.
"Departemen Pertahanan telah gagal menghormati tradisi panjang
peliputan operasi militer langsung di lapangan," bunyi kawat
yang diterima Weinberger dari American Societi of Newspaper
Editors. Sementara itu, Post menyebut pembatasan inl sebagai
tindakan "tak termaafkan." Di Chicago, Tribune menamakannya
"tindakan yang tidak menghargai kemerdekaan."
Memang ada enam wartawan yang mendarat di Grenada dengan kanal
ikan sebelum invasi, yaitu Bernard Diederich dan Claude
Urraca (keduanya dari Time), Don Bohning (Herald, Miami), Edward
Cody (Post, Washington), Morris Thompson (Newsday), dan Greg
Chamberlain (Guardian, Inggris). Empat nama terakhir kemudian
menerima tawaran tentara AS untuk pindah ke kapal Guam - dan
terperangkap di sana. Hanya Diederich, dengan bantuan hasil
pemotretan Urraca, berhasil menyusun laporan eksklusif untuk
Time.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini