KEKALAHAN pahit PLO di Beirut Barat tampak akan terulang. Jika
Agustus tahun silam mereka ditundukkan oleh pengepungan Israel,
kini, di Tripoli, gempuran pasukan gabungan Syria, pemberontak
PLO, dan tentara Libya yang akan menghabisi. Kamp pengungsi Nahr
el Bared sudah jatuh ke tangan kaum pemberontak pekan lalu.
Yasser Arafat dengan pasukannya (sekitar 6.000 orang) sekarang
terjepit di kamp pengungsi Badawi yang tanpa lubang
perlindungan.
Wali kota Tripoli Ashir al-Daye dan bekas PM Rashid Karami
membujuk Arafat agar segera berangkat demi keselamatan kota itu
dan setengah juta penduduknya.
Tapi pemimpin PLO itu tetap mau bertahan. Ia bahkan tidak lagi
mempertimbangkan keselamatan penduduk sipil Libanon yang dalam
sepekan terakhir jadi bulan-bulanan serangan pemberontak PLO -
sedikitnya 250 orang tewas dan 400 luka-luka.
Seperti waktu di Beirut Barat, Arafat mengulangi tuntutan yang
sama di Tripoli. "Saya tidak akan pergi tanpa jaminan penuh bagi
keselamatan pasukan saya," ucapnya. Arafat tidak menjelaskan apa
yang dimaksudkannya dengan jaminan, tapi kuat dugaan bahwa
pemimpin PLO itu menghendaki pembersihan wilayah Tripoli dan
sekitarnya dari pasukan pemberontak PLO. Syarat lain? Ada tiga
hal pokok yang diingini Arafat: konsolidasi persetujuan gencatan
senjata, jaminan diizinkan kembali ke Tripo1i bagi dirinya, dan
penempatan para pengawas dari Liga Arab.
Ketiga persyaratan itu terasa agak berlebihan, mengingat posisi
Arafat yang terjepit. Juga terlalu tinggi untuk disodorkan
kepada presiden Syna Hafez Assad yang tidak segan-segan
bertindak keras. Adalah Assad, tokoh di belakang layar, yang
tidak pernah menyembunyikan ambisinya untuk memperalat PLO dan
menjadikan Libanon semacam negara perwalian. Sasarannya adalah
merombak perimbangan kekuatan di Timur Tengah sedemikian rupa,
hingga sampai pada tahap ia memperoleh kembali dataran tinggi
Golan yang dicaplok Israel tahun 1981. Sejak itu? tiap siasat
dan gelagat Syna mest ada kaitannya, langsung atau tidak, dengan
perjuangan merebut kembali Golan.
Sayang sekali, duta khusus AS Philip Habib (sudah diganti empat
bulan lalu), Presiden Libanon Amin Gemayel, dan para pemuka
Israel tidak menyadari dendam kesumat Assad. Mereka berunding
tentang penarikan pasukan Israel dari Libanon, dan kemudian juga
menyimpulkan bahwa Syria akan berbuat hal yang sama dengan
sukarela. Ternyata, jagoan dari Syria itu menolak diperlakukan
sembarangan. Dengan lihai Assad memperoleh bantuan senJata
mutakhir dari Uni Soviet untuk mengganti peralatan yang hancur
tahun silam, lalu secara halus mendalangi pemberontak PLO Abu
Musa.
Arafat tidak menduga sama sekali pasukan Syria akan menyerangnya
secara tiba-tiba awal pekan silam. Ketika pandangan dunia
diarahkan ke Jenewa, tempat perundingan rujuk nasional Libanon,
Kolonel Abu Musa yang didukung 12.000 pasukan Syria dan 900
tentara Libya menggempur kubu pertahanan PLO di Nahr el Bared
dan Badawi. "Dia memberi konsesi terlalu banyak pada AS dan
Israel tanpa memperoleh imbalan apa pun," ucap juru bicara
pemberontak, Mahmud Labadi.
Yang dimaksud Labadi tentulah taktik Arafat yang mengganti
perjuangan bersenjata dengan kelincahan diplomasi. Berbeda
dengan banyak tokoh garis keras dalam PLO, pemimpin Al-Fatah itu
sejak lama menyadari bahwa Israel terlalu kuat untuk dilawan
dengan senjata. Arafat juga menjajaki kerja sama dengan Raja
Hussein darl Yordania untuk sebuah federasi. Rencana ini pun
gagal. Ia ditentang semua kelompok garis keras - termasuk Abu
Musa yang pro-Syria.
Kini posisi Abu Musa dan kawan-kawan makin mantap. Sebaliknya
dengan Arafat. meski bantuan uang kepadanya masih terus mengalir
dari negara-negara Arab moderat. Pukulan yang sebelumnya
menghantam Arafat adalah ketika ia, begitu keluar dari Beirut
Barat, secara amat hina diusir Assad keluar dari Syria. Pemimpin
PLO itu terpaksa kembali ke markasnya di Tunis. Ketika Libanon
kisruh lagi, Arafat menggunakan kesempatan untuk menyusup ke
Tripoli dan baru berhasil September lalu.
Sebulan kemudian, berharap untuk konsolidasi, ia menerima tiga
usul yang diajukan kelompok radikal dari Front Populer
Pembebasan Palestina (PFLP) di bawah George Habbash dan Front
Demokratik Marxis untuk Pembebasan Palestina (DFLP). Ketiga usul
itu ialah: kepemimpinan kolektif dalam PLO, melanjutkan
perjuangan bersenjata melawan Israel, dan menolak semua Drakarsa
perdamaian Timur Tengah. Keduakelompok itu, yang mengutamakan
perlawanan gerilya di Israel dan Libanon, juga menolak rencana
federasi dengan Yordania. Semua usul yang disetujui Arafat itu
persis bunyinya dengan tuntutan pemberontak Abu Musa.
Mengapa rujuk antara Arafat dan pemberontak belum kunjung
terwujud? Untuk memperoleh jawaban, agaknya orang terpaksa
berpalin pada Hafez Assad. Dan itulah yang akan dilakukan
Presiden Amin Gemayel pekan ini dalam rangka mengamankan
penarikan mundur semua pasukan asing dari Libanon. Prakarsa ini
merupakan tindak lanjut hasil konperensi rujuk Libanon di Jenewa
yang juga berusaha mengakhiri pendudukan tentara Israel di
Libanon Selatan. Mengingat ada 2.300 tank Syria berjajar
menghadap ke daratan tinggi Golan, AS mulai memperhitungkan
Assad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini