SATU dua tembakan masih terdengar di perbukitan St. George,
Grenada, hingga awal pekan ini. Tapi, menurut pernyataan
Departemen Pertahanan AS, "pertempuran sudah selesai". Sesuai
dengan perintah menteri pertahanan, Caspar Weinberger, pasukan
AS mulai ditarik mundur.
Kini pasukan AS di Grenada tinggal sekitar 2.500 orang -
seluruhnya anggota Divisi Lintas Udara ke-82, yang bermarkas di
Fort Bragg, Carolina Utara. Sebelumnya, tentara AS yang dikirim
ke negara pulau ini berjumlah 6.000 orang. Sementara itu, 400
tentara dari enam negara Karibia, yang mendukung invasi,
diserahi AS membantu tugas polisionil. "Tujuan kita sudah
tercapai," ujar Reagan.
Meski dicela oleh hampir seantero dunia, invasi ke Grenada
ternyata menaikkan pamor Reagan di dalam negeri. Menurut poll
pendapat yang diselenggarakan surat kabar Washington Post dan
jaringan tv ABC News, pekan lalu, 71% dari 1.505 responden
menyetujui invasi itu. Hanya 22% menyatakan tak setuju. Angka
popularitas Reagan tercatat 63% - yang tertinggi sejak September
1981.
Beberapa pengamat percaya, invasi ini berhasil dalam satu hal,
yaitu menumbuhkan kembali kepercayaan AS atas diri sendiri.
Apalagi di tengah politik luar negeri yang sukar ditebak serta
keterlibatan yang makin ruwet di Amerika Tengah dan Libanon.
Kunjungan Tim 14 Kongres, yang bertugas mengumpulkan fakta di
Grenada, juga membesarkan hati Reagan. Tim ini, setelah
menyaksikan tempat penimbunan senjata buatan Soviet dan
berbicara dengan anak negeri, menjadi percaya bahwa invasi perlu
dilakukan. Dalam tim terdapat dua pengkritik Reagan yang paling
keras.
Tapi wakil Partai Demokrat dari Washington, Don Bonker, salah
seorang di antara anggota Tim 14, tak begitu saja sependapat.
"Beberapa pertanyaan pokok tetap belum terjawab," katanya di
Washington Post.Tiga yang terpenting: Dapatkah ancaman terhadap
keselamatan warga negara AS mengesahkan sebuah invasi? Apakah
Gedung Putih sudah mengusahakan upaya nonmiliter mengatasi
ancaman itu? Dan sampai di mana Operasi Grenada bisa berkembang
menjadi peseden di masa depan?
Bukti yang dipaparkan AS selama invasi itu memang membingungkan.
Mula-mula, Washington berdalih menyelamatkan 1.000 warga
negaranya - 600 di antaranya mahasiswa kedokteran di Universitas
St. George. Kemudian menyusul alasan lain: kehadiran personil
Kuba dan pangkalan udara yang dicurigai mengancam keamanan AS.
Seorang penulis sempat melucu, "AS menyerbu St. George untuk
mencari alasan menyerang Grenada.... "
Sementara itu, kudeta terhadap PM Maurice Bishop juga belum
terungkap dengan tuntas. Grenada, setelah dua abad dikuasai
Inggris, merdeka pada 1974. Melalui pemilihan umum, Eric Gairy
kemudian diangkat sebagai PM. Pada 1979, rezim Gairy digulingkan
kup yang dipimpin Bishop. Dua tahun kemudian, Grenada, bersama
Antigua, Dominika, Montserrat, St. Kitts, St. Lucia, dan St.
Vincent membentuk Organisasi Negara-negara Karibia Timur (OECS).
Bishop kemudian bersahabat dengan Kuba dan Soviet. Tapi
belakangan, tampaknya, ada soal yang kurang selesai dengan
Kremlin. Ketika Bishop mengunjungi AS, Juni lalu, Kuba tak
mengoceh. Tapi Moskow rupanya tersinggung. Perbedaan antara
Havana dan Moskow itu tersirat pada hari-hari pertama invasi.
Castro mengutuk pembunuhan Bishop, tapi Kremlin memaki invasi.
Ada dugaan, Jenderal Austin Hudson bertindak atas restu Soviet,
tanpa diketahui Kuba.
Dalam sebuah "dokumen rahasia" yang konon ditemukan AS, terbukti
bahwa Grenada terikat perjanjian bantuan senjata dengan Soviet,
Korea Utara, dan Kuba. Dari Soviet, Bishop bakal menerima
bantuan Rp 25,8 milyar, di samping Rp 12 milyar dari Korea
Utara. Kuba akan mengirim 27 penasihat tetap dan belasan
penasihat tak tetap.
Pekan lalu, AS menemukan pekuburan massal di Calivigny, di
selatan pangkalan yang dibangun Kuba. Diperkirakan, sekitar 150
penduduk dikuburkan di sana. Selama huru-hara, AS kehilangan 18
serdadu dan beberapa helikopter.
Lima pemimpin kudeta, termasuk Jenderal Austin dan Wakil PM
Bernard Coard, sudah dipindahkan dari kapal USS Guam ke penjara
Richmond Hill, St. George. Dengan tangan terborgol dan mata
tertutup, mereka dijebloskan ke dalam sel terpisah. Istri Coard,
Phyllis, juga mendekam di penjara yang sama.
Kini, pemerintahan terpusat di tangan Gubernur Jenderal Sir Paul
Scoon. Ia dibantu Kolonel Ken Barnes, komandan satuan enam
negara Karibia. Mereka mulai mengusut ratusan orang yang
dicurigai menaruh simpati kepada Mendiang Maurice Bishop.
Angka-angka mengenai invasi AS sendiri banyak diragukan. Apalagi
wartawan dilarang masuk selama dua hari pertama operasi (Lihat
Box). Pengeboman rumah sakit jiwa yang menewaskan 20 pasien,
misalnya, baru diketahui melalui laporan seorang wartawan
Kanada. Majalah Time bahkan sempat bertanya, "Apa yang
disembunyikan pemerintah AS di balik operasi ini?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini