Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Invasi di mata tim 14

Tim 14 kongres menilai bahwa invasi a.s ke grenada memang perlu dilakukan. pamor presiden reagan naik reaksi pers amerika atas larangan bagi wartawan untuk masuk ke grenada ketika terjadi penyerbuan.(ln)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU dua tembakan masih terdengar di perbukitan St. George, Grenada, hingga awal pekan ini. Tapi, menurut pernyataan Departemen Pertahanan AS, "pertempuran sudah selesai". Sesuai dengan perintah menteri pertahanan, Caspar Weinberger, pasukan AS mulai ditarik mundur. Kini pasukan AS di Grenada tinggal sekitar 2.500 orang - seluruhnya anggota Divisi Lintas Udara ke-82, yang bermarkas di Fort Bragg, Carolina Utara. Sebelumnya, tentara AS yang dikirim ke negara pulau ini berjumlah 6.000 orang. Sementara itu, 400 tentara dari enam negara Karibia, yang mendukung invasi, diserahi AS membantu tugas polisionil. "Tujuan kita sudah tercapai," ujar Reagan. Meski dicela oleh hampir seantero dunia, invasi ke Grenada ternyata menaikkan pamor Reagan di dalam negeri. Menurut poll pendapat yang diselenggarakan surat kabar Washington Post dan jaringan tv ABC News, pekan lalu, 71% dari 1.505 responden menyetujui invasi itu. Hanya 22% menyatakan tak setuju. Angka popularitas Reagan tercatat 63% - yang tertinggi sejak September 1981. Beberapa pengamat percaya, invasi ini berhasil dalam satu hal, yaitu menumbuhkan kembali kepercayaan AS atas diri sendiri. Apalagi di tengah politik luar negeri yang sukar ditebak serta keterlibatan yang makin ruwet di Amerika Tengah dan Libanon. Kunjungan Tim 14 Kongres, yang bertugas mengumpulkan fakta di Grenada, juga membesarkan hati Reagan. Tim ini, setelah menyaksikan tempat penimbunan senjata buatan Soviet dan berbicara dengan anak negeri, menjadi percaya bahwa invasi perlu dilakukan. Dalam tim terdapat dua pengkritik Reagan yang paling keras. Tapi wakil Partai Demokrat dari Washington, Don Bonker, salah seorang di antara anggota Tim 14, tak begitu saja sependapat. "Beberapa pertanyaan pokok tetap belum terjawab," katanya di Washington Post.Tiga yang terpenting: Dapatkah ancaman terhadap keselamatan warga negara AS mengesahkan sebuah invasi? Apakah Gedung Putih sudah mengusahakan upaya nonmiliter mengatasi ancaman itu? Dan sampai di mana Operasi Grenada bisa berkembang menjadi peseden di masa depan? Bukti yang dipaparkan AS selama invasi itu memang membingungkan. Mula-mula, Washington berdalih menyelamatkan 1.000 warga negaranya - 600 di antaranya mahasiswa kedokteran di Universitas St. George. Kemudian menyusul alasan lain: kehadiran personil Kuba dan pangkalan udara yang dicurigai mengancam keamanan AS. Seorang penulis sempat melucu, "AS menyerbu St. George untuk mencari alasan menyerang Grenada.... " Sementara itu, kudeta terhadap PM Maurice Bishop juga belum terungkap dengan tuntas. Grenada, setelah dua abad dikuasai Inggris, merdeka pada 1974. Melalui pemilihan umum, Eric Gairy kemudian diangkat sebagai PM. Pada 1979, rezim Gairy digulingkan kup yang dipimpin Bishop. Dua tahun kemudian, Grenada, bersama Antigua, Dominika, Montserrat, St. Kitts, St. Lucia, dan St. Vincent membentuk Organisasi Negara-negara Karibia Timur (OECS). Bishop kemudian bersahabat dengan Kuba dan Soviet. Tapi belakangan, tampaknya, ada soal yang kurang selesai dengan Kremlin. Ketika Bishop mengunjungi AS, Juni lalu, Kuba tak mengoceh. Tapi Moskow rupanya tersinggung. Perbedaan antara Havana dan Moskow itu tersirat pada hari-hari pertama invasi. Castro mengutuk pembunuhan Bishop, tapi Kremlin memaki invasi. Ada dugaan, Jenderal Austin Hudson bertindak atas restu Soviet, tanpa diketahui Kuba. Dalam sebuah "dokumen rahasia" yang konon ditemukan AS, terbukti bahwa Grenada terikat perjanjian bantuan senjata dengan Soviet, Korea Utara, dan Kuba. Dari Soviet, Bishop bakal menerima bantuan Rp 25,8 milyar, di samping Rp 12 milyar dari Korea Utara. Kuba akan mengirim 27 penasihat tetap dan belasan penasihat tak tetap. Pekan lalu, AS menemukan pekuburan massal di Calivigny, di selatan pangkalan yang dibangun Kuba. Diperkirakan, sekitar 150 penduduk dikuburkan di sana. Selama huru-hara, AS kehilangan 18 serdadu dan beberapa helikopter. Lima pemimpin kudeta, termasuk Jenderal Austin dan Wakil PM Bernard Coard, sudah dipindahkan dari kapal USS Guam ke penjara Richmond Hill, St. George. Dengan tangan terborgol dan mata tertutup, mereka dijebloskan ke dalam sel terpisah. Istri Coard, Phyllis, juga mendekam di penjara yang sama. Kini, pemerintahan terpusat di tangan Gubernur Jenderal Sir Paul Scoon. Ia dibantu Kolonel Ken Barnes, komandan satuan enam negara Karibia. Mereka mulai mengusut ratusan orang yang dicurigai menaruh simpati kepada Mendiang Maurice Bishop. Angka-angka mengenai invasi AS sendiri banyak diragukan. Apalagi wartawan dilarang masuk selama dua hari pertama operasi (Lihat Box). Pengeboman rumah sakit jiwa yang menewaskan 20 pasien, misalnya, baru diketahui melalui laporan seorang wartawan Kanada. Majalah Time bahkan sempat bertanya, "Apa yang disembunyikan pemerintah AS di balik operasi ini?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus