AKHIR pekan lalu, sepucuk surat aneh mampir di kotak surat Lukluk Galeb. Tak ada nama sang pengirim di sampul surat. Di pojok kanan atas sampul tertempel prangko, tetapi benda pos itu tampak masih bersih: tak ada cap pos di atasnya. Kontan saja, rasa curiga mencuat di hati gadis asal Jakarta yang sejak empat tahun lalu tinggal di sebuah apartemen di Cornelia Avenue, Chicago, Amerika Serikat itu. ”Jangan-jangan ada hubungannya dengan bioterorisme,” kata spesialis komunikasi visual lulusan School of The Art Institute of Chicago itu.
Ternyata bukan hanya Lukluk yang menerima kiriman aneh semacam itu. Semua penghuni apartemen menerima surat serupa di kotak surat masing-masing. Tak seorang pun berani membuka kiriman itu. Sebagian orang langsung membuangnya dan sebagian lainnya melaporkan temuan tadi ke Biro Penyelidik Federal (FBI).
Lukluk menuturkan, sikap waspada di kalangan warga Amerika memang sangat terasa setelah tragedi 11 September di Washington dan New York, yang disusul dengan serangan militer AS terhadap Afganistan. Aksi pasang kuda-kuda mengental setelah terjadi puluhan kasus antraks di berbagai wilayah Amerika.
Anthony Sheperd, karyawan CBS News, New York, misalnya, sekarang mengaku harus selalu sedia payung sebelum hujan. ”Saya memang waswas,” katanya. Sepekan terakhir, Sheperd minum dua tablet antibiotik penisilin setiap pagi sebelum berangkat bekerja. Istri Sheperd juga telah membeli pil Cyproflaxin, abat khusus antraks, untuk berjaga-jaga.
Rasa waswas Sheperd memang cukup beralasan. Sejak awal Oktober lalu, penyakit antraks dinyatakan positif pada tujuh orang. Salah satu korban, Robert Stevens, editor foto tabloid Sun di Florida, mengisap spora antraks yang tercecer di papan ketik komputernya. Stevens meninggal tak sampai sepekan setelah antraks menerobos paru-parunya. Dua rekan sekerja Stevens terkena antraks kulit, jenis yang lebih ringan, yang dipastikan berasal dari surat berisi serbuk putih.
Sementara itu, empat korban yang lain bekerja di grup imperium bisnis milik ”Raja Media” Rupert Murdoch, yakni ABC, CBS, NBC, dan harian New York Post. Seperti rekan kerja Stevens, keempat korban terinfeksi antraks kulit yang didapat dari serbuk putih dalam surat misterius.
Belakangan, bakteri antraks juga merambah Gedung Kongres, Washington. Penyelidikan awal FBI menunjukkan, serbuk bubuk dalam sepucuk surat telah menyebar terbawa perangkat ventilasi ke seluruh ruang kantor Senator Tom Daschle. Walhasil, 32 orang staf Senat terpapar kuman antraks meskipun belum sampai tahap infeksi. Rabu pekan lalu, Gedung Kongres diliburkan lima hari guna memudahkan aksi pembersihan total.
Dengan bertebarannya bakteri antraks itu, adakah aksi kaum teroris di belakangnya? Belum, memang.
Akan tetapi, memang aneh bila negeri semaju Amerika bisa terserang antraks. ”Apalagi yang terserang adalah orang media dan politisi, yang relatif jauh dari antraks,” kata Profesor Agus Syahrurahman, ahli mikrobiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bacillus anthracis yang terbawa daging ternak sapi atau kambing biasa menyerang peternak atau penduduk yang tinggal di lokasi pedesaan, seperti yang terjadi di Desa Hambalang, Bogor, Jawa Barat, awal 2001 lalu.
Ada lagi keanehan dari serangan antraks yang tiba-tiba muncul di negeri adidaya ini. FBI memastikan, bakteri antraks yang dijumpai di Florida, New York, dan Washington berasal dari satu sumber yang sama. Terdapat pula kesamaan struktur jejak DNA—materi genetik yang khas untuk tiap individu—yang tertinggal pada sampul surat untuk Senator Tom Daschle dan karyawan NBC News.
Beberapa kejanggalan yang mungkin bisa jadi petunjuk adanya terorisme di balik serangan antraks itu belum bisa menyimpulkan pelakunya. Boleh jadi, jaringan teroris internasional yang terkait dengan Usamah bin Ladin, yang diduga mendalangi tragedi 11 September, ada di balik aksi bioteror antraks. Tapi, ”Bisa juga ini ulah teroris lokal yang memanfaatkan keadaan,” kata Jaksa Agung AS, John Ascrofft.
Dilihat dari jenis bakteri yang ditebarkan, tampaknya teroris sengaja memilih strain antraks yang tidak ganas. Buktinya, sejauh ini yang korban antraks yang meninggal hanya satu orang. Keenam korban lainnya pun bakal cepat pulih dengan bantuan antibiotik. Jadi, kuman yang disebar bukan jenis yang telah dimodifikasi dengan menyisipkan gen pembawa racun, misalnya ricin dan aflatoksin, yang mematikan.
Dengan menggunakan antraks ”biasa”, FBI malah sulit melacaknya. Sebab, memodifikasi antraks bukanlah pekerjaan sepele. Butuh keahlian dan peralatan tingkat tinggi yang hanya dimiliki sentra pengembangan senjata kuman yang telah masuk dalam sorotan intelijen AS. Sebaliknya, antraks jenis ”biasa” bisa dikemas di laboratorium sederhana (lihat boks: Musuh yang Tak Kasat Mata). Walhasil, sangat banyak pihak yang bisa jadi tersangka dalam kasus antraks kali ini.
Tentu saja, dampak antraks jenis ”biasa” pun bisa jadi gawat bila tak segera dilawan dengan antibiotik yang tepat. Lebih dari sekadar penyakit, aksi bioteror ini telah merontokkan kestabilan psikologis masyarakat.
Kecemasan pun mendunia. Bayer AG, produsen obat antraks Cyproflaxin, misalnya, sampai kewalahan memenuhi permintaan obat dari AS dan negara-negara sekutunya. Sementara itu, armada penerbangan Northwest Airlines, AS, menyingkirkan bubuk gula dan krim dari menu penumpang karena banyak yang khawatir terkena serbuk kuman. Tampaknya, benar kata Dan Rafter, penyiar senior CBS News yang menjadi salah satu korban antraks kulit. ”Bukan antraks betul yang jadi persoalan,” kata Rafter dalam sebuah konferensi pers. ”Masalah terbesar kita adalah kecemasan.”
Nah, apakah masyarakat Indonesia perlu ikut-ikutan cemas? ”Tak perlu,” kata Agus. Alasannya, sejauh ini teroris tampak cukup hati-hati dengan menyebar bubuk antraks secara selektif pada politisi dan media Amerika. Mungkin karena teroris juga tak mau antraks menyerang kerabat dan teman sebangsa. ”Toh, mereka juga bakal kena bumerang seandainya skala korban meluas tak terkendali,” kata Agus.
Mardiyah Chamim dan Supriyono (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini