Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Panas Tak Hanya Kata

Kawasan Laut Cina Selatan kembali memanas. Kapal perang Cina makin menunjukkan kehadirannya di perairan sengketa tersebut.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hawa panas akibat saling klaim wilayah di Laut Cina Selatan menyusup ke Hotel Shangri-La Singapura yang sejuk. Pekan lalu, di hotel itu berlangsung acara tahunan Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Asia Institut Internasional untuk Studi Strategis bertajuk Dialog Shangri-La. Beberapa petinggi militer Cina, Vietnam, Filipina, dan Malaysia yang hadir saling melemparkan tuduhan dengan nada tinggi.

”Insiden yang terjadi menyebabkan kekhawatiran dalam upaya mempertahankan keamanan dan stabilitas di Laut Timur (sebutan Vietnam untuk Laut Cina Selatan),” kata Menteri Pertahanan Vietnam Jenderal Phung Quang Thanh.

Kejengkelan Phung Quang Thanh dipicu oleh peristiwa 26 Mei lalu ketika kapal Cina memotong kabel survei kapal eksplorasi minyak Vietnam di perairan sekitar 80 mil (120 kilometer) dari pesisir Vietnam. Sebelumnya, kapal patroli Cina juga kerap mengancam nelayan Vietnam yang mencari ikan di sekitar Kepulauan Spratly.

Petinggi militer Filipina mendukung pernyataan keras petinggi militer Ho Chi Minh tersebut. Soalnya, bulan lalu kapal-kapal Cina ketahuan memasuki perairan yang diklaim sebagai wilayah Filipina. Maret sebelumnya, kapal patroli Cina mengusir kapal survei Forum Energy milik Filipina. Presiden Benigno ”Noynoy” Aquino III telah mengirim surat protes resmi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa atas ulah Cina itu.

Selama ini enam negara—Cina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina—memang masih terus berebut klaim atas sebagian kawasan Laut Cina Selatan. Dan hingga kini belum terlihat cara menyelesaikannya secara damai.

Tindakan Cina mengerahkan kapal perang di perairan sengketa memicu unjuk rasa di Vietnam. Dua pekan lalu, demonstrasi anti-Cina pecah di Hanoi dan Kota Ho Chi Minh. ”Paracel dan Spratly milik Vietnam,” teriak demonstran. Vietnam pun resmi melayangkan protes ke Beijing.

Di Shangri-La, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates mengingatkan akan kemungkinan terjadinya konflik-konflik bersenjata kalau masalah di Laut Cina Selatan tak segera diselesaikan, terutama oleh Cina dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Kekhawatiran Gates bukan tak berdasar. Pada masa lalu, beberapa konflik bersenjata pernah meletus di kawasan itu. Misalnya pada 1974, saat Cina mencaplok Kepulauan Paracel bagian barat, yang dianggap sebagai wilayah Vietnam.

Konflik panas terulang pada 1988 ketika Angkatan Laut Cina terlibat baku tembak dengan kapal perang Vietnam di sekitar pulau karang Spratly. Saat itu 70 prajurit Vietnam tewas.

Sekarang pengusiran kapal survei eksplorasi atau penangkapan kapal nelayan menjadi pemicu ketegangan baru. Saling serang lewat kata-kata mulai pecah secara terbuka.

Kekhawatiran makin panasnya situasi di Laut Cina Selatan meningkat karena tiap negara yang saling mengklaim wilayah meningkatkan kemampuan militernya. Menteri Pertahanan Vietnam menyatakan pihaknya telah membeli enam kapal selam Rusia.

Sedangkan Cina tahun ini mengalokasikan anggaran pertahanan US$ 92,8 miliar, naik 12,7 persen dari tahun sebelumnya. Cina juga tengah membangun kapal induk berdasar kapal induk bekas Uni Soviet.

Kecenderungan itu membuat Presiden Filipina Benigno ”Noynoy” Aquino III menyatakan sengketa di Laut Cina Selatan bisa mengundang perlombaan senjata di kawasan.

Semua kecemasan itu tak membuat Cina terpengaruh. Di Shangri-La, Cina malah menegaskan klaimnya atas Laut Cina Selatan dan menyatakan pihaknya akan menjaga perdamaian serta stabilitas di kawasan sengketa. ”Tak ada masalah menjadi seberapa kuat ekonomi atau militer Cina. Kami tak akan mencari hegemoni atau ekspansi militer,” kata Menteri Pertahanan Cina Jenderal Liang Guanglie.

Laut Cina Selatan memang ibarat santapan lezat yang layak diperebutkan. Kendati sebagian besar tidak berpenduduk, kawasan seluas 1,7 juta kilometer persegi dan berisi sekitar 200 pulau, pulau batu, dan karang ini sangat kaya sumber daya laut serta minyak dan gas alam.

Kawasan ini juga sangat ramai karena merupakan jalur terpendek yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia. Lebih dari separuh lalu lintas tanker minyak dunia melewati kawasan ini, termasuk kapal pembawa minyak mentah dari kawasan Teluk ke Asia Timur.

Sebenarnya upaya mencari penyelesaian damai atas sengketa wilayah di Laut Cina Selatan sudah beberapa kali dilakukan. Beberapa negara mencoba menyelesaikannya dengan menggunakan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982. Menurut aturan itu, wilayah laut tiap negara berjarak maksimal 12 mil dari titik pulau terluar. Sedangkan zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil.

Pada 2009, Vietnam dan Malaysia bersama-sama mengajukan peta kawasan Spratly yang mereka klaim berdasarkan konvensi hukum laut ke PBB. Tapi Cina menolak klaim tersebut dan menggunakan petanya sendiri, dengan menaruh sembilan titik yang menghubungkan kawasan yang diklaim, sehingga sebagian besar Laut Cina Selatan masuk wilayah Negara Tembok Raksasa.

Cina yakin klaimnya berdasarkan sejarah. Misalnya, untuk Spratly, pernah ada ekspedisi angkatan laut oleh Dinasti Han pada 1100 dan Dinasti Ming pada 1403-1433. Selain itu, para nelayan Cina sudah terbiasa mencari ikan di kawasan tersebut.

Sejak berdiri, Republik Cina juga sudah menggunakan peta tersebut. Untuk menguatkan klaimnya, Cina menyebut kawasan Laut Cina Selatan sebagai ”kepentingan nasional inti”, tak ubahnya Tibet, Xinjiang, dan Taiwan.

Untuk mencari solusi damai pula, pada 2002, Cina dan ASEAN membuat deklarasi perilaku pihak-pihak di Laut Cina Selatan. Semua sepakat berusaha menahan diri dan menghindari konflik terbuka.

Sampai sekarang ASEAN masih terus mencoba menaikkan derajat deklarasi yang tidak mengikat tersebut menjadi perjanjian yang mengikat. Di Surabaya pekan lalu, dalam pertemuan tingkat pejabat senior, mereka berjanji untuk segera merealisasi perjanjian tersebut.

Namun masalahnya tak sederhana karena tidak hanya melibatkan negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan. Amerika pun terlibat karena pentingnya kawasan tersebut. Tahun lalu Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menegaskan pentingnya Laut Cina Selatan bagi negerinya. ”Amerika Serikat memiliki kepentingan nasional dalam kebebasan navigasi, akses terbuka ke wilayah perairan Asia, dan menghormati hukum internasional di Laut Cina Selatan.”

Secara khusus, Amerika berbeda pandangan dengan Cina soal aktivitas militer di kawasan zona ekonomi eksklusif. Cina secara tegas menolak aktivitas militer di zona ekonomi eksklusif yang diklaimnya. Buntutnya, Cina terkadang mengganggu pesawat mata-mata dan kapal survei Amerika. Dua tahun lalu, lima kapal perang Cina berani mengganggu kapal Angkatan Laut Amerika yang tak bersenjata.

Purwani Diyah Prabandari (Reuters, Bloomberg, The Economist, CNN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus