Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Panti Jompo Bernama Penjara

Makin banyak manusia lanjut usia menghuni penjara di Jepang. Mengulangi kejahatan agar kembali dirawat di sana.

17 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjara merupakan tempat pulang bagi manusia lanjut usia tunawisma di Jepang. Dalam sedasawarsa terakhir, jumlah orang tua yang menghuni penjara meningkat pesat.

Kantor berita Kyodo pada Juli lalu melaporkan statistik dari Badan Kepolisian Nasional yang menunjukkan pelaku kriminalitas berusia di atas 65 tahun mencapai 23.656 orang sejak Januari hingga Juni 2015. Jumlah ini lebih banyak ketimbang pelaku berusia 14-19 tahun, yaitu 1.970 orang. Secara umum, warga senior yang menjadi pelaku kejahatan meningkat empat kali lipat dalam dua dekade terakhir. Kini satu dari lima narapidana di Jepang berusia di atas 60 tahun.

Tahanan lanjut usia berarti beban bagi pemerintah. Apalagi sekarang pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe sedang berutang yang besarnya 240 persen dari produk domestik bruto Jepang. Karena itu, Jepang menargetkan jumlah tahanan lanjut usia berkurang 30 persen pada 2020.

Umumnya tahanan lanjut usia adalah tunawisma tanpa keluarga. Mereka memilih hidup di penjara dengan subsidi pemerintah daripada terabaikan di luar. Data Kementerian Hukum menunjukkan setiap tahun 6.400 tahanan tunawisma dibebaskan. Dari jumlah itu, satu dari tiga orang akan mengulangi kejahatannya demi kembali ke penjara.

Seorang tahanan penjara Nagasaki berusia 67 tahun yang namanya dirahasiakan adalah salah satu contoh. Kakek yang menderita diabetes, hipertensi, dan gangguan pendengaran ini sudah 14 kali dihukum karena mencopet. Setelah masa hukuman habis, dia selalu mengulangi perbuatannya agar bisa kembali ke penjara. "Saya bisa membayangkan kembali ke penjara, tapi saya melakukannya (mencopet) karena tidak punya uang," ujarnya, seperti dilansir Bloomberg, April lalu.

Koichi Hamai, profesor kriminologi dari Universitas Ryukoku, mengatakan penjara di Jepang sebenarnya tak memadai, antara lain tidak ada penghangat dan penyejuk udara. "Tapi mereka (tahanan lanjut usia) memilih di sana daripada di luar karena ada teman, makanan, dan dirawat," katanya.

Fenomena ini tampak pula di penjara wanita Fukushima, yang 28 persen dihuni tahanan berusia di atas 60 tahun. "Penjara berubah menjadi seperti rumah jompo," ujar Ryotaro Sugi, petugas inspeksi khusus dari Kementerian Hukum. Para tahanan butuh bantuan untuk berjalan, mandi, bahkan makan. Sipir penjara pun harus merangkap jadi perawat hingga sudah seperti cucu para tahanan lanjut usia itu sendiri. Mereka mengganti popok dan celana, memandikan, serta membantu berjalan. Pada malam hari, beberapa di antara tahanan lanjut usia mengerang karena sakit, buang air besar, ataupun mondar-mandir di selnya akibat demensia.

Pada 2012, Kementerian Hukum mencatat dua pertiga tahanan mengeluhkan setidaknya satu penyakit. Kebanyakan adalah penyakit kardiovaskular, mental, dan penyimpangan perilaku. Perlu dana 3,2 juta yen atau sekitar Rp 348 juta untuk kebutuhan satu tahanan selama setahun-jumlah yang dua kali lipat dari standar kesejahteraan warga Jepang. Sedangkan dalam ketentuan hukum Jepang, pelaku kejahatan ringan berulang seperti mencopet dikenai lima tahun penjara. Artinya, jika seseorang mencuri makan siang seharga 1.000 yen atau sekitar Rp 108 ribu, negara butuh 16 juta yen atau setara dengan Rp 1,74 miliar untuk menghukumnya secara maksimal.

Takeshi Izumaru, pegiat lembaga sosial Nagasaki Community Support Center, menyebut wajar jika para manusia lanjut usia betah di tahanan. Kebanyakan dari mereka punya masa lalu yang sulit. Ada yang tumbuh di panti asuhan atau mengalami pelecehan seksual. Namun, menurut dia, mereka tetap perlu kembali bermasyarakat. Karena itu, Izumaru mencarikan rumah penampungan bagi tahanan lanjut usia yang sudah bebas dan mengajarkan cara kembali ke masyarakat. Lembaganya telah menolong lebih dari 1.000 orang sejak lima tahun lalu.

Salah satu tahanan lanjut usia yang juga tak disebut namanya mengaku optimistis dengan program Izumaru. "Saya senang punya harapan hidup setelah bebas. Saya terlalu tua untuk memulai hal baru, tapi saya memutuskan untuk menjalani sisa hidup dengan baik," ujarnya.

Atmi Pertiwi (bloomberg, Kyodo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus