Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pasar Cina Kian Terbuka

Perundingan perjanjian persahabatan Jepang-Cina yang membicarakan klausul menyangkut masalah negemoni menimbulkan kemarahan Uni Soviet. Cina-Jepang telah mencapai suatu kesepakatan dagang. (ln)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELEWATI masa perundingan yang lamban dan tak berkepastian selama 6 tahun, Jepang dan Cina beberapa hari yang lalu akhirnya sepakat terhadap suatu perjanjian persahabatan. Pembicaraan pertama mengenai perjanjian semacam itu bermula pada bulan September 1972, ketika Perdana Menteri Kakuei Tanaka melakukan kunjungan ke Peking. Yang berhasil dicapai ketika itu cumalah persetujuan untuk membuka hubungan diplomatik. Soal persahabatan dan perjanjian damai -- keduanya terlibat sebagai musuh dalam perang dunia yang lalu -- tertunda lama lantaran adanya beberapa hal penting yang sulit mereka atasi bersama. Yang paling menyolok dari hal yang lama menjadi pembicaraan antara perunding dari kedua negara adalah klausul yang menyangkut masalah hegemoni. Klausul ini amat peka adanya, sebab yang langsung terkena ialah Uni Soviet. Kesepakatan Peking dan Tokyo dalam menolak hegemoni suatu negara dinilai oleh Moskow sebagai diarahkan kepada Uni Soviet. Dan RRC memerlukan waktu yang cukup lama untuk meyakinkan Jepang supaya sudi menandatangani persetujuan persahabatan yang di dalamnya terdapat klausul yang mendongkolkan Moskow itu. Perjanjian yang ditandatangani oleh Menlu Sonao Sonoda dan Menlu Huang Hua itu kelihatannya biasa-biasa saja. Isinya tidak lebih panjang dari 500 kalimat. Tapi pengaruhnya terhadap hubungan Cina-Jepang dalam menghadapi Uni Soviet akan amat penting. Buktinya: sehari setelah penandatanganan itu berlangsung di Bangsal Besar Rakyat Peking, media Soviet sudah melancarkan serangan kerasnya. Sembari menyebut Peking sebagai "Dinasti besar Han yang sofinis," media-media Rusia juga menyebut Jepang sebagai telah "takluk" ke bawah duli Peking lewat klausul "anti hegemoni" itu. Kemarahan Moskow semakin menjadi-jadi oleh keberangkatan Ketua Hua Kuo-feng ke Rumania dan Yugoslavia beberapa hari setelah penandatanganan itu berlangsung. Rentetan kejadian ini dinilai Moskow sebagai suatu usaha ofensif diplomatik Peking untuk mengucilkan Moskow sembari mencari pendukung yang lebih banyak bagi Peking. Kunjungan Hua ke bagian belakang Uni Soviet itu dinilai oleh surat kabar resmi Pravda sebagai usaha Cina untuk melakukan penetrasi di Eropa Timur. Tapi dari kemarahannya yang terpancar lewat media itu, Uni Soviet nampaknya tidak akan mengambil tindakan drastis terhadap Jepang yang merupakan salah satu pasangan dagangnya yang amat penting. Ini kesimpulan sejumlah peninjau di Moskow maupun Tokyo. Jika kesimpulan ini ternyata memang benar, maka Jepang adalah negara yang paling banyak mendapat keuntungan dari ketegangan antara dua negara komunis raksasa itu. Pesan Mikrobus Dengan Cina, dikabarkan Jepang telah mencapai suatu kesepakatan dagang sebesar 20 milyar dolar Pebruari yang lalu. Dalam beberapa hari ini, Toshio Komoto, Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Jepang, akan berkunjung ke Peking untuk melakukan pembicaraan yang lebih terperinci mengenai perjanjian dagang besar-besaran itu. Sementara Komoto masih belum mendarat di Peking, secara terpisah, sejumlah besar perusahaan Jepang telah mendapatkan pesanan dari pemerintah Cina. Perusahaan pembuatan mobil Toyota, dikabarkan baru saja menerima pesanan mobil mikrobus mewah sebanyak 670 buah. Kendaraan yang dipersiapkan bagi turis yang makin membanjiri Cina itu, seluruhnya berharga 10 juta dollar. Pada bulan Juli yang lalu, sebuah perutusan perkereta-apian Jepang telah pula tiba di Peking. Dari delegasi ini kemudian diperoleh keterangan bahwa Peking bukan cuma akan melistrikkan semua angkutan kereta apinya -- mengganti loko uap dengan disel -- tapi bahkan telah merencanakan untuk membangun jaringan kereta api Shinkansen, yakni kereta api tercepat di dunia yang di Jepang sudah lama dikenal. Dari kisah-kisah mengenai hubungan dagang antara Jepang dan Cina yang semakin meningkat sejak kunjungan Tanaka pada bulan September 1972 itu, sebagian besar pengamat politik sepakat untuk melihat aspek ekonomi sebagai faktor pendorong bagi Jepang untuk menandatangani perjanjian damai dengan Cina itu. Para ahli dalam perdagangan internasional memperhitungkan bahwa perdagangan Tokyo-Peking yang dallm dua tahun terakhir ini cuma mencapai 3,5 milyar dollar, dalam tahun 1980 diperkirakan akan mencapai 10 milyar dollar atau bahkan 15 milyar dollar. Keuntungan besar yang mengintai kocek Jepang itu bukannya diperoleh tanpa beban resiko yang berat. Dengan Uni Soviet, ketegangan yang ada akibat perjanjian dengan Peking itu hanya akan makin memperkeras sikap Moskow terhadap Tokyo yang selama ini dengan tekun menghimbau Kremlin agar memberikan kepulauan Kuril kepada Jepang. (lihat box ) Sikap tidak bersahabat Rusia pada gilirannya akan menimbulkan rasa kurang tenteram pada orang-orang Jepang. Rasa yang seperti ini akan membawa orang-orang itu kepada pembicaraan pertahanan Jepang yang akhir-akhir ini memang menjadi topik yang menarik di negeri tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus