MELEWATI masa perundingan yang lamban dan tak berkepastian
selama 6 tahun, Jepang dan Cina beberapa hari yang lalu akhirnya
sepakat terhadap suatu perjanjian persahabatan. Pembicaraan
pertama mengenai perjanjian semacam itu bermula pada bulan
September 1972, ketika Perdana Menteri Kakuei Tanaka melakukan
kunjungan ke Peking.
Yang berhasil dicapai ketika itu cumalah persetujuan untuk
membuka hubungan diplomatik. Soal persahabatan dan perjanjian
damai -- keduanya terlibat sebagai musuh dalam perang dunia yang
lalu -- tertunda lama lantaran adanya beberapa hal penting yang
sulit mereka atasi bersama.
Yang paling menyolok dari hal yang lama menjadi pembicaraan
antara perunding dari kedua negara adalah klausul yang
menyangkut masalah hegemoni. Klausul ini amat peka adanya, sebab
yang langsung terkena ialah Uni Soviet. Kesepakatan Peking dan
Tokyo dalam menolak hegemoni suatu negara dinilai oleh Moskow
sebagai diarahkan kepada Uni Soviet. Dan RRC memerlukan waktu
yang cukup lama untuk meyakinkan Jepang supaya sudi
menandatangani persetujuan persahabatan yang di dalamnya
terdapat klausul yang mendongkolkan Moskow itu.
Perjanjian yang ditandatangani oleh Menlu Sonao Sonoda dan Menlu
Huang Hua itu kelihatannya biasa-biasa saja. Isinya tidak lebih
panjang dari 500 kalimat. Tapi pengaruhnya terhadap hubungan
Cina-Jepang dalam menghadapi Uni Soviet akan amat penting.
Buktinya: sehari setelah penandatanganan itu berlangsung di
Bangsal Besar Rakyat Peking, media Soviet sudah melancarkan
serangan kerasnya. Sembari menyebut Peking sebagai "Dinasti
besar Han yang sofinis," media-media Rusia juga menyebut Jepang
sebagai telah "takluk" ke bawah duli Peking lewat klausul "anti
hegemoni" itu.
Kemarahan Moskow semakin menjadi-jadi oleh keberangkatan Ketua
Hua Kuo-feng ke Rumania dan Yugoslavia beberapa hari setelah
penandatanganan itu berlangsung. Rentetan kejadian ini dinilai
Moskow sebagai suatu usaha ofensif diplomatik Peking untuk
mengucilkan Moskow sembari mencari pendukung yang lebih banyak
bagi Peking. Kunjungan Hua ke bagian belakang Uni Soviet itu
dinilai oleh surat kabar resmi Pravda sebagai usaha Cina untuk
melakukan penetrasi di Eropa Timur.
Tapi dari kemarahannya yang terpancar lewat media itu, Uni
Soviet nampaknya tidak akan mengambil tindakan drastis terhadap
Jepang yang merupakan salah satu pasangan dagangnya yang amat
penting. Ini kesimpulan sejumlah peninjau di Moskow maupun
Tokyo. Jika kesimpulan ini ternyata memang benar, maka Jepang
adalah negara yang paling banyak mendapat keuntungan dari
ketegangan antara dua negara komunis raksasa itu.
Pesan Mikrobus
Dengan Cina, dikabarkan Jepang telah mencapai suatu kesepakatan
dagang sebesar 20 milyar dolar Pebruari yang lalu. Dalam
beberapa hari ini, Toshio Komoto, Menteri Perdagangan
Internasional dan Industri Jepang, akan berkunjung ke Peking
untuk melakukan pembicaraan yang lebih terperinci mengenai
perjanjian dagang besar-besaran itu.
Sementara Komoto masih belum mendarat di Peking, secara
terpisah, sejumlah besar perusahaan Jepang telah mendapatkan
pesanan dari pemerintah Cina. Perusahaan pembuatan mobil Toyota,
dikabarkan baru saja menerima pesanan mobil mikrobus mewah
sebanyak 670 buah. Kendaraan yang dipersiapkan bagi turis yang
makin membanjiri Cina itu, seluruhnya berharga 10 juta dollar.
Pada bulan Juli yang lalu, sebuah perutusan perkereta-apian
Jepang telah pula tiba di Peking. Dari delegasi ini kemudian
diperoleh keterangan bahwa Peking bukan cuma akan melistrikkan
semua angkutan kereta apinya -- mengganti loko uap dengan disel
-- tapi bahkan telah merencanakan untuk membangun jaringan
kereta api Shinkansen, yakni kereta api tercepat di dunia yang
di Jepang sudah lama dikenal.
Dari kisah-kisah mengenai hubungan dagang antara Jepang dan Cina
yang semakin meningkat sejak kunjungan Tanaka pada bulan
September 1972 itu, sebagian besar pengamat politik sepakat
untuk melihat aspek ekonomi sebagai faktor pendorong bagi Jepang
untuk menandatangani perjanjian damai dengan Cina itu. Para ahli
dalam perdagangan internasional memperhitungkan bahwa
perdagangan Tokyo-Peking yang dallm dua tahun terakhir ini cuma
mencapai 3,5 milyar dollar, dalam tahun 1980 diperkirakan akan
mencapai 10 milyar dollar atau bahkan 15 milyar dollar.
Keuntungan besar yang mengintai kocek Jepang itu bukannya
diperoleh tanpa beban resiko yang berat. Dengan Uni Soviet,
ketegangan yang ada akibat perjanjian dengan Peking itu hanya
akan makin memperkeras sikap Moskow terhadap Tokyo yang selama
ini dengan tekun menghimbau Kremlin agar memberikan kepulauan
Kuril kepada Jepang. (lihat box )
Sikap tidak bersahabat Rusia pada gilirannya akan menimbulkan
rasa kurang tenteram pada orang-orang Jepang. Rasa yang seperti
ini akan membawa orang-orang itu kepada pembicaraan pertahanan
Jepang yang akhir-akhir ini memang menjadi topik yang menarik di
negeri tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini