PADA mulanya adalah berita kehadiran 51 orang Jepang bekas
pelatih PETA (Pembela Tanah Air) dalam peringatan 17 Agustus
1978 di Istana. Disusul dengan dimuatnya keterangan mereka
mengenai peranan pasukan PETA hasil latihan mereka dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Bekas Kapten AD Jepang Motoshige Yanagawa (WNI sejak 1969)
misalnya mengatakan: "Sampai 19 Agustus 1945 Indonesia masih nol
dalam soal tentara." Ia menyayangkan setelah proklamasi
kemerdekaan, "orang Indonesia seperti kehilangan akal dan tidak
serentak bergerak menyusun tentara." PETA, menurut bekas opsir
Jepang yang kini tinggal di daerah Pluit, Jakarta, timbul dari
gagasan Gatot Mangkupradja ditambah dengan konsep Yanagawa untuk
membentuk pasukan sukarela Indonesia dengan komandan bintara
bangsa Indonesia sendiri. Para bekas pelatih lain, yang
terhimpun dalam suatu perkumpulan PETA-Kai, umumnya menonjolkan
keberhasilan mereka dalam membina PETA yang kemudian menjelma
menjadi embrio korps opsir TNI.
Ini segera mengundang banyak komentar, di antaranya disertai
emosi. Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPR Sarwono
Kusumaatmadja -- yang tidak termasuk Angkatan 45, umumnya belum
40 -- misalnya berpendapat para bekas pelatih PETA itu tidak
perlu mendapat penghormatan yang begitu tinggi dari negara
"Bukan karena jasa pelatih PETA itu bangsa Indonesia berhasil
memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan, tapi justru pemuda
Indonesia sendiri yang berhasil memanfaatkan latihan-latihan
itu," katanya.
Ia menganggap lebih tepat mengundang mereka yang benar-benar
berjasa bagi RI, misalnya orang-orang asing termasuk Jepang yang
bergabung ke TNI ataupun rakyat biasa yang sukarela membantu
perjuangan. Dikecamnya juga komentar yang diucapkan para bekas
pelatih PETA itu. Terlepas dari benar atau salah yang mereka
katakan, "saya berkeberatan terhadap mereka karena sebagai tamu
memberikan komentar bermacam-macam tentang Indonesia."
Sekretaris Fraksi PDI Suryadi, juga pemuda sekitar 40-an, punya
pendapat yang serupa. Ia menilai undangan atau penghargaan pada
para bekas pelatih PETA itu sebagai tidak punya dasar. Kalau
mereka datang atas inisiatif sendiri boleh saja. "Mereka melatih
pemua Indonesia bukan untuk kepentingan Indonesia, melainkan
untuk kepentingan bangsa penjajah Jepang," ujarnya.
Yang dipandangnya perlu adalah untuk menginventarisir dulu siapa
yang sebenarnya berjasa, baik bangsa Indonesia maupun orang
asing. Ia mengkhawatirkan "sewaktu-waktu kita nanti memberikan
penghargaan kepada orang-orang seperti Daendels atau Raffles..."
Harian Merdeka meramaikan suasana dengan menurunkan tajuk
rencana berjudul Waspada terhadap tamu asing. "Setiap tamu
hendaklah dipermulia. Namun sebagai tamu yang seyogyanya
bertindak wajar mereka malah telah mengeluarkan pernyataan
tentang Angkatan Bersenjata kita."
Kompas mempunyai pendapat yang agak berbeda. Keakraban dalam
silaturahmi dilihatnya sebagai petunjuk betapa kita hendak
membangun sikap yang positif dalam hubungan dengan Jepang dan
mengharapkan sikap yang serupa dari mereka.
Dugaan bahwa mereka datang ke Indonesia atas undangan pemerintah
ternyata keliru. "Mereka hanyalah turis," kata Mensesneg
Sudharmono pekan lalu, "yang datang dalam rangka sentimental
journe." (perjalanan kenangan -- Red.) Mereka datang dengan
biaya sendiri dan diundang menghadiri upacara di Istana atas
permintaan mereka lewat Dubes Jepang. "Dan untuk tertibnya tentu
saja diberikan undangan. Mosok untuk melihat saja kok sampai
tidak boleh," kata Sudharmono.
Bahwa mereka datang ke sini dengan biaya sendiri memang benar.
Genso Tanaka (57 tahun) menabung bertahun-tahun sebelum ia
berhasil melaksanakan cita-citanya untuk mengunjungi kembali
Indonesia. Yutaka Ota (55 tahun) malahan merencanakan untuk
datang lagi ke sini bersama isteri dan anaknya. Beberapa tahun
terakhir ini memang banyak bekas tentara Jepang yang pernah
bertugas di Indonesia -- karena nostalgia -- bersama-sama
mengadakan kunjungan ke Indonesia. Naiknya nilai yen tentu lebih
memudahkan kecenderungan ini.
Kalau soal undangan sudah jelas, bagaimana soal pendapat mereka
tentang Indonesia dan peranan PETA sebagai embrio ABRI? "PETA
dibentuk untuk kepentingan tentara Jepang. Jasa-jasa mereka
kepada Kaisar Jepang dan bukannya untuk kita," kata Brigjen
Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat Sejarah Hankam pada TEMPO
pekan lalu, seorang sejarawan yang penelitiannya khusus tentang
jaman itu. Pembentukan PETA semuanya telah diatur dari Tokyo.
Bahkan penunjukan Gatot Mangkupradja juga telah diatur dari
sana. Dalam waktu 2 bulan perintah dari Tokyo untuk membentuk
pasukan pribumi, dapat dilaksanakan. "Kalau memang pembentukan
PETA direncanakan atas ide pribumi, mana mungkin dalam waktu
singkat bisa terbentuk," kata Nugroho.
Pertahanan Lokal
KSAD Jenderal Widodo, yang lulus dari pendidikan PETA angkatan
II, membenarkan ini. "Kalau ada mereka yang beranggapan
seolah-olah TNI yang sekarang adalah lanjutan dari PETA, itu
tidak benar," katanya pada TEMPO pekan lalu. "TNI adalah produk
dari perjuangan bangsa terutama para pemuda. Peranan para
pelatih Jepang hanya memberikan dasar pendidikan militer sampai
tingkat kompi. Siasat dan strategi militer baru diperoleh TNI
sesudah pengalaman bertempur melawan Belanda dan Inggeris.
Tujuan pendirian PETA hanyalah untuk menutupi kekurangan tentara
Jepang dengan menggunakan tenaga pertahanan lokal," katanya.
Timbulnya pemberontakan PETA menurut Jenderal Widodo adalah
akibat tentara Jepang yang terlalu menindas bangsa Indonesia.
"Bahkan kita yang di PETA waktu itu biasanya makan jagung atau
kedelai. Yang makan berasnya orang Jepang. Waktu itu boleh
dikatakan seluruh kekayaan bangsa Indonesia sudah diangkut ke
Jepang," katanya.
Para bekas pelatih PETA sendiri agaknya tidak tahu "keramaian"
yang mereka timbulkan. Sabtu pekan lalu mereka dengan gembira
kembali ke negaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini