DALAM setiap poll pendapat umum di Jepang sejak tahun 1953
sampai sekarang, Uni Soviet selalu dianggap sebagai negara yang
paling tidak disenangi dan dianggap sebagai ancaman utama
terhadap Jepang.
Perasaan khawatir ini terutama disebabkan oleh pengumuman perang
Uni Soviet terhadap Jepang pada bulan Agustus 1945, hanya
beberapa hari sebelum berakhirnya Perang Dunia II. Dengan cepat,
tentara Uni Soviet menduduki Mancuria, Sakhalin dan kepulauan
Kuril. Padahal, Uni Soviet dan Jepang pada waktu itu masih
diikat oleh Perjanjian Perdamaian tahun 1941. Serangan ini oleh
Jepang dianggap sebagai tikaman dari belakang.
Warisan dari Perang Dunia II ini masih ada yakni tetap
didudukinya kepulauan Kuril oleh Uni Soviet, yang sekaligus
menjadi pos pengintai militer terdepan dari Soviet terhadap
Jepang. Perselisihan mengenai tuntutan Jepang terhadap kepulauan
Kuril merupakan penghambat utama dalam usaha perbaikan
hubungannya dengan Soviet. Apalagi, banyak nelayan Jepang sering
ditangkap Soviet karena menangkap ikan di wilayah kepulauan
Kuril.
Untuk menghadapi ancaman Soviet -- dan waktu itu juga ditujukan
terhadap RRC -- pada tahun 1952 Jepang menandatangani Perjanjian
Keamanan dengan Amerika Serikat (AS). 'Payung nuklir' AS ini
diperpanjang tahun 1960 dan kemudian juga pada tahun 1970,
walaupun Perang Dingin sudah selesai. Perpanjangan tahun 1970
kabarnya lebih ditujukan terhadap RRC, yang pada tahun 1964
sudah memiliki bom nuklir dan pada tahun 1970 sudah
mengembangkan senjata balistik ICBM .
Dengan 'payung nuklir' AS ini, Jepang memperkuat kemampuan
ekonominya tanpa harus memikirkan anggaran belanja yang besar
untuk pertahanan. Sementara negara-negara seperti AS menyisihkan
8 persen dari GNPnya untuk pertahanan, Jepang hanya memerlukan
antara 0,8 sampai 1 persen dari GNP-nya untuk keperluan militer.
Ini untuk membiayai 'Self Defence Forces' (SDF) yang dibentuk
untuk menjaga keamanan dalam negeri pada masa Perang Korea dulu.
Nixon Shocks
Keseimbangan strategis tadi dirobah oleh pengumuman Presiden
Nixon bulan Juli 1971 untuk berkunjung ke RRC dan oleh
pertentangan yang makin mendalam antara Uni Soviet dengan RRC.
Jepang menganggap pengumuman AS tadi sebagai suatu Nixon shocks.
Mereka yang selama ini menggantungkan keamanannya pada AS
samasekali tidak dihubungi oleh Nixon dalam melancarkan prakarsa
strategis yang baru. Ditambah oleh kebijaksanaan baru ekonomi
pada bulan Agustus 1971, Jepang benar-benar merasa dikhianati
oleh AS. Kabinet Sato jatuh, digantikan oleh PM Kakuei Tanaka,
untuk menghadapi akibat dari N1xon shocks ini.
Inisiatif yang diambil Tanaka jauh lebih cepat hasilnya dari
yang dilakukan Nixon. Ini disebabkan antara lain karena sumber
kebudayaan yang serupa antara Jepang dan RRC menyebabkan simpati
yang lebih luas dikalangan rakyat Jepang untuk suatu normalisasi
dengan RRC. Usaha normalisasi ini menghasilkan komunike bersama
September 1972, yang menjadi landasan untuk hubungan diplomatik.
Tanaka juga meletakkan dasar untuk merumuskan Perjanjian
Persahabatan dengan RRC. Ia juga meletakkan dasar untuk
merumuskan Perjanjian Persahabatan dengan RRC.
Bagi RRC, sejak pertempurannya tahun 1969 dengan tentara Soviet
di perbatasan di pulau Chenpao, ancaman dari Soviet dianggapnya
jauh lebih berbahaya dari Perjanjian Keamanan AS-Jepang. Setelah
kunjungan Nixon, bahaya Soviet lebih terasa lagi karena
sepertiga dari Angkatan Bersenjata Uni Soviet dipusatkan pada
perbatasannya dengan RRC.
Usaha RRC kemudian adalah mencari sekutu untuk menghadapi apa
yang disebutnya "lingkaran pengepungan" Uni Soviet. Jepang
merupakan pilihan yang tepat karena keduanya merasakan ancaman
Soviet serta memiliki masalah-masalah sengketa teritorial daerah
perbatasan dengan Soviet.
Ini tidak berarti bahwa Jepang dan RRC sudah sepakat dalam
segala hal. Di antara mereka sendiri, masih dua masalah pulau
Senkaku yang sama-sama diklaimnya. Juga masih ada masalah
Taiwan, yang walaupun dicoba diselesaikan oleh Tanaka dalam
Komunike Bersama, tapi belum seperti dikehendaki RRC. Akibatnya,
kedua masalah ini dibiarkan dulu dan kedua negara menganggapnya
tidak cukup penting untuk menghalangi penandatanganan Perjanjian
Persahabatan.
Dalam masalah Taiwan, misalnya, Jepang tetap melanjutkan
hubungan ekonominya walaupun tanpa hubungan diplomatik. Prinsip
Jepang dalam hal ini adalah "dagang adalah dagang, politik
adalah politik." Turis-turis Jepang tetap membanjiri Taiwan,
perdagangan kedua negara meningkat 42 persen segera setelah
pemutusan hubungan diplomatik.
Dengan RRC, Jepang juga mendapat keuntungan ekonomi dari
Perjanjian Persahabatan. Impor minyak dari RRC meningkat terus
dari 1 juta ton pada tahun 1973 menjadi 4 juta ton pada tahun
1974. Demikian pula impor bahan-bahan pertanian yang memang
merupakan surplus RRC. Bahkan RRC mengharapkan bantuan teknologi
Jepang untuk mengembangkan pelabuhan minyaknya dekat lapangan
minyak Taching. Bukan kebetulan bahwa pengusaha Jepang adalah
orang asing pertama yang diijinkan meninjau lapangan minyak itu.
Lebih penting lagi, Perjanjian Persahabatan dapat menjamin RRC
untuk memperoleh teknologi dari Jepang, pada saat RRC menempuh
jalan modernisasi untuk menjadi negara industri pada tahun 2000.
Di pihak RRC, perunding yang ulet untuk Perjanjian ini adalah
Teng Hsiao-ping, yang juga merupakan eksponen utama "jalan
modernisasi RRC". Di pihak J epang, perjanjian yang dirintis
oleh Perdana Menteri Tanaka dan Miki -- yang dikenal sebagai
'lobby RRC ' di kalangan partai LDP-pada akhirnya dirampungkan
oleh Perdana Menteri Takeo Fukuda, pilar utama dari 'lobby
Taiwan" di kalangan partai Liberal Demokrat yang berkuasa.
Burhan D. Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini