Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Berita Tempo Plus

Hidup Susah Setelah Hijrah

Para deporte dari Suriah dan Irak menata ulang kehidupan mereka. Kapok bergabung dengan ISIS.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Dwi Djoko Wiwoho dan keluarganya./Facebook.com/Dwi Djoko Wiwoho
Perbesar
Dwi Djoko Wiwoho dan keluarganya./Facebook.com/Dwi Djoko Wiwoho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

DALAM kegelapan, mobil pikap yang mengangkut rombongan Rani Nirmala dan keluarganya menyusuri jalur selatan Suriah, awal Juni 2017. Malam itu, rombongan yang terdiri atas 18 orang asal Indonesia tersebut diam-diam meninggalkan Raqqah, provinsi yang saat itu menjadi ibu kota kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. Mereka menuju pos pemeriksaan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di dekat Tel Abyad, kota yang juga masuk wilayah Raqqah.

Itu ketiga kalinya Rani, 52 tahun, dan keluarga besarnya mencoba kabur. Dua kali mereka ditipu penyelundup yang menjanjikan akan memandu mereka ke kamp pengungsi Ain Issa, sekitar 55 kilometer di utara Raqqah. Sebelumnya, keluarga Rani sudah membayar US$ 10 ribu kepada seorang penyelundup. Tapi pemandu gadungan itu tak pernah menjemput mereka. Pada percobaan terakhir, dengan sisa duit yang ada, hasil berjualan baju di sebuah pasar di Raqqah, mereka membayar US$ 4.000.

Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. Peluru menerjang mobil pikap. Semua yang di dalam mobil menjerit dan beristigfar. Tubuh mereka menunduk, mencoba menghindari serbuan timah panas. “Tentara SDF menembak, padahal pemandu sudah meminta jangan ditembak,” ujar Rani bercerita kepada Tempo, yang menemuinya di salah satu pusat belanja di kawasan Depok, Jawa Barat, Jumat, 14 Juni lalu. Mereka beruntung, personel SDF akhirnya berhenti menghujani mobil dengan peluru.

Beberapa waktu kemudian, mereka tiba di kamp pengungsi Ain Issa, yang dikelola Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR). Di sana mereka tinggal dalam tenda darurat berukuran besar. “Meski kondisinya tidak bagus, kehidupan di pengungsian lebih baik ketimbang di Raqqah,” kata Rani.

Pertengahan 2015, Rani dan keluarga besarnya hijrah ke Suriah karena ingin hidup dalam sistem khilafah. Meski sempat timbul perdebatan di dalam keluarga, mereka akhirnya bersepakat meninggalkan kehidupan di Indonesia. Suami Rani, Dwi Djoko Wiwoho, bahkan sampai melepas pekerjaannya sebagai direktur di Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Batam atau BP Batam. Dengan modus wisata dan umrah, mereka kemudian pergi ke Turki. Di sana, mereka memisahkan diri dari rombongan yang diberangkatkan sebuah agen perjalanan dan menyelinap ke Raqqah.

Namun janji-janji yang didengungkan ISIS hanya angin surga. Tak ada pendidikan dan tempat tinggal gratis. Untuk bertahan hidup, mereka harus menjual perhiasan dan logam mulia yang mereka bawa. “Bahkan untuk minum saja kami harus membeli air. Itu pun susah didapat,” ujar Rani. Sekitar dua tahun hidup di Raqqah, mereka memutuskan kembali ke Tanah Air. Hingga akhirnya mereka tiba di kamp Ain Issa.

Dua bulan hidup di tenda darurat, keluarga Rani dideportasi. Setelah itu, mereka mengikuti program deradikalisasi yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Dwi Djoko Wiwoho sempat mendekam selama dua bulan di penjara Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Dia menghuni satu sel bersama para narapidana terorisme—kebanyakan berasal dari kelompok Jamaah Ansharud Daulah, yang berbaiat ke ISIS.

Menurut Rani, suaminya pernah mengeluh dipukul oleh sesama tahanan. Dia bahkan dipaksa mendaraskan lagi syahadat. Sebab, bagi pendukung kelompok yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi itu, mereka yang meninggalkan ISIS sama dengan murtad. Ihwal penyiksaan ini, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Prabowo Argo Yuwono mengatakan belum menerima laporan. “Kami punya prosedur ketat mengawasi tahanan. Jika ada yang merasa diperlakukan tak layak oleh sesama tahanan, bisa langsung mengadu ke petugas jaga,” ucap Argo.

Kembali dari Suriah, kehidupan keluarga Rani tak lagi sama. Djoko divonis tiga setengah tahun penjara karena terbukti mendanai terorisme. Dia kini dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Sentul, Bogor. Tak ada lagi pemasukan tetap. Padahal, saat menjadi direktur di BP Batam, Djoko bisa menyekolahkan putri sulungnya ke Malaysia dan membeli rumah seluas dua kali lapangan badminton. Mereka bahkan memiliki dua mobil impor dari Singapura dan mempekerjakan sopir pribadi. “Rumah dan mobil akan kami jual setelah surat-suratnya lengkap,” ujar Rani.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus