Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Payung yang Memenjarakan Penyair

Lebih dari 40 pendukung gerakan prodemokrasi di Cina daratan ditangkap setelah demonstrasi besar melanda Hong Kong. Beijing bertahan.

20 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyair Wang Zang dan keluarganya sedang di rumah di Beijing pada 1 Oktober lalu ketika lebih dari 20 orang, dua di antaranya berseragam polisi, memaksa masuk. "Mereka menunjukkan surat perintah penggeledahan dan mengobrak-abrik semuanya, mencari-cari barang hingga di sudut-sudut rumah," kata Wang Li, istri Wang Zang, dua pekan lalu.

Wang Zang pun digelandang. Tamu yang tak diinginkan itu juga mengangkut payung biru muda, komputer, modem, juga kacamata. "Melihat dari barang yang diambil polisi, menurut saya, penangkapan Wang terkait dengan gambar yang dia taruh di Twitter untuk mendukung Gerakan Payung," Wang Li menambahkan.

Sebelumnya, penyair 29 tahun itu memang memasang foto diri dengan kepala plontos dan memegang payung-barang yang menjadi simbol gerakan pro-pemilu langsung yang bebas di Hong Kong. Dia juga menulis: "Mengenakan baju hitam, gundul, dan memegang payung. Saya mendukung Hong Kong."

Sejak 26 September lalu, Hong Kong dilanda demonstrasi yang jumlah pesertanya naik-turun, dari puluhan ribu hingga ribuan pada pekan lalu. Aksi itu dipicu oleh keputusan Beijing pada Agustus lalu, yang menetapkan pada 2017 pemimpin Hong Kong atau biasa disebut kepala eksekutif akan dipilih dari kandidat yang lolos saringan Beijing. Kaum muda Hong Kong menilai keputusan ini melanggar prinsip "satu negara, dua sistem", yang dijanjikan saat penyerahan kembali Hong Kong oleh Inggris kepada Cina pada 1997. Payung, baju atau kaus hitam, dan pita kuning menjadi simbol dalam demo itu.

Menurut pengacara Wang Zang, Sui Muqing, kliennya ditahan atas dasar tuduhan "memprovokasi keributan" dengan ancaman hukuman hingga tiga tahun penjara. Polisi tak bersedia menjelaskan hal-ihwal penangkapan Wang Zang.

Bukan hanya Wang Zang yang dicokok polisi di Beijing. Tujuh seniman dan budayawan juga ditangkap saat menuju tempat acara pembacaan puisi untuk menunjukkan dukungan terhadap aksi Hong Kong di daerah Songzhuang, pinggiran Beijing. Seniman lain, Lu Shang dan Zhui Hun, yang rajin menyebarluaskan informasi penahanan rekan-rekannya di media sosial, bernasib serupa. Tuduhan kepada mereka seragam: mencari-cari alasan untuk menimbulkan kegaduhan dan memprovokasi keributan.

Di daerah lain di Cina daratan pun banyak aktivis harus meringkuk di tahanan. Di Provinsi Guangdong, misalnya, beberapa orang dijemput paksa oleh aparat setelah membentangkan spanduk yang menyatakan dukungan terhadap demonstrasi Occupy Central di Hong Kong.

Rupanya, penguasa di Beijing tak ingin demo Hong Kong menular ke Cina daratan. Siapa pun yang menunjukkan sikap berbeda dengan pemerintah langsung dijemput paksa. Menurut data yang dikumpulkan Chinese Human Rights Defenders, yang bermarkas di Amerika Serikat, sejak demo digelar pada 26 September hingga sepekan lalu, lebih dari 40 orang di Cina daratan ditahan. Amnesty International menyebutkan lebih dari 60 orang telah diperiksa polisi.

Langkah lain yang dilakukan Beijing agar demo tak menjalar ke Cina daratan adalah membatasi pemberitaan di media. Baru beberapa hari setelah aksi dilancarkan, dan saat demo sudah mengecil, rakyat Cina daratan bisa menyaksikan gambar-gambar saudara mereka yang turun di jalanan lewat televisi atau media Cina lainnya.

Hingga pekan lalu, sikap Beijing dan penguasa di Hong Kong pun tak bergeser. Aksi juga sudah jauh mengecil; polisi bahkan pada Rabu pekan lalu menggelar operasi pembubaran, yang menimbulkan bentrokan. Dalam wawancara dengan TVB News Hong Kong, Kepala Eksekutif Leung Chun-ying menyatakan tak ada kemungkinan sedikit pun Cina mengubah keputusan. Dia juga menegaskan tak akan mundur. "Saya yakin pengunduran diri saya tidak akan memecahkan masalah karena apa yang mereka tuntut adalah Kongres Rakyat Nasional menarik kembali keputusannya dan adanya pencalonan sipil, dan itu tidak mungkin," katanya.

Purwani Diyah Prabandari (The Telegraph, The New York Times, UPI, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus