SUARA tembakan tak terdengar di Mogadishu Jumat pekan lalu. Situasi tenang terasa di ibu kota Somalia menjelang kedatangan 1.800 pasukan marinir AS yang akan berlabuh di laut lepas sejauh 80 km dari Mogadishu. Dengan kekuatan persenjataan sejumlah helikopter tempur plus 23 peralatan berat dan truk, kontingen pertama tentara AS itu bertugas mempersiapkan kedatangan 20 ribu pasukan multinasional PBB yang akan menembus masuk ke dalam wilayah rawan di Somalia, untuk mengamankan bantuan pangan bagi sekitar 2 juta rakyat Somalia yang tengah kelaparan. Tugas pertama pasukan marinir yang berasal dari Unit Ekspedisi Marinir ke-15 di Fort Pendleton, California, ini adalah membebaskan Bandara Mogadishu dan membersihkan jalur-jalur kunci, seperti jembatan, lapangan terbang, jalan raya, dan beberapa kota lainnya dari pihak-pihak yang saling bermusuhan, agar bantuan pangan lancar dan aman. Belakangan makin sulit membagi bantuan pangan ke pelosok-pelosok karena kelompok bersenjata makin agreasif. Di Mogadishu, menurut pasukan PBB yang sudah ada di sana, dari Pakistan ada 12.000 ton padi tak bisa didistribusikan dan masih tersimpan dalam gudang pusat makanan. Pembagian itu ditangguhkan untuk menghindari perampokan. Perampokan itulah yang membuat korban kelaparan di Somalia sampai sekitar 300.000 sejak perang saudara meletus di tahun 1991 lalu. Memang angka itu bukan hanya menunjukkan mereka yang mati kelaparan, tapi juga yang tewas karena bentrokan senjata antarsuku. Pihak tentara PBB yang sudah bertugas di Somalia memang merasakan kerepotan menghadapi kelompok-kelompok bersenjata itu. Selain tak diizinkan melepaskan tembakan, kecuali dalam keadaan terdesak, pasukan PBB tak berhak melakukan penangkapan terhadap para penjarah bersenjata. Jadi bagaimana nanti marinir AS itu akan membebaskan bandara Mogadishu, misalnya, masih belum diketahui caranya. "Tentara PBB tak bisa apa-apa meski di depannya ada seorang bocah berusia 16 tahun yang mengenakan kaus bertuliskan I am The Boss memanggul senjata AK-47 mondar-mandir di depan hidung," kata Stephen Tomlin, Direktur International Medical Corps. Karena itu tak aneh bila kelompok bersenjata Somalia itu besar kepala. Di dalam kota, mereka memacu jip terbuka yang dipasangi kanon penembak pesawat. Mereka merampok bantuan makanan, dan menimbunnya di markas mereka. Lebih dari itu, mereka berani merampok peralatan komunikasi di salah satu markas PBB di Kismayu. Tak jarang pula kapal penuh bermuatan tepung terigu gagal merapat ke Mogadishu gara-gara diserang mortir kelompok bersenjata. Tampaknya Somalia memang sudah sangat memerlukan pasukan PBB -- yang syukurlah, Kamis pekan lalu 15 anggota Dewan Keamanan PBB kompak menyetujui pengiriman itu. Belasan kelompok bersenjata Somalia pekan lalu gagal berdamai dalam perundingan di Addis Ababa, Etiopia. Tiga kelompok besar, kelompok pimpinan Jenderal Mohammad Farah Aidid dan rivalnya Ali Mahdi Mohamad serta Mohamad Siad Hersi Morgan sudah bersedia membantu misi damai pasukan multinasional PBB itu. "Kami mau bekerja sama. Kami tak ingin ada insiden," ujar seorang pemimpin kelompok seraya mengusulkan agar ada utusan PBB yang menjelaskan misi mereka kepada rakyat Somalia sebelum pasukan multinasional itu bergerak. Babak terpenting dalam tugas pasukan PBB di Somalia adalah babak melucuti senjata dari kelompok-kelompok bersenjata itu. Ini juga akan menjadi babak yang rawan, karena insiden bisa saja terjadi, dan salah paham mudah meletup. Misalnya saja, dalam operasi perlucutan senjata itu seorang Somalia bersenjata tertembak mati. Insiden itu akan membuat pihak suku yang anggotanya tertembak itu marah dan melawan pasukan PBB. "Bukan tak mungkin mereka akan memburu orang-orang Amerika," ujar Hussein Ali Salad, bekas staf lokal Kedutaan AS di Mogadishu. Bisa-bisa pasukan perdamaian akan terpaksa bertempur juga. Akibatnya bisa saja menimbulkan kesan aksi militer DK PBB yang didukung pasukan AS dan Prancis itu melakukan intervensi terhadap Dunia Ketiga. Maka kini pasukan PBB yang sudah ada di Somalia, yakni dari Pakistan, mulai memikirkan cara-cara perlucutan senjata yang bisa menghindarkan insiden. Kata Brigjen Imtiaz Shaheen, komandan 500 pasukan PBB dari Pakistan di Somalia itu, salah satu usul yang unik adalah pihak PBB membeli senjata-senjata milik kelompok-kelompok itu. Dua hal tercapai sekaligus: mengerem insiden bersenjata, dan memberi mereka uang untuk menunjang segala keperluan. Tapi berapa harga senjata itu? Brigjen Imtiaz mengira-ngira antara US$ 50 dan US$ 100 per buah. Namun cara ini jelas membutuhkan dana yang tak sedikit, dan bisakah PBB menyediakan dana itu? Ada lagi hal lain yang penting dan rawan, tapi ini bukan sepenuhnya tanggung jawab pasukan PBB. Yakni menentukan di antara ke-22 kelompok bersenjata yang hingga kini masih bertikai itu: siapa yang bakal memegang pemerintahan. Somalia sekarang kenyataannya bukanlah sebuah negeri yang utuh dengan satu pemerintahan, tapi terbagi-bagi dalam wilayah-wilayah yang tiap wilayah punya penguasanya sendiri. Belasan suku bangsa di Somalia kini masing-masing merasa paling berhak atas Somalia. Sampai-sampai Ali Mirreh, salah seorang anggota gerilyawan Front Demokratik Penyelamatan Somalia yang pernah melakukan kudeta militer pada tahun 1981, berpendapat, "Secara jujur saya katakan, di masa pemerintahan kolonialisme Inggris atau Italia, Somalia lebih baik daripada situasi sekarang ini." Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini