Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Surat Bebas Jenderal Menh Ron

Wartawan Tempo Yuli Ismartono mengikuti proses pembebasan enam perwira pasukan perdamaian PBB di kamboja. Berikut laporannya.

12 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA awalnya adalah enam orang perwira pasukan PBB yang berniat mengecek informasi tentang adanya dua tank di wilayah Khmer Merah. Mereka berlayar disungai Stung Sen, Provinsi Kompong Thom. Tim yang terdiri atas 3 orang Inggris, 2 Filipina, dan 1 Selandia Baru itu datang ke markas kontingen Garuda XII-B di Kompong Thom untuk minta petunjuk. Letkol (Inf) Ryamizard dari Indonesia, yang dianggap paling mengenali ulah dan watak Khmer Merah, semula tidak setuju dengan operasi itu. Tapi karena operasi ini merupakan perintah langsung dari markas militer UNTAC, pemerintahan peralihan Kamboja di Phnom Penh, ia memberi pilihan pada tim tersebut. Akan mengecek lewat Provinsi Kompong Chnang atau lewat sungai. Karena permintaan helikopter dan perlengkapan perjalanan darat ditolak oleh markas UNTAC, apa boleh buat, dipilihlah jalan sungai, meski tanpa pengawal dan tanpa penerjemah. Di pos pengecekan Khmer Merah pertama, sekitar 40 km dari Kompong Thom, dua perahu itu dicegat oleh sepuluh orang Khmer Merah. Keenam perwira digiring ke pos pengecekan ketiga, dekat Desa Anlung Ran. Di sana kedua perahu karet itu digemboskan dan disembunyikan. Sedangkan keenam orang itu disuruh tinggal di sebuah gubuk. Pada akhirnya adalah berita penculikan. Informasi itu segera disampaikan ke Phnom Penh, dan seluruh aparat UNTAC langsung cemas. Dicoba menghubungi pimpinan Khmer Merah. Dalam Dewan Nasional Tertinggi Kamboja memang duduk seorang wakil militer Khmer Merah bernama Nuon Bono, yang segera menghubungi Khmer Merah di Kota Pailin, dekat perbatasan Thailand. Esoknya, Rabu, ada berita seorang jenderal Khmer Merah bernama Cham sudah sampai di lokasi penawanan, dan pihak UNTAC di Phnom Penh mulai optimistis masalah akan cepat selesai. Tapi sampai sore belum juga ada perkembangan. Akhirnya Ryamizard dimintai pertolongan. Soalnya, tidak ada orang UNTAC kecuali pasukan Indonesia yang bisa berhubungan dengan pemimpin yang berkuasa di Kompong Thom itu. Di Phnom Penh rasa panik mulai meningkat. Sebuah helikopter berisi pejabat militer UNTAC diterbangkan ke lokasi tawanan. Heli disambut "ramah" oleh serentetan tembakan. Satu penumpang, pejabat militer dari Prancis, kena di bagian bawah tubuhnya. Risiko terlalu besar, heli pun putar haluan. Setelah Jenderal Menh Ron dikontak oleh Kapten Fransen Siahaan, komandan kompi Garuda XII-B, beberapa tuntutan Khmer Merah diajukan. Mereka akan melepaskan tim UNTAC itu asalkan pasukan rezim Phnom Penh yang berada tidak jauh dari lokasi itu ditarik mundur. Segera kesalahpahaman diketahui: Khmer Merah rupanya curiga tim UNTAC itu mata-mata tentara Hun Sen, tutur Letkol Ryamizard. Akhirnya turun perintah resmi: Panglima Pasukan UNTAC Jenderal John Sanderson memerintahkan Komandan Garuda XII-B Letkol Ryamaizard mencari jalan keluar. Komandan Garuda yang lama bertugas di Kalimantan dan Timor Timur ini langsung bergerak. Malam itu juga Kapten Fransen minta diadakan pertemuan dengan Jenderal Khmer Merah Menh Ron. Esok harinya wakil Ryamizard, Mayor (Marinir) S. Noerdin, naik pesawat helikopter ke Kraya untuk berunding dengan Menh Ron. Sementara itu Ryamizard mengirim dua belas anak-buahnya lewat dua perahu karet untuk membawa minuman dan obat-obatan untuk para tawanan di Anlung Ran. Di antara kedua belas tentara itu hanya satu yang punya surat jalan Sungai Stung Sen, yakni Letnan Novarin, yang tugas sehari-harinya memang melacak daerah itu dan ia sudah lama memegang izin Khmer Merah untuk mondar-mondar di sungai itu. Di Kraya, Jenderal Menh Ron tetap keras kepala. Tapi siangnya, tak jelas apa yang terjadi, Menh Ron setuju melepas keenam tawanan, asalkan pasukan Indonesia yang menjemputnya dari tempat penahanan. Singkat cerita, dua perahu karet dengan delapan anggota Garuda XII-B dipimpin Kapten Fransen pagi-pagi bertolak dari tepi Sungai Stung Sen di Kompong Thom. Tak lama perjalanan segera terlihat orang-orang Khmer Merah. Tim penjemput tawanan ini segera dibawa ke tempat tawanan. Di sana tiga orang bule, seorang suku Maori dari Selandia Baru, dan dua orang Filipina menunggu kedatangan tim ini. Para tawanan tampak kotor, capek, tapi sehat. Fransen sendiri langsung bertemu dengan Mayor Nguon. Ia diterima perwira Khmer Merah berusia 36 itu di gubuknya yang penuh senjata anti-pesawat. Lewat seorang penerjemah, ia serahkan surat perintah dari Menh Ron kepada Nguon. Setelah membaca surat itu ia minta waktu untuk mengecek dengan atasannya lewat radio. Sementara itu para tawanan bercerita bahwa mereka tak boleh berkeliaran terlalu jauh dari gubuk mereka. Jika mereka sedikit mencoba jalan-jalan agak jauh, tiba-tiba saja muncul pasukan Khmer Merah. "Sebenarnya kami tidak bisa lari terlalu jauh. Di belakang gubuk, di ladang itu sudah ditanami ranjau, begitu pula di pinggir sungai," tutur salah seorang di antaranya. "Pada hari pertama kami masih punya makanan sendiri. Pada hari kedua dan ketiga kami makan nasi dan ikan dibakar Khmer Merah," kata Williams, pasukan PBB asal Inggris. Tidak lama kemudian Nguon kembali dengan senyum lebar. "Menh Ron kirim salam kepada Fransen," katanya. Lalu lewat penerjemahnya ia minta agar para tawanan diberi tahu supaya jangan lagi datang ke wilayah Khmer Merah tanpa izin mereka. "Kali ini kami lepas, lain kali tak ada maaf," kata Nguon. Singkat cerita, tim penjemput bersama tawanan pun pulang ke Kompong Thom. Dan baru sesampai di Kompong Thom, Letkol Varney, komandan tim yang tertawan itu menggerutu, "Kami di sini sebagai pengamat, kami netral. Jadi seharusnya bebas untuk pergi ke mana saja." Sampai kini tak begitu jelas latar belakang penculikan itu. Yang terang, sikap Khmer merah itu menunjukkan bahwa mereka siap bertempur. Sebab sesudah sanksi ekonomi Dewan Keamanan PBB dijatuhkan pun, Khmer Merah yang telah membentuk partai baru, Partai Persatuan Nasional Kamboja, itu tetap belum bersedia ikut pemilu. Mencium gelagat gawat ini Kontingen Garuda XII-B, yang tak lama lagi akan digantikan oleh Garuda XII-C yang pekan lalu sudah berangkat dari Indonesia, memperkuat bunker-bunker di sekitar markasnya. Dan atas perintah Jenderal Sanderson, pasukan Garuda XII-B sudah membentuk satuan pasukan reaksi cepat. Yuli Ismartono (Kompong Thom)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus