Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon berdering-dering di kantor Fatah di Ramallah, Tepi Barat, sekitar pukul satu dini hari, Kamis pekan lalu. Terdengar suara seorang laki-laki dari Gaza meminta saran apa yang harus dilakukan, karena markas Fatah di Gaza dikepung milisi Hamas yang siap menembak siapa saja yang ada di dalam markas itu. ”Apakah kami harus menyerah pada Hamas atau melanjutkan bertempur hingga mati?” kata pria itu.
Seorang pejabat senior Fatah menjawab dengan hati-hati: ”Anda yang bertanggung jawab. Lakukan apa yang anda kira paling baik.”
Komandan Fatah di Gaza sebenarnya ingin berbicara langsung dengan Ketua Fatah yang juga Presiden Palestina, Mahmud Abbas, meminta izin menyerah pada Hamas sejak mereka kehabisan amunisi. Tapi, kening Abbas sedang berkerut memimpin rapat pimpinan Fatah di Ramallah, membicarakan bentrokan terburuk antara Fatah dan Hamas itu.
Beberapa menit kemudian, telepon kembali berdering, juga dari Gaza. Kali ini pejabat Fatah di Ramallah sadar semuanya sudah berakhir. ”Jika anda membolehkan mereka masuk, jangan biarkan mereka mengambil senjata. Masukkan semua roket dan senjata di lantai bawah. Bakar semua lantai dan mobil. Jika anda tertangkap, jangan biarkan ditelanjangi,” katanya.
Setelah milisi Hamas memperingatkan Fatah, Hamas menyerang markas keamanan Fatah di Kota Gaza, dan menyatakan kawasan utara Gaza sebagai ”zona militer tertutup”. Sekitar 200 milisi Hamas mengepung markas Fatah itu, menghujaninya dengan mortir dan granat. Padahal, ada sekitar 500 aparat keamanan Fatah di markas itu.
Serangan Hamas tak terbendung. Ketika anggota Fatah bergelimpangan tewas dan luka parah, sang komandan menyerah. Semua markas pasukan keamanan di Jalur Gaza di bawah kontrol Brigade Ezzedine al-Qassam,” ujar Abu Obeida, juru bicara sayap militer Hamas ini.
Menurut Abu Zuhri, Hamas menjadikan markas Fatah sebagai sasaran ka-rena gedung itu digunakan untuk menyiksa dan mempermalukan pengikut Hamas. Tapi, pejabat Fatah selama ini membantah tuduhan itu. ”Apa yang kami sedang kami lakukan adalah mengoreksi situasi keamanan di Gaza,” ujar Zuhri.
Saling serang terjadi antara Hamas dan Fatah di Gaza dan Tepi Barat. Setelah pemimpin senior Fatah di utara Gaza, Jamal Abu al-Jediyan, terbunuh, Senin pekan lalu, Pasukan Elite Kepresidenan yang dilatih Amerika menembakkan roket ke rumah Perdana Menteri Ismail Haniyeh di kamp pengungsi Shati dekat Kota Gaza. Satu jam kemudian, sayap militer Hamas menembakkan enam mortar ke kantor kepresidenan Mahmud Abbas di Tepi barat. ”Hamas sedang melakukan kudeta militer terhadap Otoritas Palestina,” ujar juru bicara Fatah, Taufik Abu Khussa.
Petugas medis menyatakan, sekitar 30 orang tewas pada Kamis itu, sehingga menambah jumlah korban tewas sekitar 110 orang dalam enam hari bentrokan paling parah antara milisi Fatah dan Hamas di Jalur Gaza. Milisi Hamas sepenuhnya menguasai Gaza. ”Apa yang terjadi di Gaza adalah pembebasan kedua Jalur Gaza dari segerombolan kolaborator (Israel) setelah pembebasan pertama dari segerombolan pemukim (Israel) pada 2005,” ujar juru bicara Hamas, Abu Zuhri.
Kabar jatuhnya markas Fatah di Gaza itu segera mengubah keputusan Presiden Mahmud Abbas yang semula akan menyerahkan pasukan keamanan Palestina di bawah kendali kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Ismail Haniyeh dari Hamas. Keputusan Abbas ini dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik Fatah dan Hamas. Kamis sore, Sekretaris Otoritas Palestina Tayeb Abed al-Rahim mengumumkan pada media keputusan Presiden Abbas membubarkan kabinet, dan sekaligus memecat sang perdana menteri. Abbas menyatakan negara dalam keadaan darurat karena perang kriminal di Jalur Gaza dan kudeta militer.
Hingga Jumat malam pekan lalu, sebuah nama muncul sebagai calon perdana menteri yang akan menggantikan Haniyeh dalam pemerintahan darurat itu. Da bukan anggota Fatah, bukan pula Hamas. Ia Salam Fayyad, bekas menteri keuangan, mantan eksekutif Bank Dunia yang punya hubungan bagus dengan negara-negara Barat. Belakangan, negara-negara Barat memilih berbicara dan berurusan dengan Fayyad, dengan tujuan melangkahi pemerintah Hamas (lihat Mengucilkan Hamas).
Semua tindakan Abbas didukung Amerika lewat pernyataan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice sembari menuding Hamas melakukan tindakan teror terhadap rakyat Palestina. Abbas yang juga pernah menjabat perdana menteri dan melucuti kekuasaan Presiden Yasser Arafat ini menyatakan akan menggelar pemilihan parlemen.
Perdana Menteri Haniyeh menolak keputusan Abbas mentah-mentah. Haniyeh ngotot memimpin pemerintahan persatuan yang terbentuk tiga bulan lalu sebagai hasil kesepakatan Fatah dan Hamas di Mekkah, Arab Saudi. Haniyeh menyalahkan Fatah karena menyalahgunakan kekuasaan dan menyiksa kelompok Islam. ”Mereka (Fatah) mendorong rakyat bereaksi,” ujar Haniyeh. Ia meminta milisi Hamas mengekang diri dan menawarkan pembicaraan. ”Saya menyerukan dimulainya segera dialog nasional yang komprehensif,” katanya.
Namun, kekacauan masih terus berlangsung. Muncul ketakutan aksi Hamas akan menyebar ke Tepi Barat. Tepi Barat merupakan daerah dominasi Fatah, sedangkan Gaza wilayah Hamas. Maka, Fatah yang menguasai wilayah itu tak mau ambil risiko. Aparat keamanan Fatah mengurung sekitar 30 milisi Hamas dan memperlakukan mereka sebagai milisi illegal.
Milisi Fatah yang marah melemparkan perabotan dari jendela lantai tiga gedung parlemen Palestina di Ramallah, dan kemudian membakar kantor tiga anggota parlemen Hamas. Seorang aktivis Hamas tewas ditembak di Nablus. Brigade Martir Al-Aqsa yang berafiliasi dengan Fatah menyatakan bertanggung jawab.
Hari Jumat, keadaan di Gaza berangsur-angsur kalem. Kendaraan mulai memenuhi jalan-jalan raya, toko-toko mulai buka. Dan Hamas mengeluarkan pernyataan bahwa mereka baru saja membebaskan beberapa komandan Fatah dan Keamanan Nasional yang sebelumnya ditahan. ”Amnesti,” cetus seorang pejabat Hamas. Sisa-sisa pertempuran seolah-olah menguap begitu saja. Yang membedakannya dengan hari-hari normal hanyalah keberadaan
sejumlah anggota sayap militer Hamas pada posisi-posisi strategis: di kompleks kepresidenan, kantor-kantor polisi, dan gedung-gedung pemerintah.
Semua yang terjadi di Gaza diamati dengan tenang dari balik perbatasan oleh Israel. Perdana Menteri Ehud Olmert tak memberikan komentar sama sekali. Seorang sumber di kantor perdana menteri menyatakan, sejauh penyeberangan di perbatasan Erez dan Karni tak jatuh ke tangan Hamas sehingga bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Gaza. Israel tak akan bereaksi.
Tapi Israel sejatinya tak sepenuhnya berdiam diri. Israel membantu Fatah di balik layar dengan memenuhi permintaan senjata Fatah di Tepi barat. Anehnya, militer Isreal tetap melanjutkan serangan dan penangkapan terhadap militan Palestina termasuk memburu anggota Brigade Al-Aqsa, milisi yang berafiliasi dengan Fatah di Tepi Barat.
Abbas yang kehilangan kontrol di Jalur Gaza kini menguatkan kekuasaannya di Tepi Barat seraya memimpin rapat-rapat maraton untuk menyiapkan kabinet sementara. Namun, siapa pun tahu, tindakan Abbas ini akan membuka jalan bagi dua pemerintahan Palestina: satu di Gaza, satu lagi di Tepi Barat. ”Fatah dan Hamas membawa kami ke kematian dan kehancuran,” ujar Ayya Khalil, penduduk Gaza.
Raihul Fadjri (Guardian, Washington Post, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo