Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINGIN menggigit tulang di Entikong, selepas subuh Kamis dua pekan lalu. Toh kota kecil di Kecamatan Balai Karangan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat itu mulai terjaga oleh suara deruman bus-bus penumpang yang baru tiba dari Pontianak, merapat di depan pos perbatasan. Para penumpangnya turun, mencari sarapan atau hanya menyeruput secangkir kopi, menunggu gerbang perbatasan dibuka.
Dalam beberapa tahun terakhir, pos di perbatasan Entikong (Indonesia)-Tebedu (Malaysia), tujuh jam perjalanan dari Pontianak, menjadi salah satu pintu masuk penyelundup mobil. Setiap bulan, belasan mobil haram melintas ”aman”. Sebagian besar mobil built up alias diimpor utuh—yang harganya di pasaran rata-rata Rp 300 juta. Pesuruh Jasa Police Kitinjen Serawak, Malaysia, Deputy Komander Police Dato Talib Bin Jamal, membenarkan penyelundupan itu. ”Setiap hari 15 mobil curian di Malaysia dan Brunei masuk Indonesia,” katanya pekan lalu.
Selang satu jam, pintu pos perbatasan Entikong-Tebedu dibuka, dan loket imigrasi ramai diserbu antrean orang yang ingin menyeberang. Tempo, dan seorang kawan yang tahu benar seluk-beluk penyelundupan mobil di sana, terselip dalam antrean bersama para pekerja musiman, pedagang kelontong, dan pekerja klub malam di Serawak. Kawan ini, panggil saja Ringo, mengingatkan agar menukar semua rupiah dengan ringgit. ”Orang Malaysia tak mau menjual mobil dibayar rupiah,” ujarnya.
Baru saja menjejak Terminal Terbangkang di Serawak, dua lelaki melambaikan tangan kepada Ringo. Keduanya memperkenalkan diri sebagai Hengky dan Along, dan mengajak masuk ke mobil Toyota Harrier berwarna keperakan yang mereka bawa. Ringo berbisik, mobil tahun 2001 itu akan dilego 25 ribu ringgit (sekitar Rp 65 juta).
Di Jakarta, dengan harga ”kosong” alias tanpa surat, mobil itu bisa laku Rp 150-an juta. Kalau mau pakai surat lengkap, harganya naik sampai Rp 300-an juta. Peminatnya selalu rame. ”Mulai dari pengusaha, pengacara, anggota legislatif, sampai jenderal tentara dan polisi,” kata Ringo.
Hampir semua merek dan jenis mobil mewah curian bisa disediakan dalam beberapa hari di Entikong. Pokoknya: ada uang ada barang. Sebutlah Kijang Innova, Honda CRV, Toyota RAV4, Ford Hailux, BMW seri 7, Mercy New Eyes, Toyota Harrier, Toyota Land Cruiser Cygnus, Lexus, Ninja, Toyota Prado, Mitsubishi Pajero.
Sindikat bisnis penyelundupan mobil di Serawak biasa dipanggil samseng. Julukan yang awalnya diberikan kepada para preman atau penagih utang. Merekalah yang ”memetik” dan memasarkan mobil curian itu. Sering kali kerja sama dijalin dengan agen penjual mobil atau pemiliknya sendiri.
Di Malaysia, orang wajib membeli mobil dengan sistem kredit yang dilengkapi asuransi. Namun, begitu pembayaran mulai seret, mereka sengaja ”menghilangkan” mobilnya sendiri untuk mendapatkan klaim asuransi berikut hasil penjualannya. Dato Talib juga membenarkan modus ini. ”Sebagian besar pemilik kereta memang menginginkan klaim asuransi,” katanya.
Mobil yang sengaja diselundupkan untuk klaim asuransi biasanya masih mulus, dan si sopir masih memegang surat aslinya. Sedangkan mobil curian, atau rampasan, bisa dikenali dari beberapa perlengkapan yang rusak, seperti kunci starter, kaca pecah, atau bagian lain yang sudah diganti. Tentu saja surat-suratnya juga sementara.
Kalau modusnya ”dihilangkan” demi klaim asuransi, mobil biasanya gampang melewati pemeriksaan di pos Tebedu-Entikong, karena surat resmi dipegang sopir, dan bisa kembali lagi dengan selamat bila jual-beli gagal. Sedangkan untuk mobil curian, sindikat sudah mengatur semua urusan. ”Dijamin lolos pemeriksaan, asalkan harga sudah sepakat,” kata Ringo.
Bila berhadapan dengan pembeli baru, samseng selalu meminta kesepakatan harga, dan uang panjar 50 persen diberikan di kawasan Malaysia atau paling jauh di pos perbatasan Tebedu. Sisa pembayaran bisa dilunasi di mana saja atau dikirim melalui rekening bank antarnegara.
Siang itu Ringo masih menunggu mobil idamannya, Toyota Land Cruiser Cygnus, jenis mewah yang dihargai tak kurang dari Rp 1 miliar di Jakarta. ”Kami sepakat harganya Rp 220 juta,” kata Ringo. Mobil yang katanya dicuri dari seorang pengusaha di Brunei itu dengan gampang bisa laku Rp 300 juta di Jakarta. Tapi, setelah dua hari menunggu, sang Cygnus tak kunjung muncul.
Menurut Ringo, mobil itu sempat ditembak polisi dalam kejar-kejaran ke perbatasan, sehingga terpaksa diinapkan di hutan Serian, dekat perbatasan. Esoknya Ringo memberi kabar, saatnya kembali ke Pontianak dengan mobil yang ada di tangan. Setelah menunggu di pos imigrasi Entikong, dua pria penjemput datang lagi dengan mobil Harrier itu. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan Ringo, keduanya masuk ke kantor imigrasi.
Benarkah yang dikatakan Ringo soal surat kendaraan yang bodong tidak pernah jadi masalah? Sejam kemudian, kedua orang itu keluar dan menyerahkan beberapa dokumen kepada Ringo. Dalam dokumen tertulis Formulir Memandu Impor dan Re-ekspor Kereta Bermotor, yang dikeluarkan pemerintah Malaysia, sebagai pernyataan keluar-masuknya mobil melewati perbatasan.
Entah kembali atau tidak, mobil-mobil itu tak pernah ditanyakan lagi kepada pemiliknya. Ringo lalu membuka tasnya, dan menyodorkan uang 25 ribu ringgit. Tak berapa lama, Tempo melihat mobil itu berikut dua penumpangnya berlalu perlahan melewati pos Entikong, dan meluncur dengan tenang di jalan aspal menuju Pontianak.
Pekan lalu Tempo kembali mendapat tawaran mobil. Penjualnya Udin dari Balai Karangan, dekat Entikong. Ia mengabarkan, satu Ford Everest 2005 siap dilepas dengan harga Rp 60 juta. Di pasaran harganya masih Rp 100-an juta. Tapi para penyelundup biasanya ogah berurusan dengan mobil ”kacang goreng” macam Ford Everest ini, karena margin labanya terlalu tipis. Sekali menjual, Udin mengaku mengantongi Rp 5-10 juta.
Udin berkukuh surat mobilnya asli. Tentu saja surat yang dibilangnya asli itu juga palsu, karena dibuat belakangan. Bedanya dengan surat bodong yang lain, surat itu dikeluarkan polisi, dan segalanya sudah dicocokkan dengan kondisi mobilnya, sehingga sulit meragukan keasliannya.
Selain melalui pos Tebedu-Entikong, mobil haram masuk pula lewat jalur Badau-Kapuas Hulu dan Jagoi Babang, di Kabupaten Bengkayang. Di Jagoi Babang, nama Mahut dikenal sebagai bandar mobil paling top. Lelaki Dayak 40-an tahun itu juga populer di kalangan hamba wet, terutama polisi di Polres Bengkayang.
Untuk menghindari patroli polisi, Mahut memberangkatkan mobil pada dini hari, pukul satu sampai tiga. ”Kalau ada sinyal aman dari kawan-kawan bos, baru kami berangkat,” ujar seorang anak buahnya. Kawan mereka tak lain adalah para polisi. ”Saya tidak tahu berapa setoran ke polisi. Itu urusan bos,” ujarnya.
Tempat lain yang sudah lama menjadi surga penyelundupan mobil adalah Batam. Menurut Hanafi, seorang anak buah kapal, kapal pengangkut mobil-mobil itu berangkat dari Singapura pukul sembilan malam, melalui beberapa pulau kecil untuk menghindari polisi. Enam jam kemudian, muatan dibongkar di pelabuhan kecil yang tersebar di seantero Batam.
Seorang penyelundup mengungkapkan, ia harus membayar Rp 200 juta kepada polisi untuk setiap 100 mobil yang dibawanya. ”Mereka selalu minta dibayar malam itu juga, atau akan dibocorkan ke luar,” katanya. Dari dua perbatasan itu, perputaran uang di bisnis penyelundupan ini diperkirakan Rp 2 triliun per bulan.
Di Pontianak, Dino mengemudikan Kijang yang dibelinya dengan waswas. Surat tanda nomor kendaraan yang dipegangnya palsu. Buku bukti pemilikan kendaraan bermotor juga tak ada padanya. Mobil buatan 2003 itu memang dibelinya dari pasar gelap Rp 35 juta, sekitar setengah dari harga pasaran. Toh ia tak kapok berburu. Syaratnya, kini ia akan membeli mobil samseng yang suratnya dikeluarkan oleh kepolisian. Meskipun surat itu tetap bodong, ”Yang penting aman kalau ada razia polisi,” katanya.
I G.G. Maha Adi, Harry Daya (Pontianak), Rumbadi Dalle (Batam)
Dari Bodong Menjadi Bebas
DARI Kuching, Malaysia, hampir setiap hari mobil bodong masuk menerabas aturan menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Mobil hasil curian atau penipuan asuransi ini kemudian ”dicuci” di Indonesia, menjadi kendaraan legal. Karena harganya miring, siapa tak tergiur?
1. Berangkat dari Pontianak menuju Kuching, makan waktu tujuh jam perjalanan.
2. Bertemu dengan mafia mobil bodong di Malaysia, yang dikenal dengan sebutan samseng.
3. Dua jenis mobil di tangan samseng:
- Mobil bodong hasil rampasan atau curian dari Malaysia dan Brunei Darussalam.
- Mobil tarikan kredit yang dilaporkan hilang dicuri, agar mendapat klaim asuransi.
4. Contoh harga mobil
- Jip Lexus 2004 Rp 60 juta (di Jakarta Rp 200-300 juta)
- Ford Everest 2005 Rp 65 juta (di Jakarta Rp 150 juta).
- Land Cruiser 1998 Rp 128 juta (di Jakarta Rp 200-300 juta).
- Toyota Harrier 2001 Rp 65 juta (di Jakarta Rp 300 juta).
5. Setelah transaksi beres, mobil dibawa masuk melalui pintu lintas batas antarnegara Indonesia (Entikong) dan Malaysia (Tebedu).
- Mobil hasil kejahatan asuransi gampang melewati perbatasan karena memiliki surat resmi.
- Mobil bodong (curian atau rampasan) masuk lewat tiga jalur.
Entikong, di sini sudah ada mafianya yang mampu meloloskan mobil bodong ke Indonesia.
Badau, Kapuas Hulu.
Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Jagoi Babang (dari Pontianak empat jam perjalanan) melewati Polres Bengkayang dan Polres Mempawah. Mereka juga punya ”kawan dekat” di kepolisian.
6. Setelah lolos, yang diurus:
- STNK palsu Rp 3 juta, atau STNK sementara yang dikeluarkan polisi, Rp 8-13 juta. Ini untuk kebutuhan sementara.
- Mengurus surat resmi, mulai dari STNK hingga BPKB, nilainya Rp 40 juta.
7. Mobil sudah ”bersih”, menjadi legal dan bebas berseliweran.
Nurlis E. Meuko dan Hary Daya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo