Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkanlah sebuah gambar segi tiga. Ujung teratas di arah utara adalah Pulau Luzon di Filipina. Meluncur ke bawah di ujung barat ada perairan Berau, Kalimantan Timur. Masih di ujung bawah arah timur terletak Sulawesi Utara. Para ahli konservasi laut menyebut segi tiga ini sebagai ”jantung terumbu karang dunia”.
Di segi tiga ini, yang juga dikenal sebagai Zona Laut Sulu-Sulawesi (Sulu-Sulawesi Seascape), hiduplah hampir semua jenis terumbu karang di dunia. Perairan ini juga dikenal sebagai surga bermacam ikan. Termasuk ikan badut langka yang menjadi bintang utama dalam film kartun Finding Nemo.
Kekayaan bahari yang luar biasa itu kini cuma ada dalam cerita. Akhir bulan lalu, Tempo mengunjungi Pulau Manukan dalam lintasan segi tiga Sulu. Letak pulau ini sekitar lima kilometer dari pantai Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. ”Sekitar 85 persen terumbu karang di zona ini terancam rusak,” kata Evangeline Miclat, Koordinator Program Laut Konservasi Internasional dari Filipina.
Manukan masuk wilayah Taman Nasional Tunku Abdul Rahman di utara Kalimantan. Ada empat pulau lain di sana, yaitu Gaya, Mamutik, Sapi, dan Sulug. Seperti Manukan, pulau-pulau itu berpasir putih dengan pantai yang landai. Badan Promosi Pariwisata Malaysia menjual Manukan dan empat pulau itu sebagai tempat pelancongan terumbu karang. Di setiap pulau, pemerintah menyediakan perlengkapan snorkeling.
Tapi jangan harap bisa menemukan kemolekan terumbu karang beserta hewan bawah laut di gugusan pulau tersebut. Terumbu yang masih ”perawan” hanya terlihat jika kita berenang 50 meter lebih dari bibir pantai. Kurang dari itu, apalagi pada kedalaman satu-dua meter, hanya ada terumbu yang sudah hancur terinjak. ”Benar-benar tidak memuaskan,” kata Rochelle, turis asal Filipina.
Manuel, pemandu wisata yang menemani Tempo di pulau itu, menuturkan posisi terumbu karang semakin bergeser ke lepas pantai dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal kekayaan bawah laut di taman nasional itu dulu ramai dikunjungi wisatawan. Di masa itu, para pelancong tak perlu jauh-jauh berenang untuk melihat gugusan karang dan keindahan ikan badut.
Untuk mengurangi kerusakan, petugas taman nasional sebenarnya telah memasang pembatas wilayah snorkeling. Kawasan itu, yang mencakup 49 kilometer persegi, juga dibebaskan dari kegiatan penangkapan ikan. Tapi mengembalikan karang menjadi seperti sediakala bukan perkara mudah. Terumbu hanya tumbuh satu sentimeter dalam setahun. Bayangkan jika yang rusak adalah karang berukuran setengah hingga satu meter.
Kerusakan akibat aktivitas manusia memang sulit dihindari. Pariwisata—yang tidak memberikan pemahaman kepada pelancong agar tidak menginjak karang—hanya satu dari sekian banyak penyebab kerusakan. Penangkapan ikan dengan pukat harimau serta pemakaian alat peledak dan racun sianida turut menyumbang kerusakan hutan tropis di dasar samudra itu.
Kerusakan terumbu berdampak langsung pada masyarakat di sekitar pesisir yang mengandalkan hidup dari laut. Ikan-ikan tangkapan nelayan mencari makan di area terumbu. Hilangnya terumbu karang berarti hilang pula populasi ikan, seperti yang terjadi di perairan Berau, Kalimantan Timur.
Para nelayan mengeluhkan hasil tangkapan yang kian minim. ”Kalau mau dapat lebih banyak, mereka harus melaut lebih ke tengah. Jika dulu cukup setengah hari, kini perlu satu hari penuh,” kata Hirmen Syoftanto dari The Nature Conservation. Penggunaan peledak dan racun merupakan penyebab kerusakan tersebut.
Perairan Berau, yang antara lain meliputi pulau Derawan, Maratua, dan Sangalaki, merupakan daerah tujuan wisata utama di Kabupaten Berau. Kawasan ini merupakan tempat yang paling banyak disinggahi penyu hijau dan penyu sisik—dua hewan langka dan dilindungi—yang hendak bertelur. Sebelum dan sesudah bertelur, biasanya penyu mencari makan di daerah terumbu karang.
Ancaman lain terhadap kekayaan bawah laut itu datang dari pemanasan global. Suhu air laut yang meningkat membuat terumbu karang mengalami pemutihan dan mati perlahan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melaporkan, pemutihan karang berlangsung sejak 1983 di Selat Sunda, Kepulauan Seribu, dan Karimun Jawa. Mulai 1998, pemutihan terjadi dalam skala luas di 55 negara.
Karang hanya dapat hidup pada suhu 20-30 derajat Celsius. Itu sebabnya karang terkonsentrasi di perairan hangat di dekat garis khatulistiwa. Jika suhu sudah melebihi batas tersebut, karang akan mengalami pemutihan. Tingkat sinar ultraviolet yang terlalu tinggi juga memicu kerusakan serupa. Sinar itu membunuh alga zooxanthellea yang memberi warna pada karang. Tanpa alga, karang tak dapat bertahan lama dan tak lagi memikat ikan-ikan.
Dalam publikasinya, Badan Kelautan dan Cuaca Amerika Serikat menyebutkan kerusakan terumbu karang di sekitar perairan Kalimantan tak lepas dari dampak penggundulan hutan. Erosi lahan gundul mengirimkan material yang mengendap di muara sungai hingga jauh ke lepas pantai. Terumbu karang pun mati karena tak mendapat cahaya matahari.
Dengan berbagai ancaman itu, ”jantung” terumbu karang dunia tersebut akan berdegup kian lemah. Ikan-ikan, termasuk Nemo si ikan badut, kehilangan tempat mencari makan. Dan bisa-bisa mereka sekarat lebih cepat.
Adek Media
Ekosistem Tertua
Terumbu karang merupakan gabungan karang yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lain. Gerombolan hewan tak bergerak ini tergolong ekosistem tertua di bumi. Pembentukan terumbu karang memerlukan waktu 5.000-10.000 tahun. Umumnya terumbu yang ada saat ini berusia lebih dari 10 ribu tahun.
Karang pembentuk terumbu tersebut merupakan kumpulan hewan yang disebut polip. Tak bertulang belakang dan masih tergolong kerabat ubur-ubur, polip memiliki mulut yang dikelilingi tentakel dan menyengat. Fungsinya untuk menangkap plankton. Hewan ini berkembang biak secara seksual dan membelah diri.
Fungsi Terumbu Karang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo