Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPULAN asap rokok meliuk di sela jemari Halida, 45 tahun. Wajah wanita berdarah Arab itu menyiratkan ketegangan. Rambut ikalnya, kendati dijepit di bagian tengah, terlihat berantakan. Isapan rokok tak membuatnya lebih tenang di depan penyidik dari Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta yang memeriksanya, Selasa pekan lalu.
Sesekali wanita yang mengenakan kemeja hitam sesiku itu menoleh ke arah kiri belakang. Di sana duduk Adnin Hasan, 35 tahun. Halida, yang biasa dipanggil Ida, seakan berharap pria tegap berkumis yang memakai kaus krem itu melindunginya. Tapi ia harus menelan kecewa. Adnin sendiri tampak lesu dengan wajah menekuri lantai.
Ida dan Adnin merupakan anggota komplotan pembunuh Barkah Hanni dan sopirnya, Rahmat. Mereka ditangkap di daerah Cakung, Jakarta Timur, pada 15 Februari lalu. Tersangka lain adalah Matlub Subono dan Leo Hasibuan, yang sudah ditangkap lebih dulu.
Kasus itu menarik perhatian publik lantaran Hanni, 45 tahun, adalah istri Abdurrahman Pellu, Direktur Operasi Badan Intelijen Negara (BIN). Mayat sang istri dan sopirnya ditemukan pada Minggu sekitar pukul 04.00, dua pekan lalu. Mereka berada dalam mobil Mitsubishi L-300 yang pecah kaca depannya dan berhenti di tepi Jalan Raya Setu, Bintara Jaya, Bekasi. Hanya terpaut 15 meter dari jalan tol Cakung-Cilincing. Sekilas keduanya seperti korban kecelakaan lalu lintas.
Sewaktu ditemukan oleh Achyar, seorang tukang ojek, kondisi mayat sungguh menyedihkan. Bagian kepala Hanni, yang juga berdarah Arab seperti Ida, retak akibat pukulan benda tumpul. Di bagian dada ada bekas tusukan senjata tajam.
Kondisi jenazah Rahmat lebih mengenaskan. Belasan tusukan menghiasi dada, perut bagian kiri, lengan kiri, punggung, dan pinggang sopir malang itu. "Ada bekas pukulan palu di dahi laki-laki itu hingga menyerupai kubah," kata dr Mun'im Idris dari RS Cipto Mangunkusumo yang mengotopsi jenazah.
Tak ayal, polisi segera menduga keduanya menjadi korban pembunuhan, bukan kecelakaan lalu lintas. Dari identifikasi di lokasi penemuan mayat, polisi juga tak menemukan bercak darah. Terbit kecurigaan korban tak dibunuh di tempat itu. "Mereka dibunuh di tempat lain," kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bekasi, Komisaris Polisi Yudi Sinlaeloe.
Beruntung identitas mayat dapat cepat diketahui karena dompet dan tas korban ternyata masih lengkap, tak ada yang hilang. Di sana ditemukan kartu tanda penduduk dan telepon genggam milik Hanni, yang menjadi petunjuk bagi polisi untuk mengungkap kasus pembunuhan sadistis tersebut.
Dari telepon genggam, hari itu juga polisi melacak nomor-nomor telepon yang pernah dihubungi Hanni pada malam sebelum ia dihabisi. Di sana antara lain tertera nama suaminya, Abdurrahman Pellu, Siti, Neneng, dan Matlub Subono.
Pemeriksaan sejumlah saksi pun segera digelar. Hasilnya, polisi menduga korban terakhir berada di rumah Matlub Subono alias Bono, 63 tahun, di Jalan Kelapa Sawit Raya Blok AM No. 16, Kompleks Billy Moon, Jakarta Timur. Ketika diperiksa sebagai saksi, Bono mengatakan Hanni bersama dua anaknya memang datang ke rumahnya. Tapi ia telah meninggalkan rumahnya pukul 02.00 menuju ke rumah kawannya, Siti, di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Katanya, Hanni pergi hanya dengan sopirnya, sementara kedua anaknya yang masih kecil tidur di rumah Bono.
Keterangan berbeda diberikan Siti. Wanita itu mengatakan Hanni tak mungkin datang ke rumahnya. Soalnya, ia sendiri saat itu sedang menunggui anaknya yang terbaring sakit di RS Persahabatan, Jakarta Timur. Dan Hanni mengetahui hal itu.
Maka kecurigaan polisi kembali mengerucut ke arah Bono. Apalagi pada malam itu, dua anak Hanni menginap di rumah Bono. Agar lebih yakin, polisi mempelajari visum dokter. Menurut dokter, saat kematian korban kira-kira satu sampai dua jam sebelum jenazah ditemukan. Polisi kemudian mengarungi rute dari rumah Bono ke lokasi penemuan mayat. "Ternyata waktu tempuhnya plus-minus satu jam," kata Direktur Reserse Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Matheus Salempang.
Berbekal surat penggeledahan, polisi akhirnya mendobrak rumah yang sekaligus menjadi sanggar senam "Libra" itu. Dulu sanggar senam itu dikelola oleh almarhum istri Bono. Sekarang Luci, anaknya, yang melanjutkan. "Setiap Minggu di sana masih digunakan untuk kegiatan senam," kata Usman, ketua rukun warga di sana.
Ketika polisi memasuki rumah besar bercat cokelat muda itu, bau anyir samar-samar masih terendus. Di lantai dua, di ruangan yang berdinding kaca dan menjadi tempat kegiatan senam dan balet, polisi menemukan bekas percikan darah di dinding.
Hasil pemeriksaan di laboratorium forensik kepolisian menunjukkan golongan darah di dinding sama dengan golongan darah milik Rahmat. Bono tak bisa lagi mengelak. Saat diperiksa di Markas Polda Metro Jaya, pensiunan pelaut itu mengaku terlibat pembunuhan Hanni dan Rahmat. Bono juga menunjuk tiga pelaku lain, yaitu Ida, Adnin, dan Leo Hasibuan.
Tanpa kesulitan polisi segera mencokok Ida dan Adnin di rumah Ida di Kapling Blok A7 Nomor 16/17, Cakung, Jakarta Timur. Berikutnya polisi menangkap Leo Hasibuan yang masih tidur di rumah kontrakan Adnin di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Dalam tempo 24 jam, polisi berhasil memecahkan kasus tersebut.
Dari penuturan para tersangka, terkuaklah cerita penyebab terjadinya pembunuhan sadistis di sanggar senam itu. Syahdan, empat tahun lalu Bono meminjam uang Ida Rp 300 juta untuk berbisnis. Uang itu diperoleh Ida dari berbagai sumber, antara lain dari Hanni Rp 70 juta.
Hingga tahun lalu, utang itu telah beranak-pinak menjadi Rp 550 juta. Bagian Hanni sendiri berkembang menjadi Rp 110 juta. Untuk membayar utang, Bono berniat menjual rumahnya di kawasan Condet, Jakarta Timur, senilai Rp 1 miliar. Hanni berminat membeli. Lantaran Bono masih berutang Rp 110 juta, ia tinggal menambah Rp 890 juta lagi. Tapi, sampai batas waktu yang ditentukan, akhir 2004 lalu, Hanni tak bisa membayar.
Akhirnya Bono menjual rumah itu kepada orang lain. Hasilnya dipakai untuk membayar utang Rp 550 juta kepada Ida. Selanjutnya Ida membayarkan kepada sumber-sumber dananya, termasuk Hanni. Urusan utang selesai. Tapi Hanni, menurut mereka, masih kesal karena tak jadi memiliki rumah Bono dan terus memarahi mereka tiap kali bertemu. Sekadar kesal? "Begitulah menurut pengakuan mereka. Nyonya Hanni masih sering mengomel, dan mengatakan seharusnya rumah itu jadi miliknya," ujar seorang penyidik.
Kesal karena sering dimarahi, Ida dan Adnin memutuskan menghabisi nyawa Hanni. Untuk mewujudkan niat keji itu, Adnin menghubungi Leo, temannya semasa tinggal di Medan. Tentara aktif yang bertugas di Detasemen Markas Kodam Bukit Barisan itu diiming-imingi mobil Daihatsu Feroza dan sepeda motor asal mampu membunuh Hanni.
Adnin pula yang membayari tiket pesawat Leo untuk datang ke Jakarta tiga pekan lalu. Dan selama di Jakarta, Leo tinggal di rumah kontrakan Adnin di Rawamangun. Sejak Leo yang berpangkat prajurit kepala tiba di Jakarta, mulailah mereka mematangkan rencana jahat tersebut.
Lewat sejumlah pertemuan, akhirnya diputuskan eksekusi akan dilakukan di rumah Bono di Kompleks Billy Moon, Jakarta Timur. Ida lalu mengundang Hanni datang ke rumah Bono, Sabtu malam dua pekan lalu. Ketika itu dua orang anak Bono, Luci dan Dani, tak berada di rumah.
Tak dinyana, Hanni ternyata muncul bersama dua anaknya yang masih kecil dan seorang sopir. Toh mereka memutuskan tetap meneruskan rencana itu. Di dalam rumah Bono, mereka sempat berbincang di ruang tamu sampai kedua anak Hanni—Jihan dan Sarah—tertidur. Sementara itu Leo menanti di bagian belakang rumah.
Ida kemudian mengajak kedua anak Hanni beristirahat di kamar tidur. Jam terus berdetak. Sekitar pukul 00.00 rencana dijalankan. Hanni dipanggil ke belakang rumah. Tanpa curiga ia mengikuti. Di teras dekat taman di belakang rumah, Leo dan Adnin langsung menggebuk kepala Hanni dari belakang dengan kayu kaso. Setelah jatuh, kayu digunakan untuk menekan leher wanita malang itu hingga patah. Belum cukup, sebilah pisau dibenamkan ke dada Hanni. Ibu tiga anak itu pun tewas seketika.
Berikutnya giliran Rahmat yang sedang menunggu tuannya di dalam mobil. Sopir malang itu dipanggil ke dalam ruang tunggu senam yang merangkap garasi. Sesampai di sana ia langsung dikeroyok oleh Leo dan Adnin. Kali ini Bono ikut membantu. Pukulan kayu berulang kali melayang ke arah Rahmat. Tapi ia tak tinggal diam. Rahmat melawan serangan tersebut.
Melihat itu, para pembunuh makin memburunya. Serangan terus berdatangan. Tak hanya dengan kayu, melainkan juga dengan pisau. Rahmat terdesak sampai ke ruang senam di lantai dua. Di sana ia akhirnya menyerah. Para pembunuh menghabisinya dengan membabi buta.
Dalam pemeriksaan polisi, komplotan pembunuh mengaku sebetulnya tak berniat menghabisi Rahmat. Ia bernasib nahas karena setia menunggui tuannya di mobil. "Mereka tak mau ia jadi saksi kunci," kata Komisaris Yudi.
Sekitar pukul 01.30 mayat kedua korban diangkut pria-pria telengas itu ke dalam mobil Mitsubishi L-300Â bernomor polisi B 9272 AZ. Adnin mengemudikan mobil, sedangkan Leo mengikuti dari belakang dengan sepeda motor.
Mobil keluar dari Kompleks Billy Moon, masuk Jalan Raya Kalimalang. Di perjalanan, pisau yang digunakan para pembunuh dibuang ke sungai. Sesampai di bawah jembatan layang tol Cakung-Cilincing mobil belok kiri menyusuri Jalan Raya Setu. Di perempatan Bintara mobil memutar balik.
Seorang petugas ronda kampung, kata Komisaris Yudi, sempat melihat mobil itu kembali mengarah ke Kalimalang. Tapi, setiba di dekat gardu listrik, mobil berhenti. Di sana Leo dan Adnin memecah kaca mobil. Kemudian mobil ditinggalkan. Adnin dengan membonceng Leo kembali ke rumah Bono. Rupanya mereka ingin mengesankan, mayat Hanni dan sopirnya telah mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju rumah ka-wannya Siti di Cakung.
Terlibatnya Bono dalam kasus pembunuhan sadistis itu membuat tetangga-tetangganya terhenyak. Mereka mengenalnya sebagai pria berumur yang berkepribadian baik. "Dia rajin salat ke masjid," kata Kanti Rahayu, pemilik kedai makanan dan minuman di seberang rumah Bono.
Sehari-hari Bono kerap berbelanja ke warung milik Kanti. Ia biasa membeli rokok, telur, dan susu. Barang-barang itu biasanya ia bon dulu. Sebulan kemudian, Luci yang membayar. "Kalau ambil barang bisa Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu," ujar Kanti.
Menurut Kanti, Bono sering mengingatkannya jika kelak kaya agar tak lupa pada orang yang tak mampu. "Jangan lupa salat, ingat selalu pada Tuhan," kata Kanti menirukan nasihat Bono. Usman pun menilai Bono sebagai warga yang tak pernah berkasus di lingkungannya. "Enggak pernah ada keributan di rumah itu," ujarnya.
Usia Bono yang sudah sepuh juga membuat warga tak yakin ia benar-benar terlibat perbuatan kejam tersebut. "Didorong saja roboh kok," kata Partiningsih, tetangga yang lain. Tiga hari sebelum peristiwa, kepada beberapa tetangga, ia malah sempat mengutarakan niat membuat KTP seumur hidup.
Siapa menyangka Bono kini bakal menghabiskan usia senjanya di balik te-rali besi. Bahkan ada kemungkinan lebih buruk. Sesuai dengan tuntutan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai pembunuhan berencana, dia dan kawan-kawan bisa terancam hukuman mati akibat perbuatannya.
Nugroho Dewanto, Lis Yuliawati, Siswanto (Bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo