Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Kisah Racun Berkedok Pupuk

Sudah delapan bulan limbah beracun yang diimpor dari Singapura dibiarkan menggantung kasusnya. Padahal, racunnya sudah mengalir sampai jauh.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Kisah Racun Berkedok  Pupuk
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sebuah siang penuh kejut di Pulau Galang Baru. Pulau tak berpenghuni yang biasanya dibalut sepi, tiba-tiba kedatangan tamu istimewa: sebuah kapal besar, Winstar dari Singapura. Lambungnya tampak sarat tumpukan karung. Kapal itu merapat di sebuah dermaga sederhana, bukan pelabuhan yang resmi.

Segelintir nelayan terperangah dengan pemandangan ganjil itu. Apalagi, tak lama kemudian, keluarlah orang-orang bertubuh perkasa yang sibuk menurunkan karung-karung berat itu dan membawanya ke tengah hutan. "Satu karung, dua karung, tiga karung," seorang nelayan mencoba menghitungnya. Lama-kelamaan, nelayan itu kewalahan menghitung. Mungkin ratusan atau lebih dari seribu karung. Ada apa ini?

Dari cerita berantai para nelayan, kabar kapal misterius di Pulau Galang akhirnya sampai ke meja Muhammad Guntur, aktivis organisasi nirlaba Lintas Anak Negeri. Mereka pun bermobil sejauh 60 kilometer dari Batam dan menemukan seribuan karung yang, konon, isinya adalah pupuk organik, penyubur tanah. Guntur mengambil con-toh tanah yang ada di karung itu untuk diuji di laboratorium. Hasilnya, mencengangkan: tanah itu mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).

Temuan Guntur itulah yang kemudian membuat geger Batam. Diam-diam, pulau tetangga Batam itu ternyata dijadikan tempat pembuangan limbah dari tetangga dekatnya, Singapura. Ini memang bukan kasus pertama (lihat Limbah Datang dari Seberang), tapi jumlahnya membuat keder: 1.762 karung atau 1.149 ton. Impor itu dilakukan pada akhir Juli 2004 dan hingga kini kasusnya masih terkatung-katung. Padahal, kasus ini sudah berjalan delapan bulan. Karung-karung ini bahkan mulai melapuk dimakan usia. Banyak karung yang bolong dan membuat butiran pasir hitamnya berserakan di tanah.

Pemandangan itu membuat Dasrul Chaniago, Kepala Bidang Penanganan Kasus dari Kementerian Lingkungan Hidup, waswas. "Kerusakan karung itu sudah 50 persen," kata Dasrul. Racun logam berat yang ada di pasir itu, kata dia, bila terkena hujan bisa terlarut ke sumber air yang ada di hutan itu.

Pemerintah sebenarnya sudah menyurati pengimpor "pupuk racun" itu, yakni PT Asia Pacific Eco Lestari (APEL), yang berkedudukan di Batam. Namun, bos APEL itu menolak tudingan karung-karung itu berisi limbah B3. Mereka berkukuh bahwa karung-karung itu berisi pupuk organik. Sebagai bukti, di karung-karung itu memang terdapat banyak potongan ranting-ranting. Pupuk itu, kata mereka baru bisa dimanfaatkan setelah ditanam 10 tahun.

Dasrul tak mau menelan jawaban APEL begitu saja. "Ranting-ranting itu telah dioplos dengan limbah bahan beracun berbahaya!" katanya tegas. Dia tidak sembarang menuduh. Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengirim tanah yang diklaim sebagai pupuk itu ke dua laboratorium lingkungan independen, yakni Australian Laboratory Services di Bogor dan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Pemerintah Kota Batam juga menguji pupuk di laboratorium Sucofindo di Batam.

Hasilnya, senada: pupuk itu penuh dengan logam berat beracun. Ada seabrek racun pembunuh yang mematikan, yakni arsen, barium, boron, kadmium, kromium, tembaga, timbal, merkuri, selenium, perak, dan seng. Semuanya dalam jumlah yang berlimpah. Racun arsen yang bisa menyebabkan kanker paru-paru dan kematian cepat, misalnya, di pupuk itu konsentrasinya mencapai 135 bagian per sejuta (ppm). Seng, unsur yang dapat menyebabkan iritasi mata dan meracuni saluran pernapasan ini mencapai konsentrasi 2.120 ppm. Dengan penyimpanan yang sembarangan, logam-logam ini bisa menjadi racun yang mematikan.

Bahaya lain yang mengancam adalah bahaya radioaktif dari "pupuk" made in Singapura itu. Dalam uji yang dilakukan Batan ternyata bahwa di pasir-pasir asal Negeri Singa itu mengandung radiasi 100 kali di atas normal. Di sana ditemukan unsur Thorium 228, Radium 226, dan Radium 228. "Uji radioaktif ini kita lakukan karena curiga mengapa material harus dikubur, kenapa tidak dibiarkan di atas tanah?" kata Dasrul.

Dengan segepok bukti-bukti inilah Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar meminta sampah-sampah racun itu dipulangkan ke Singapura. Rachmat mengaku sudah beberapa kali menghubungi negeri kecil yang kaya raya itu. Namun, hasilnya nol besar.

Konsulat Singapura di Riau dan Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Singapura di Jakarta, Adrian Chun, terang-terangan menolak permintaan itu. "Bahan tersebut adalah pupuk yang menyuburkan tanaman di Pulau Galang Baru, Batam. Namun, setelah bahan tersebut diimpor ke Batam, Indonesia menyatakan bahan tersebut tergolong berbahaya menurut UU Indonesia dan Konvensi Basel," kata Adrian dalam surat pembaca yang dimuat di harian Ibu Kota.

Kasus ini bahkan sudah diperkarakan di Sekretariat Konvensi Basel yang mengatur urusan limbah berbahaya di Jenewa, namun Singapura masih berkelit. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melawat ke Singapura pekan silam, Rachmat juga menitipkan agenda ini untuk dibahas Yudhoyono dengan PM Singapura Hsien Loong, tapi belum ada kemajuan berarti.

Sang pengimpor limbah, PT APEL, juga belum terjerat hukum. "Pengimpornya ini memang licin," kata Rachmat Witoelar. "Kalau Anda nongkrong di tempat parkir di sana (gedung DPR), Anda akan ketemu dengan orangnya (pengimpor limbah)," kata dia sambil mengisap rokoknya.

Siapakah yang ditunjuk Rachmat? Sumber-sumber Tempo menyebutkan bahwa di balik impor tersebut ada nama Setya Novanto, bekas Wakil Bendahara Partai Golkar. "Itu bukan urusan saya lagi, itu dulu Setya Novanto minta tolong," kata Rudi Alfonso, Direktur Utama PT APEL, kepada Tempo. Selain Setya Novanto, Rudi juga menyebut Irawan Darsono sebagai pemilik seribu ton "pupuk berteknologi tinggi" itu. "Jadi, tanya kepada mereka berdua," kata dia.

Ketika Tempo menghu-bungi Setya Novanto melalui telepon, ia menepis tuduhan Rudi. "Saya sudah mundur dari komisaris PT APEL dua tahun lalu. Saya tidak tahu-menahu soal impor itu," ujarnya. Setya justru berbalik meminta Tempo bertanya kepada Rudi. "Dia kan pelaksananya di lapangan," katanya. Hingga berita ini diturunkan, Irawan Darsono tengah berada di Beijing.

Polisi sejauh ini belum memanggil importir maupun pemilik barang yang disebutkan Rudi. "Masih dalam penyelidikan dan tes laboratorium forensik di Medan," kata Kasat Reserse dan Kriminal Poltabes Barelang, Komisaris Polisi Susanto.

Karena lambannya polisi itulah, Dasrul selaku Kepala Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah menetapkan tiga orang dari Indonesia, masing-masing seorang manajer dan dua direktur PT APEL, dan seorang importir dari Singapura sebagai tersangka. Semuanya belum ditahan. Bahkan belakangan Freddy Boy, Direktur PT APEL, tak pernah nongol lagi di kantornya di lantai 3 ruang A3-33B, Mal Batam Center.

Sementara kasusnya masih terus menggantung, Pulau Galang Baru sudah mulai terkena getahnya. "Limbah ini harus segera dikeluarkan. Jangan terjadi seperti kasus (Teluk) Buyat," kata Guntur.

Wuragil, Rumbadi Dalle (Batam)


Bertumpuk-tumpuk Limbah Itu..

Impor limbah dari Singapura adalah satu pekerjaan rumah besar Kementerian Lingkungan Hidup. "Banyak sekali (kasus), tidak bisa dikerjakan dalam waktu semalam," kata bekas Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf.

Kesalahan tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kepada pemerintah Singapura, karena ada kalanya limbah beracun dan berbahaya itu memang sengaja didatangkan. Daftar berikut adalah rekaman perjalanan bau tak sedapnya sejak 1990:

November 1992 Sebagian dari 116 peti kemas asal pelabuhan Singapura, yang masuk sejak September ke Terminal Peti Kemas Tanjung Priok, ditemukan berisi limbah B3. Bobot total limbah mencapai 1.200 ton.

Juli 1995 Nota kesepahaman antara Singapura dan Indonesia mengenai perpindahan lintas batas limbah B3—mengambil prinsip-prinsip Konvensi Basel—ditandatangani di Jakarta.

Juli 1998 Keluarnya rekomendasi Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal, Panangian Siregar, yang mengizinkan Singapura mengekspor 40 juta meter kubik bahan buangan ke Riau sebagai media tumbuh mangrove di Teluk Pelambung, Tanjung Balai, Karimun.

April 1999 Setelah ditolak di Riau, Panangian merekomendasikan limbah dari Singapura itu dibuang ke Pangkalpinang, Sumatera Selatan.

Mei 1999 Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Pangkalpinang resmi menolak rencana penimbunan lahan dan rawa di wilayahnya dengan tanah galian impor dari Singapura.

Oktober 1999 Terbongkarnya kasus pasokan ribuan ton lumpur Singapura ke Pulau Bangka.

Desember 1999 Gubernur Riau Saleh Djasit SH mengizinkan impor limbah Singapura asalkan tidak mengandung B3.

Mei 2000 Pemerintah melalui Dirjen Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, Dr Rokhmin Dahuri, berencana menyewakan 2.000 pulau kecil di Indonesia yang tidak berpenghuni.

Juni 2000 Gagasan penyewaan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni itu pupus setelah melalui perdebatan pro dan kontra.

April 2001 Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau menyesalkan sikap Kantor Karantina Jakarta yang memberi izin kepada perusahaan dari Singapura untuk memasukkan limbah chip-wood (kayu serpih) ke Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau.

Wuragil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus