Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Baru-baru ini, aksi pembakaran Al Quran, diduga kuat sebagai wujud kebencian terhadap Islam kembali terjadi di Stockholm, Swedia. Peristiwa itu dilakukan oleh pemimpin partai politik sayap kanan Denmark Stram Kurs, Rasmus Paludan. Akibatnya, dia dikecam oleh sejumlah pemimpin tinggi dunia karena telah melukai perasaan umat Islam.
Pembakaran Al Quran Wujud Islamophobia
Aksi Paludan yang membakar kitab suci Al Quran pada Sabtu, 21 Januari 2023 itu disebut-sebut telah didukung oleh otoritas Swedia dengan dalih kebebasan berekspresi. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, hal itu bertentangan dengan Resolusi PBB tahun 2022 tentang Memerangi Islamophobia.
Rasmus Paludan sebelumnnya pernah dipenjara selama satu bulan pada tahun 2020 karena sejumlah pelanggaran termasuk rasisme di Denmark dan juga telah berusaha merencanakan pembakaran Al-Quran di negara-negara Eropa lainnya, termasuk Prancis dan Belgia. Foto : Instagram
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Oleh karena itu, MUI mengajak pemerintah dan warga Swedia untuk menghormati dan melaksanakan Resolusi PBB tentang Memerangi Islamofobia dan tidak menjadi bagian dari islamophobia serta tidak melindungi pelakunya,” kata Ketua MUI, Sudarnoto dikutip dari Antara.
Baca : Anggota Parlemen Kuwait Mengutuk Pembakaran Al Quran di Swedia
Asal-usul Islamophobia
Terlepas dari dinamika aksi pembakaran Al Quran di Swedia, menarik untuk ditelusuri bagaimana asal-usul islamophobia yang telah menjamur di seluruh dunia sebagai wujud kebencian terhadap Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat Kajian Ras dan Gender, Universitas California-Berkeley menjelaskan, istilah “Islamofobia” pertama kali muncul sebagai suatu konsep dalam sebuah laporan "Runnymede Trust Report” tahun 1991. Ini didefinisikan sebagai permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam.
Dengan kata lain, islamophobia dimengerti sebagai ketakutan atau kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam. Istilah ini diciptakan dalam konteks umat Muslim Inggris khususnya dan Eropa umumnya, dan dirumuskan berdasarkan kerangka “xenofobia” (ketakutan dan kebencian terhadap orang asing) yang lebih luas.
Dilansir dari buku Islamofobia, laporan Runnymede Trust Report merujuk pada sejumlah sikap yang lahir dari serangkaian pandangan berikut ini:
- Islam adalah agama yang monolitik dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan realitas-realitas baru.
- Islam tidak punya nilai-nilai yang sama seperti yang diajarkan agama-agama besar lainnya.
- Islam merupakan agama inferior menurut pandangan Barat. Maksudnya, islam adalah agama yang kuno, biadab, dan tidak rasional.
- Islam dipahami sebagai agama kekerasan dan mendukung terorisme.
- Islam adalah ideologi politik yang buas.
Disebutkan dalam salah satu buku karya Karen Armstrong, islamofobia merupakan suatu bentuk prasangka yang direkayasa maupun ketakutan yang salah satunya dipicu oleh struktur kekuasaan global. Seperti diketahui, saat ini kuasa dipegang oleh Eropa dan Orientalis.
Seiring waktu, ketakutan atau prasangka ini diarahkan pada isu ancaman orang-orang Islam. Hal tersebut mencakup usaha mempertahankan dan memperluas pelbagai kesenjangan yang ada di dalam hubungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Hingga pada akhirnya, aksi kekerasan dianggap perlu digunakan sebagai cara untuk melakukan pembenahan peradaban. Sasarannya, tidak lain komunitas-komunitas umat Muslim atau yang lainnya. Salah satunya tercermin dari aksi pembakaran Al Quran di Swedia pekan lalu.
HARIS SETYAWAN
Baca juga : Demo di Kedubes Iindia, Massa Aksi Bela Nabi Serukan Setop Islamofobia
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.