SEBUAH perahu mendarat di sebuah pantai. Tampak para pendorongnya, dari pakaian mereka, bila bukan petani, ya nelayan Melayu. Tiba-tiba mereka semua kaget, Mereka mendarat di sebuah kawasan yang direncanakan untuk industri. Sebuah papan nama memberitahukan tentang itu. Karikaturis Malaysia ternama itu, Lat, di sebuah edisi New Straits Times pekan lalu, mencoba menggambarkan betapa industrialisasi di Malaysia tak terduga oleh rakyatnya sendiri. Memang, ketika pada tahun-tahun pertama Mahathir Mohamad menjadi perdana menteri, 1980-an, Malaysia tak terkecuali terkena resesi kala itu. Pertumbuhan ekonomi menurun. Dampaknya terasa sekali sekitar pertengahan 1980-an. Menurut buku Southeast Asian Affairs 1987, tahun 1984 Malaysia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonominya. Tahun itu pertumbuhan tercatat lebih dari 7,5%. Tapi tahun berikutnya, 1985, angka itu anjlok di bawah nol: yakni sampai minus 1%. Kala itu, 1985, pendapatan per kepala di Malaysia hanya sedikit lebih dari US$ 1.400. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya angka itu adalah US$ 2.000, sebagaimana dicatat oleh Gordon P. Means dalam Malaysian Politics The Second Generation. Itulah hasil konsep "Melihat ke Timur"-nya Mahathir. Di permukaan, konsep ini dilihat orang merupakan manifestasi semangat anti-Barat dan pro-Melayunya Mahathir. Tapi menurut para ekonom, ini sebenarnya sebuah keputusan politik-ekonomi. Mahathir ingin agar etos kerja di Jepang dan Korea Selatan menular ke Malaysia. Caranya, meningkatkan kerja sama ekonomi Malaysia dengan kedua negara itu. Sejumlah proyek besar diserahkan pada kontraktor Jepang dan Korea Selatan. Jembatan yang menghubungkan Penang dengan Jazirah Malaysia, termasuk jembatan terpanjang di dunia, senilai US$ 233 juta adalah hasil pekerjaan orang Korea. Orang Jepang memperoleh proyek membangun markas besar partainya Mahathir, UMNO. Selain itu, pabrik mobil pertama di Malaysia, Proton Saga, merupakan pabrik patungan Malaysia-Jepang. Di sisi lain, Jepang dan Malaysia teken kontrak untuk mengimpor minyak Malaysia dalam jangka panjang. Lalu, dengan kemudahan investasi, modal asing pun masuk. Dalam kuartal pertama tahun ini, misalnya, total modal Jepang, Singapura, AS, Inggris, Taiwan, Jerman, dan Korea Selatan, mencapai lebih dari 70% dari nilai perdagangan dalam negeri seluruhnya. Dibandingkan dengan Indonesia dan Muangthai, infrastruktur, buruh terdidik dan terlatih di Malaysia memang lebih menang. Hasilnya, hampir 125.000 lapangan kerja terciptakan dalam tengah tahun pertama tahun lalu. Dinas Intelijen Amerika CIA pada tahun 1984 sudah meramalkan Malaysia bakal muncul sebagai negara industri, menyusul Korea Selatan. CIA tepat. Lihat, awal 1990 Malaysia mencatat kemajuan luar biasa. Ini tercermin dari angka pendapatan per kepalanya. Pada tahun 1980-an, angka tertinggi ada US$ 2.000, sedangkan tahun 1990 angka itu menjadi lebih dari US$ 2.300. Memang angka itu masih ketinggalan dibandingkan dengan pendapatan per kepala di Singapura yang lebih dari US$ 11.000 itu. Tapi itu lebih dari pendapatan per kepala di Indonesia, yang hanya US$ 570 untuk tahun itu. Angka-angka itu juga punya kaitan yang lain. Yakni, jumlah orang Malaysia yang hidup di bawah garis kemiskinan pun turun. Uahun 1970-an mereka yang papa itu sekitar 37%. Menjelang tahun 1990, tinggal tercatat 15%. Tak lalu potret bagus itu tanpa cacat. Di negeri yang komposisi penduduknya adalah hampir 60% Melayu, hampir 30% keturunan Cina, sekitar 10% keturunan India, dan sisanya etnis lain-lain ini, persaingan ekonomi bisa menyulut kecemburuan. Porsi kue keuntungan ekonomi terbesar memang masih dipegang oleh keturunan Cina. Kebijaksanaan swastanisasi Mahathir yang mengutamakan Melayu sedikit mengangkat kaum mayoritas ini. Kini sudah sekitar 20% saham usaha, dari keseluruhannya, dipegang Melayu. Target Mahathir, 30%. Cuma, untuk sampai ke angka 20% itu, ada batu sandungannya. Oktober 1987, meletus rasialisme Cina-Melayu. Itu tampaknya memang dikondisikan oleh Kebijaksanaan Ekonomi Baru yang dicanangkan jauh sebelum Mahathir menjadi perdana menteri, tahun 1960-an. Kebijaksanaan itu memprioritaskan orang Melayu untuk meningkatkan ekonomi mereka. Konon, sebagian alasan politik itu bisa diterima oleh etnis yang non-Melayu. Umapamanya, itu diperlukan karena orang Melayu mengalami perlakuan tak adil di zaman kolonial. Kemudian alasan bahwa politik Malaysia memerlukan keharmonisan sosial, maka perbedaan mencolok antara etnis Melayu dan Cina perlu dijembatani. Tapi perwujudan konsep itu sehari-hari membuat non-Melayu frustrasi. Umpamanya, seseorang diterima di tempat kerja karena ia Melayu, sedangkan pelamar yang lebih mampu ditolak karena ia bukan Melayu. Ini makin mencolok pada zaman Mahathir. Masalahnya, kebijaksanaan "Melihat ke Timur" ternyata punya ekses mengekstremkan Kebijaksanaan Ekonomi Baru tadi. Kondisi itulah yang menyebabkan konflik kecil di Penang lalu bisa meledak menjadi kerusuhan rasial. Di Penang, pulau seluas 285 kilometer persegi (lebih besar sedikit dari separuh DKI Jakarta) sejak dulu merupakan kawasan turis internasional. Orang-orang Cina merupakan penduduk mayoritas. Suatu hari tahun 1987 itu Pemerintah Kuala Lumpur menempatkan 36 orang Melayu yang tak paham bahasa Cina sebagai kepala di sekolah dasar berbahasa Cina di Penang. Muncul protes dari asosiasi sekolah Cina, para guru, orang tua, hingga penduduk. Di Penang ada 15 perhimpunan Cina. Protes itu berkelanjutan menjadi aksi mogok di Penang, Melaka, Selangor, dan Kuala Lumpur. Tuntutan sekolah-sekolah Cina itu: 36 kepala sekolah yang tidak mengerti bahasa Cina itu dipindahtugaskan. Masalahnya menjadi besar setelah partai golongan Cina, MCA (Asosiasi Cina Malaysia) menyatakan mendukung aksi mogok itu. Padahal, MCA adalah salah satu partai yang menyatakan mendukung program Kebijaksanaan Baru Ekonomi itu. Lebih celaka lagi setelah ada bukti-bukti kuat bahwa Lee Kim Sai, menteri perburuhan yang juga deputi ketua MCA, secara pribadi terbukti mendukung pemogokan. Gawatnya soal ini sampai membuat Kim Sai boyong ke Australia beserta keluarganya. Mahathir, yang merasa dijegal, bertindak keras. Sekitar 100 orang ditahan. Mereka bukan orang sembarangan, ada pengacara, beberapa wartawan, antara lain. Konon, guna menjaga terlaksananya pembangunan ekonomi itu pula, Mahathir terpaksa melakukan pembredelan. Sejak naik kursi perdana menteri, Mahathir memang sudah berpendapat bahwa kebebasan pers hanyalah sebuah mitos dan itu tak diperlukan di Malaysia. Ia mencurigai bahwa pers mengubah berita sedemkian rupa bukan untuk membela demokrasi tapi supaya berita itu laku dijual, tulis Gordon Means, dalam bukunya Malaysian Politics itu. UU Pers yang didiskusikan pada tahun 1984 memang memuat pasal yang memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk melarang penerbitan yang dapat mengacau pendapat umum. Pers yang dianggap memuat berita bias diancam denda maksimal 20.000 ringgit, atau penanggung jawabnya terancam hukuman 3 tahun penjara. Segera saja jatuh korban. Wartawan senior surat kabar Watan ditahan atas nama ISA, UU keamanan dalam negeri. Ia dituduh menyebarluaskan info yang diperoleh dari kaum komunis dan pihak Uni Soviet. Korannya ditutup. Koresponden majalah terbitan Hong Kong, Far Eastern Economic Review, dituduh melanggar UU Kerahasiaan Negara. Ia menulis soal hubungan antara Malaysia dan RRC. Tempat tinggalnya digeledah dan konon ditemukan berkas rahasia itu. Koresponden ini didenda 10.000 ringgit. Seorang wartawan surat kabar Malaysia New Straits Times didenda 7.000 ringgit karena dalam salah satu tulisannya ia dituduh menggunakan rahasia angkatan udara Malaysia. Antipati Mahathir terhadap pers asing makin kelihatan setelah surat kabar Asian Wall Street Journal menurunkan seserial tulisan yang mengusut masalah keuangan di tingkat pejabat tinggi Malaysia yang oleh Mahathir diangkat menjadi menteri keuangan. Akbatnya, surat kabar itu dilarang beredar, dan dua korespondennya diusir dari Malaysia. Suara Mahathir terhadap pers asing terdengar makin sumbang. Bagaimanapun, di Malaysia masih ada kontrol, hingga eksekutif tak lalu bertindak seenaknya. Misalnya saja dalam kasus Asian Wall Street Journal itu. Akhirnya Mahkamah Agung Malaysia membatalkan pencabutan izin tinggal dan kerja wartawan surat kabar tersebut. Sebab, si wartawan ternyata tak diberi kesempatan mempertanggungjawabkan apa yang dituduhkan padanya. Koran itu pun boleh beredar kembali di Malaysia, setelah enam minggu hilang. Tidak mungkinnya muncul penguasa dengan kekuasaan tak terbatas juga dicerminkan oleh pecahnya UMNO. Mahathir sebagai pucuk pimpinan mendapat banyak kritik, terutama mengenai hasil pemilu dalam partai yang diselenggarakan pada April 1987. Beberapa delegasi yang ikut memberikan suara terbukti belum terdaftar sebagai anggota. Puncak krisis UMNOI ini, akhirnya Mahathir membentuk UMNO Baru. Ia boleh dianggap menang, karena semua kekayaan UMNO lama dioper menjadi milik UMNO Baru. Tak dimasukkannya Razaleigh dan konco-konconya dalam keanggotaan UMNO Baru menyebabkan mereka membentuk partai baru bernama Semangat '46. Tapi ini tampaknya tak begitu membahayakan kedudukan Mahathir, karena terbukti suara mayoritas rakyat masih memihak UMNO Baru. Juga karena bergabungnya musuh lama Mahathir, yakni Musa Hitam, ke dalam UMNO Baru, pada awal tahun 1989. Masih ada kaitannya dengan masalah ekonomi adalah masalah hutan tropis Malaysia. Adalah Bruno Manser, seorang Swiss, aktivis lingkungan hidup, mengecam kebijaksanaan Mahathir mengatur jalur kayu gelondongan di Sarawak, Malaysia Timur. Suku Penan yang tinggal di hutan dekat lokasi penebangan itu unjuk rasa. Perlawanan pertama pada tahun 1987. Suku ini merasa terganggu deru gergaji listrik dan raungan truk pengangkut kayu. Lalu mereka membuat barikade menutup jalan. Pihak keamanan menahan beberapa penduduk. Konon banyak pula yang digebuki dan dipenjarakan. Manser, yang ketika itu tinggal di situ, ikut menyaksikan semuanya. Ia lari berlindung, lalu mengecam pemerintah Malaysia. Kalangan pencinta kelestarian hutan perawan seperti Manser tentu saja memihak kepada suku Penan. Kehidupan modern telah mengusik ketenangan tradisional, katanya. Selama enam bulan Mahathir berkorespondensi dengan Manser cuma berdebat, apakah suku itu harus memilih tetap hidup di hutan atau masuk ke dunia modern. Mahathir tetap berpendirian, kemajuan ekonomi Malaysia tak harus dikorbankan hanya karena ada sekelompok orang yang terganggu oleh bising. Sebab, mereka bisa dipindahkan, dan dengan cara itu malah suku pedalaman itu diajak untuk masuk ke peradaban modern. Sampai keduanya bertemu di Rio de Janeiro, Juni silam, dalam acara KTT Bumi, Mahathir tetap pada prinsipnya: membawa suku Penan sama pandai dan sama kayanya dengan bumiputera lainnya, dengan cara memindahkan mereka dari hutan. Mahathir tak bersedia mengorbankan sumber pendapatan hanya karena protes bising. Satu lagi masalah yang mesti dipikirkan oleh Mahathir menjelang pemilu Malaysia 1995, yakni soal Negara Bagian Kelantan yang berniat menerapkan hukum Islam. Partai PAS, partai Islam yang berkuasa di Kelantan, sudah lama siap memperjuangkan ini. Bahkan di negara bagian ini sejumlah lembaga sudah diatur oleh hukum Islam. Misalnya, soal perbankan dan soal pegadaian. Dua lembaga itu di Kelantan tak menerapkan yang disebut bunga. Tapi ada yang disebut biaya administratif, sifatnya sekadar ongkos lelah. Tapi mungkinkah Mahathir menyetujui niat Kelantan? Tampaknya sulit. Soalnya, meski mayoritas Malaysia adalah muslim, hanya di Kelantan PAS berkuasa. Mahathir dalam hal ini cukup bijaksana, memperhatikan kepentingan semua etnis dan semua agama yang hidup di Malaysia: Islam, Kristen, Hindu. Dan tampaknya kasus Kelantan bisa diselesaikan dengan baik. Inilah salah satu sebab yang membuat para pengamat Malaysia berpendapat bahwa sikap Mahathir dalam soal Bosnia lebih karena kepentingan politik dalam negeri. Dengan tegas berpihak pada kaum muslim Bosnia, lalu memutuskan hubungan diplomatik dengan Yugoslavia (tepatnya, Serbia), Mahathir rupanya hendak menarik simpati umat Islam Malaysia. Hanya Tunku Razaleigh Hamzah, bekas sekutunya di UMNO yang kini memimpin Semangat '46, tak setuju dengan kebijaksanaan itu. "Kenapa memutuskan hubungan? Kita kan tidak berperang dengan mereka," komentar Razaleigh. Sedangkan kelompok muda Kelantan malah siap berjihad di pihak Bosnia. Tapi seberapa konsekuen sebenarnya Malaysia atau Mahathir membela kemanusiaan? Tiga tahun lalu pemerintah Malaysia menolak pendaratan orang perahu Vietnam. Langsung AS marah, dan membekukan bantuan sejuta dolar untuk angkatan bersenjata Malaysia. Mahathir tak peduli. Soalnya, beberapa tahun sebelumnya ia memang sudah berteriak-teriak kewalahan menampung orang Vietnam. Dan tak satu negara kaya pun menanggapinya. Jadi, tampaknya jelas. Batas itu adalah yang disebut kepentingan nasional. Karena itu pula ia marah besar pada film Turtle Beach buatan Australia. Film yang mulai diputar di Australia dan AS akhir Maret lalu itu menceritakan bagaimana sekelompok penduduk pantai di Malaysia menggasak pendaratan orang perahu Vietnam seperti mereka memarang kura-kura yang hendak bertelur di pantai. Pemerintah Malaysia marah dan menyatakan bahwa film itu sama sekali tak sesuai dengan kenyataan, "membikin aib negara dan bangsa". Dan tak cuma film Pantai Kura-Kura itu. Ada juga film Slow Boat to Surabaya, yang berkisah betapa tidak adanya alam demokrasi di Malaysia. Atau film seri Embassy yang menceritakan kisah fiktif tentang minoritas muslim yang tertindas di Muangthai dan Singapura. Tapi mungkin marahnya pemerintah Malaysia ada alasannya. Sebab, ada yang bilang bahwa film Turtle Beach, misalnya, "faktanya bisa salah, tapi secara emosional betul sekali". Itu dikatakan sendiri oleh Blanche d'Alpuget, novelis yang karyanya dijadikan film itu, yang pernah tinggal di Malaysia tahun 1970-an. Yang jelas, pemuda UMNO minta agar pemerintah Malaysia memikirkan kembali hubungan kebudayaan, perdagangan, dan lain-lain dengan Australia. Soalnya, film itu menyinggung nasionalisme mereka. Dilihat dari ini, Mahathir tampaknya sukses membangkitkan nasionalisme Melayu, atau lebih luas lagi, Malaysia. Bisa jadi, ia akan terpilih lagi, dua tahun lagi, setelah 14 tahun menjadi perdana menteri. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini