Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembersihan fahd

Puluhan imam masjid, khatib dan ulama lainnya di tangkapi pihak keamanan Arab Saudi. diduga, mereka merencanakan demonstrasi besar menuntut demokrasi. gejolak di Aljazair punya pengaruh.

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA pemuda Arab Saudi itu mungkin tak dikenal luas oleh masyarakat Arab Saudi sendiri. Dua pekan lalu, Sa'id Muhammad Aly el Farrash diberitakan harian terbesar ketiga di Arab Saudi, ElJazirah, bahwa pemuda yang aktif dan taat berjamaah di Masjidil Haram itu ditangkap polisi. Alasan penangkapan tidak jelas, kecuali bahwa ia dituduh sebagai orang yang mempertahankan hak asasi manusia. Kemudian ia kedapatan tewas, dan menurut visum dokter itu akibat pukulan benda keras. Bila kemudian tewasnya Farrash menjadi pembicaraan luas di masyarakat Arab Saudi, mungkin karena peristiwa itu terjadi di tengah penangkapan-penangkapan yang dilakukan pemerintah Riyadh. Dua pekan lalu itu pula, menurut tabloid mingguan Misr el-Fataa, Kairo, puluhan imam masjid, khatib, dan ulama lainnya ditangkapi pihak keamanan Arab Saudi. Orang lalu menduga, Farrash mempunyai kaitan dengan mereka yang ditangkapi. Menurut surat kabar New York Times, tindakan pemerintah Arab Saudi, konon, setelah mendapat bocoran akan ada demonstrasi besar yang digerakkan oleh organisasi yang menamakan diri Kebangkitan Islam. Kurang jelas, benarkah rencana dan gerakan Kebangkitan Islam itu ada. Yang pasti, ketika memimpin sidang kabinet Senin dua pekan lalu, Raja Fahd menyatakan keprihatinannya terhadap hujan kritik yang dilontarkan kaum Islam "fundamentalis" belakangan ini. Mungkin Fahd takut kecolongan, lalu memerintahkan menahan mereka yang dicurigai. Bisa jadi, itu semua ada kaitannya dengan gejolak yang terjadi di Aljazair. Yakni, dari menangnya partai Front Penyelamatan Islam dalam pemilu lokal pada 1990, pemilu nasional putaran pertama tahun lalu, dan dibatalkannya pemilu putaran kedua bulan lalu. Perhitungan di kertas, yang memastikan partai Islam Aljazair itu bakal menang, rupanya memberi semangat pada pendukung Islam "fundamentalis" di Arab Saudi. Kelompok Islam yang disebut-sebut sebagai "fundamentalis" di Arab Saudi terakhir muncul ke permukaan menjelang Perang Teluk. Ketika itu para ulama, dosen-dosen, dan mahasiswa Arab Saudi yang dianggap radikal melancarkan kritik terhadap Raja Fahd. Menurut mereka, tidak seharusnya militer Barat dihadirkan di tanah Arab yang suci. Kritik-kritik itu terus bergema selama dan sehabis Perang Teluk. Mungkin, munculnya suara-suara inilah yang membuat mereka saling tahu siapa yang berpendirian senada. Sejak itu suara kritik, keras atau lemah, menurut pengamat Arab Saudi, terus terdengar. Bukan lagi soal tentara Barat memang, tapi konon para ulama merasa risi dengan tingkah laku keluarga raja, termasuk pangeran dan anak-anaknya. Di mata para pemuka agama itu, kelakuan keluarga raja layak disebut fasaad (rusak), antara lain karena menerapkan nepotisme dan membiarkan korupsi. Lalu, menurut surat kabar The New York Times pula, akhir-akhir ini kritik melebar pada masalah perempuan yang bekerja dan berpendidikan tinggi. Tak layak, bunyi kritik, perempuan berada di tengah mereka yang bukan muhrimnya dalam waktu lama, apalagi secara rutin. Kritik tak hanya dilontarkan dalam khotbah-khotbah di masjid, tapi juga disebarluaskan melalui rekaman kaset. Sebelum Perang Teluk, kelompok "fundamentalis" Arab Saudi pernah mengadakan aksi yang gagal. Sekitar 250 aktivis "fundamentalis" menduduki Masjidil Haram. Bentrok senjata antara mereka dan tentara Arab Saudi pun tak terhindarkan sehingga membawa korban 200 orang tewas. Yang mungkin menambah pusing Raja Fahd, kini bukan kaum "fundamentalis" saja yang menuntut demokrasi, tapi juga mereka yang berlatar belakang pendidikan atau prokebebasan Barat. Kelompok inilah yang baru benar-benar muncul di masa Perang Teluk. Ketika itu, sejumlah wanita berdemonstrasi menuntut diizinkan mengemudi mobil sendiri. Memamg di Arab Saudi ada larangan bagi perempuan untuk menyetir mobil sendiri. Para pengamat berspekulasi kemungkinan adanya kerja sama antara kelompok "fundamentalis" dan kelompok, katakanlah, "liberalis". Meski banyak perbedaan antara keduanya, ini tercermin dari materi kritik mereka, dalam menghadapi "lawan" yang sama dapat saja mereka lalu menjalin kerja sama. Perbedaan itu, misalnya, kaum "liberalis" minta agar surat kabar dan televisi dapat menjadi media "debat yang sehat dalam masysarakat Islam". Kelompok "fundamentalis" mengkritik soal gambar perempuan yang dimunculkan di media cetak dan televisi. Padahal, para wanita Saudi itu muncul dengan tetap berpakaian menurut akidah Islam, tertutup dari kepala sampai jari kaki. Sikap keras Fahd, mungkin, karena khawatir kerja sama itu benar-benar terjalin. Leila S. Chudori (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus