Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASYARAKAT Thailand beramai-ramai pulang ke kampung halaman beberapa hari menjelang pemilihan umum, yang digelar pada Ahad, 14 Mei lalu. Tidak seperti aturan di Indonesia yang mengizinkan pemilih mencoblos di mana saja, di negeri itu pemilih hanya dapat mencoblos di daerah sesuai dengan alamat di kartu tanda penduduk.
Banyak dari mereka yang naik bus umum atau mobil pribadi selama 5-7 jam dari Bangkok untuk tiba di daerah asal masing-masing di provinsi-provinsi di timur laut, seperti Mahasarakham, Buri Ram, dan Surin. “Mereka menghabiskan uang Rp 1-2 juta agar dapat mencoblos di kampungnya,” kata Hamam Supriyadi, pengajar di Thammasat University, Bangkok, yang sedang berada di sebuah desa di Provinsi Mahasarakham pada hari pencoblosan. “Keramaiannya seperti Lebaran,” ujarnya, Sabtu, 27 Mei lalu.
Masyarakat tampak jauh lebih antusias pada pemilihan tahun ini dibandingkan dengan pemilihan umum pada 2019. “Kali ini mereka memilih dengan tujuan yang jelas, bahwa mereka ingin mengganti Prayut,” ucap Hamam.
Prayut Chan-o-cha adalah purnawirawan Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand yang menjadi perdana menteri melalui kudeta militer pada 2014, yang menggulingkan pemerintahan sipil Yingluck Shinawatra, adik mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra. Krisis politik negeri itu kemudian diwarnai persaingan antara kelompok Baju Merah, yang menentang kudeta dan pasal lèse-majesté, dan kelompok Baju Kuning, yang mendukung kerajaan serta menentang Thaksin dan penerusnya. Lèse-majesté adalah pasal karet dalam hukum pidana Thailand yang melindungi anggota keluarga kerajaan dari hinaan atau ancaman tapi sering digunakan untuk membungkam kelompok oposisi atau pengkritik.
Keinginan masyarakat agar politik Negeri Seribu Pagoda berubah tampak dari hasil pemilihan umum legislatif tahun ini. Partai Gerakan Maju (Move Forward), partai reformis yang tergolong muda, meraih kursi parlemen terbanyak dengan 152 dari total 500 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Pheu Thai, partai pimpinan Paetongtarn Shinawatra, putri bungsu Thaksin, menempati posisi kedua terbanyak dengan 141 kursi. Adapun Partai Bangsa Thailand Bersatu (United Thai Nation Party) pimpinan Prayut Chan-o-cha hanya kebagian 36 kursi.
Menurut Hamam, salah satu kunci kemenangan Gerakan Maju adalah posisinya yang berusaha di tengah dalam perdebatan tentang lèse-majesté. “Dia bukan anti-kerajaan atau pro-kerajaan. Tapi bagaimana membawa Thailand lebih maju dengan merevisi pasal itu agar lebih universal, seperti negara modern lain,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kunci kemenangan lain adalah upaya Gerakan Maju untuk merangkul anak muda melalui media sosial. Rangsiman Rome, anggota DPR dari Partai Gerakan Maju yang tahun ini terpilih kembali, mengakui bahwa partainya sangat serius memanfaatkan media sosial, dari TikTok sampai Facebook. “Kalau Anda menghabiskan banyak dana (untuk kampanye), Anda butuh investor dan suatu saat Anda akan korup ketika punya kekuasaan. Maka kami menggunakan media sosial (yang tak membutuhkan dana besar) untuk mengajak masyarakat bergabung,” katanya pada Senin, 22 Mei lalu.
Akun Twitter Rangsiman penuh dengan unggahan foto dan video yang familier dengan anak muda. Dia memajang fotonya bersama kucing peliharaannya. Ada pula gambar-gambar yang meniru poster film. Videonya banyak berisi perjumpaannya dengan pendukungnya dan mereka berfoto bersama. Rangsiman menyadari tak semua anak muda itu berhak memilih, tapi dia yakin anak-anak muda yang mendukung partainya juga akan meneruskan pesan partainya kepada keluarga mereka.
Gerakan Maju juga aktif dalam debat publik yang disiarkan di kanal-kanal televisi. Beberapa pendukungnya kadang kala mempublikasikan potongan dari debat itu, terutama yang mengandung pesan penting, di media sosial.
Partai itu juga menjalankan strategi “ketuk pintu”. “Semua calon anggota legislatif harus berbicara ke semua rumah, dari pintu ke pintu, sehingga kami dapat memastikan, jika Anda tidak menggunakan media sosial, Anda masih dapat terhubung dengan kami, Anda bisa berbicara tentang kebijakan kami,” tutur Rangsiman. Strategi ini mereka jalankan jauh hari sebelum kampanye dimulai.
Hamam, yang sudah 20 tahun bermukim di Thailand, mengakui bahwa Gerakan Maju sangat populer di media sosial. “Kami lihat Pita muncul di semua media sosial. Yang trending di TikTok itu Gerakan Maju,” katanya.
Pita Limjaroenrat adalah calon perdana menteri dan pemimpin Partai Gerakan Maju. Lelaki 43 tahun ini adalah putra sulung Pongsak Limjaroenrat, mantan penasihat Menteri Pertanian. Dia lulusan University of Texas, Amerika Serikat, dan kemudian meraih gelar master dari Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology. Saat berusia 25 tahun, Pita mengambil alih kepemimpinan Agrifood, bisnis minyak bekatul milik keluarganya yang sedang goyah, hingga kembali pulih. Dia juga sempat menjadi direktur eksekutif Grab Thailand.
Menurut Hamam, keberhasilan Pita memulihkan bisnis keluarganya dan rekam jejak akademiknya membuat dia sangat populer di mata anak muda dan kaum intelektual. “Dari segi fisik, anak muda juga suka karena dia ganteng,” tuturnya. “Belum pernah saya melihat popularitas seperti ini, yang mengalahkan artis Thailand.”
Gerakan Maju juga mengangkat isu yang menjadi keprihatinan publik, seperti “tradisi” kudeta. “Dari sisi mana pun, masyarakat Thailand tidak suka dengan kudeta. Partai itu hendak mematikan tradisi kudeta. Itu juga membuat Gerakan Maju menarik, terutama di kalangan akademikus, yang ingin melihat bagaimana mereka akan dapat menempatkan Thailand di mata dunia,” ujar Hamam.
“Negeri kami telah menderita karena sejarah kudeta. Tak banyak partai yang berbicara tentang reformasi militer, maka partai kami mencoba membuat kebijakan tentang itu,” kata Rangsiman. “Misalnya, kami ingin menghentikan kudeta melalui reformasi militer.”
Pita telah mengirim surat terbuka kepada militer yang berisi janji untuk mereformasi militer jika koalisi partainya nanti memerintah. Beberapa janji itu adalah memperbaiki kesejahteraan militer, mengakhiri penyiksaan terhadap tentara rendahan, dan menghapus wajib militer. Janji ini membuat Gerakan Maju berhadap-hadapan dengan para jenderal. “Itu kan seperti mendeklarasikan perang,” ucap Hamam. Namun, kata dia, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana sikap anggota Senat. Prayut telah mengamendemen konstitusi sehingga ia dapat menunjuk 250 anggota Senat, yang sebagian besar dari kalangan militer, yang turut memilih perdana menteri.
Gerakan Maju telah menggalang koalisi dengan Pheu Thai dan enam partai lain sehingga kini menguasai 313 kursi DPR, jumlah yang cukup untuk membentuk pemerintahan baru. Pita punya peluang besar untuk menjadi perdana menteri. Namun calon dari DPR ini juga harus dikonsultasikan dengan Senat. “Saya masih percaya Senat akan menerima karena kami adalah pemenang pemilu, karena kami dipilih rakyat,” tutur Rangsiman.
Sejauh ini, baru 20 senator yang menyatakan akan mendukung Pita sehingga dia masih memerlukan dukungan dari sedikitnya 42 senator lagi. “Kami tak boleh menyerah. Kekuatan rakyat tak boleh menyerah. Jadi kami harus berbicara untuk membuat mereka mengerti bahwa inilah cara agar negeri ini berlanjut,” ucap Rangsiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jaring Pita di Media Sosial"