Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI sudah satu dekade Mahkamah Konstitusi menguatkan hak masyarakat adat atas hutan yang turun-temurun mereka diami, pemerintah masih belum bergegas memberikan penetapan status hutan adat. Hingga Oktober 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menetapkan 148.488 hektare hutan adat untuk 105 komunitas. Padahal luas wilayah hutan adat di Indonesia yang terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat mencapai 20,7 juta hektare per Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan hutan adat merupakan solusi menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam dan merampas ruang hidup masyarakat adat. Lewat skema hutan adat, masyarakat adat bisa berdikari mengelola hutan sebagai ruang hidup mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam putusan Nomor 35 Tahun 2012, Mahkamah Konstitusi menghapus kata “negara” dalam rumusan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kehutanan sehingga berbunyi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Dengan putusan itu, jelas masyarakat adat memiliki hak mengelola dan memanfaatkan hutan leluhur mereka. Semua klaim sepihak pemerintah atas tanah di kawasan masyarakat adat tidak dapat dibenarkan, termasuk konsesi yang belakangan diberikan kepada perusahaan swasta ataupun badan usaha milik negara.
Faktanya, penguasaan tanah adat oleh pemerintah dan korporasi terus terjadi hingga kini. Konflik agraria pun terus meletus. Konsorsium Pembaruan Agraria menemukan 212 konflik agraria di 34 provinsi selama 2022. Sengketanya terkait dengan lahan seluas 1,04 juta hektare dan paling banyak di sektor perkebunan, yakni 99 kejadian.
Contoh konflik agraria yang berlarut-larut terjadi di wilayah adat suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Konflik berawal dari pemberian konsesi oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba kepada perusahaan perkebunan karet PT London Sumatra di atas wilayah adat Kajang pada 1974. Izin diperpanjang pada 1997 dan seharusnya berakhir pada 30 Desember 2023. Pada 2016, pemerintah memberi pengakuan atas hutan adat Kajang, tapi tanah adat mereka tak otomatis dikembalikan, hingga kini.
Konflik semacam itu bisa diselesaikan jika pemerintah konsisten menjalankan aturannya sendiri. Kita tahu proses penetapan hutan adat sendiri sudah rumit dan berliku. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mensyaratkan adanya peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat sebagai dasar penetapan hutan adat.
Pada praktiknya, proses pembuatan perda di tingkat kabupaten dan provinsi cenderung memakan waktu lama. Untuk mendapatkan pengakuan, masyarakat adat harus memenuhi banyak ketentuan, dari punya peta indikatif wilayah adat hingga memiliki bukti-bukti yang menunjukkan mereka sebagai komunitas adat. Tak semuanya bisa dipenuhi.
Wajar jika proses birokratis itu menimbulkan kemarahan dan frustrasi masyarakat adat dan pendampingnya. Terlebih, ada urgensi yang luar biasa ketika masyarakat adat dikepung konflik dan keterbatasan ekonomi. Karena itu, Undang-Undang Masyarakat Adat menjadi penting untuk meringkas prosedur yang rumit tersebut. Sayangnya, naskah Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang diusulkan sejak 2018, sampai kini tak juga disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat. Nasib masyarakat adat kian terpuruk di tangan pemerintah yang tak berpihak kepada mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hutan Adat Jalan di Tempat"