Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krisis utang Amerika Serikat mendekati babak akhir.
Kurs dolar meningkat, rupiah terancam.
Lesunya ekspor memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
KETEGANGAN yang menyelimuti pasar finansial global akibat krisis utang Amerika Serikat sudah mereda. Perundingan antara Presiden Joe Biden dan pemimpin Kongres, Kevin McCarthy, untuk menambah batas utang pemerintah menunjukkan titik terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir pekan lalu, di pasar beredar kabar baik. Kongres akan menambah batas utang sehingga cukup untuk mengongkosi keperluan pemerintah Amerika dua tahun ke depan. Kompensasinya, Presiden Biden akan memangkas pengeluaran pemerintah, yang merupakan tuntutan McCarthy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rincian kesepakatan itu memang belum ada, tapi pasar sudah yakin. Sentimen positif bahkan sudah melanda pasar dua pekan lalu ketika para pemimpin korporasi besar di Amerika dan para bankir terkemuka di Wall Street akhirnya cawe-cawe, ikut melobi. Bos-bos Wall Street bahkan memprotes secara terbuka kebuntuan politik yang tak masuk akal itu.
Perundingan itu memang terkesan konyol. Kesepakatan tak kunjung tercapai karena politikus Partai Demokrat yang menjalankan pemerintahan ataupun Partai Republik yang menguasai mayoritas Kongres tak mau mengalah, sama-sama mempertahankan gengsi. Maklum saja, pada 2024 Amerika memasuki tahun pemilihan umum. Padahal pertikaian ini mempertaruhkan nasib ekonomi Amerika dan stabilitas pasar finansial global.
Ekonomi Amerika bisa hancur jika kompromi tak tercapai. Amerika bisa jatuh menjadi negara paria berstatus gagal bayar karena pemerintahnya mengemplang utang. Tak terbayangkan pula bagaimana reaksi pasar keuangan dunia jika Amerika menyandang status negara pengemplang utang. Apakah dolar masih punya nilai jika peringkat kredit Amerika jatuh dan menyandang status "tak layak investasi"?
Untungnya, bagaikan dongeng, kisah ini mungkin berakhir dengan bahagia. Potensi bencana finansial yang mengerikan sepertinya tak terwujud. Pasar pun melakukan penyesuaian. Nilai tukar dolar Amerika yang sebelumnya tertekan berbalik menguat. Indeks dolar menanjak. Akhir pekan lalu, indeks yang mencerminkan pergerakan nilai dolar Amerika terhadap enam mata uang utama dunia itu sudah sampai pada angka 104,225. Artinya, indeks dolar sudah naik 1,98 persen dibanding pada awal Mei lalu.
Kurs dolar Amerika juga menguat terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Di awal Mei, nilai 1 dolar merosot hingga Rp 14.665. Pekan lalu, kursnya sudah kembali naik menjadi sekitar Rp 15 ribu per US$.
Masalahnya, ada kemungkinan tren penguatan dolar terhadap rupiah terus berlanjut di bulan-bulan mendatang. Pasar akan kembali pada pakem semula. Naik-turunnya nilai dolar Amerika terhadap rupiah akan lebih banyak bergantung pada merah-birunya neraca eksternal Indonesia. Salah satu indikator terpenting di sini adalah penerimaan ekspor yang sedang dalam tren menurun. Ekspor merosot karena penurunan harga komoditas.
Efek invasi Rusia ke Ukraina yang sempat membuat harga energi melonjak luar biasa kini makin melunak. Pasar komoditas sedang mengarah ke normalisasi harga. Data Badan Pusat Statistik cukup jelas menggambarkan risiko itu. Nilai ekspor Indonesia mulai memasuki tren penurunan.
Pada April lalu, ekspor turun 29,4 persen (secara tahunan). Ini adalah angka penurunan terbesar dalam 15 bulan terakhir. Tren penurunan ini sudah berlangsung dua bulan berturut-turut. Karena kondisi pasar komoditas yang melemah, bisa jadi tren penurunan ekspor akan berlanjut.
Investor juga perlu mencermati kinerja ekonomi secara keseluruhan. Setelah di kuartal I berada di atas perkiraan para analis, ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia kini memasuki siklus perlambatan. Pada April lalu, misalnya, angka pertumbuhan kredit perbankan hanya 8,08 persen, melambat ketimbang pada Maret yang mencapai 9,93 persen. Melambatnya pertumbuhan kredit bisa kita baca sebagai gejala awal melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Setelah berhasil melewati gejolak pasar global dengan aman, termasuk krisis utang Amerika Serikat, rupiah kini memasuki ujian lokal: tren melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, para politikus yang sibuk menjelang pemilihan umum seolah-olah tak peduli akan kondisi ekonomi yang muram.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak di bawah judul "Ujian Setelah Krisis Global Mereda"