Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pemilu yang dimencongkan & jenderal

Keadaan di panama makin tak menentu. pemilu dinyatakan batal oleh manuel antonio noriega, padahal pihak oposisi memenangkannya. as mengirimkan 2000 tentara ke panama. noriega mempertahankan kekuasaannya.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMOKRASI tambah jauh dari Panama. Tampaknya Jenderal Noriega menghalalkan segala cara untuk tetap berkuasa. Termasuk meneror lawan politiknya, dan menggunakan todongan senjata untuk memalsukan kertas suara dalam pemilu Panama, pekan lalu. Pemilu yang memang sudah direncanakan oleh pemerintah Panama itu, yang dilangsungkan Ahad pekan lalu, diduga sebenarnya dimenangkan oleh kelompok oposisi. Guillermo Endara, calon presiden dari Persekutuan Demokrasi Sipil, partai oposisi, memenangkan suara 3 berbanding 1 atas Carlos Duque, calon presiden yang ditunjuk oleh Noriega. Tentu saja dugaan itu mencemaskan si penguasa de Jaco, Pangab Noriega. Menurut Jimmy Carter, bekas presiden AS yang diundang ke Panama untuk menjadi saksi jalannya pemilu -- semula Noriega yakin bahwa rakyatnya tak akan memilih calon dari partai oposisi. Maka Noriega pun memerintahkan tentaranya menyerbu pusat-pusat penghitungan suara. Di Stadion Musim Dingin Orlando, yang dijadikan markas kaum oposisi misalnya, kertas-kertas suara dirobeki dan diganti dengan kertas suara berisi nama Carlos Duque. Bersama satu tim pengamat independen, Jimmy Carter menemukan banyak kertas suara palsu. Carter pun protes. Tapi ia buru-buru digiring keluar dari pusat pemungutan suara. Tak hanya itu ulah orang kuat Panama tersebut. Ia melakukan teror terhadap calon dari oposisi. Suatu hari di tengah jalan, Endara dan para pengawalnya dicegat dan dipukuli oleh orang-orang yang mengenakan baju bertulisan "Batalion Kehormatan". Kabarnya, dua pengawal Endara tewas. Protes pun marak di seantero Panama. Tapi pintarnya, Noriega tak lalu menyatakan bahwa pemilu dimenangkan oleh calon dari pemerintah. Tiga hari setelah pemilihan, ia mengumumkan bahwa pemilu dinyatakan batal karena pihak oposisi berbuat curang. Keadaan di Panama pun makin tak menentu. Giliran Presiden George Bush yang cemas. Ia mengkhawatirkan keselamatan warga AS di Panama dan keamanan Terusan Panama -- pintu ekonomis bagi lalu lintas laut dari dan ke pelabuhan-pelabuhan AS. Maka Jumat pekan lalu ia kirimkan hampir 2.000 tentara, komplet dengan paralatan perang model mutakhir, untuk membantu sekitar 11.000 serdadu AS yang sudah bermarkas di Terusan Panama. Mengingat negeri berpenduduk hampir 2,4 juta ini hanya mempunyai sekitar 15.000 tentara, mestinya tindakan Bush lebih sebagai gertak daripada bantuan nyata. Tapi bisakah Noriega digertak? Sudah sejak zaman Presiden Ronald Reagan, awal tahun lalu, upaya Amerika menggeser Noriega dari kursi kekuasaannya, dengan sanksi ekonomi yang menyebabkan kehidupan di Panama sebentar macet, tak membuahkan apa pun. Bahkan tuduhan bahwa Jenderal itu terlibat perdagangan obat bius tak membuat kedudukannya bergeming sesenti pun. Tampaknya Noriega tak cuma kuat dan licik, tapi juga taktis. Lihat saja perkembangan sampai awal pekan ini. Tiba-tiba saja ada pengumuman dari pejabat tinggi dari Partai Revolusioner Demokrasi, partai yang didukung Noriega, bahwa perlu dibentuk satu pemerintahan sementara yang melibatkan Carlos Duque dan Guillermo Endara. Adalah tugas pemerintah sementara ini untuk menyelenggarakan pemilu, paling lama setahun kemudian. Dan setelah itu, Jenderal Noriega akan mengundurkan diri. Untunglah, taktik murahan ini langsung ditolak oleh partai oposisi. Ricardo Arias Calderon, calon wakil presiden dari partai oposisi, menyatakan menolak segala usulan yang bermaksud membatalkan pemilihan umum pekan lalu. Dan untuk mendesak pemerintah Panama mengakui hasil pemilu yang benar, pihak oposisi menyerukan pemogokan umum mulai Rabu pekan ini. Sampai pekan ini, belum jelas nasib pemilu Panama. Yang sudah pasti adalah kritik sejumlah pejabat AS terhadap tindakan Bush mengirimkan bantuan tentara. Dari segi politis, itu tak menguntungkan, kata mereka. Sebab, bila akhirnya Panama dikuasai oleh orang yang tak menyukai AS, runyam akibatnya. Soalnya, terhitung 31 Desember tahun depan, AS -- yang mengontrak Terusan Panama sejak awal 1900-an -- sudah harus menyerahkan kepada pemilik sebenarnya. Dengan kata lain, bila orangnya Noriega nantirya yang menguasai Panama, setidaknya AS menghadapi kesulitan untuk memakai Terusan Panama secara leluasa. Boleh dikatakan, itu adalah kemenangan Panama yang pertama daf AS. Sebab AS-yang memang berjasa meneruskan pembangunan Terusan Panama sampai selesai ketika pembangunannya macet karena kehabisan dana -- maunya mengontrak Terusan tersebut tanpa batas, waktu. Panama, yang sebagian besar pendapatannya memang dari uang kontrak Terusan Panama, tentu saja, tak setuju. Beberapa kali terjadi kericuhan karena itu, dan akhirnya pemerintah Panama berhasil mendesakkan perjanjian baru, 1977, bahwa batas kontrak AS cuma sampai akhir tahun depan. Padahal Terusan Panama yang membentang sepanjang 81,63 km itu merupakan jalur pelayaran penting bagi AS dan sejumlah negara lain. Dalam setahun, tak kurang dari 13 ribu kapal dagang milik Jepang, Inggris, Italia melewati terusan yang menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik itu, dan sebagian besar kapal-kapal itu berlayar dari dan ke pelabuhan-pelabuhan di AS. Itu semua menghasilkan pajak rata-rata sebesar US$ 135 juta per tahun. Tentu saja uang ini jatuh ke tangan pengontrak, ya, AS itu. Meski AS harus membayar sebesar US$ 75 juta kepada Panama, Paman Sam tetap untung besar, terutama penghematan jarak (yang berarti menghemat waktu dan bahan bakar) bagi kapal-kapal AS dan rekan dagangnya. Masih terluang satu kesempatan bagi AS untuk tetap "menguasai" Terusan Panama. Yakni pasal dalam perjanjian 1977 itu yang menyebutkan bahwa AS dibenarkan melakukan intervensi militer untuk menjaga kenetralan pintu ekonomis itu. Adakah Bush akan memanfaatkan pasal tersebut? Beranikah ia mengabaikan imbauan Uni Soviet agar AS tak mencampuri urusan dalam negeri Panama?Didi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum