KEPRIHATINAN tampak jelas kendati meriam ditembakkan 21 kali, dan karpet merah digelar untuk menyambut kehadiran Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev di bandar udara Beijing. Saat itu, Senin siang pekan ini, tak tampak kibaran bendera RRC dan Soviet atau aneka macam umbul-umbul. Seolah tak ada peristiwa pentin. Padahal, inilah pertemuan puncak Sino-Soviet pertama setelah 30 tahun. Penyederhanaan suasana pertemuan puncak dua raksasa merah itu memang beralasan. Sudah tiga pekan belakangan ini RRC dilanda demonstrasi mahasiswa. Bahkan di Senin itu lalu lintas di jalan-jalan utama Beijing lumpuh. Puluhan ribu mahasiswa mengalir deras dari kampus-kampus di kawasan utara menuju Tienanmien. "Hidup Demokrasi. Matilah Birokrasi. Seluruh Rakyat Cina Bersama Mahasiswa." Itulah bunyi ratusan spanduk yang mereka arak. Demikian hebatnya arus barisan itu hingga ribuan petugas keamanan tak berkutik. Tapi boleh jadi polisi memang membiarkan mahasiswa yang meneriakkan sanjungan terhadap reformasi politik Gorbachev. Bukankah itu bisa menjadi bukti bagi sang tamu agung, bahwa Beijing pun menggelindingkan sejenis glasnost, politik keterbukaan? Dunia mulai yakin bahwa pertemuan RRC-Soviet pasti terselenggara ketika tiga tahun lalu Gorbachev berpidato tentang pentingnya menghilangkan ketegangan di Asia. Dan memang jalan segera dirintis Gorbachev. Tiga syarat mutlak yang diajukan RRC langsung disetujui oleh Bapak Glasnost. Soviet harus menarik seluruh pasukannya dari Afghanistan, menghentikan dukungan kepada pendudukan Vietnam di Kamboja, dan menarik sebagian pasukannya dari sepanjang perbatasan dengan RRC -- itulah tiga syarat untuk pertemuan yang sebelumnya selalu ditolak oleh pemimpin Soviet sebelum Gorbachev. Sebaliknya sambutan dari RRC tak kalah hangat. Negeri Panda ini kini siap mem-PHK 500 ribu prajuritnya yang sebagian bertugas sebagai pengawal perbatasan dengan Kamboja dan Vietnam, bersamaan dengan tuntasnya penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja yang direncanakan September nanti. Maka, tampaknya Gorbachev tinggal bilang "oke" terhadap 5 prinsip yang sudah dipersiapkan oleh Deng Xiaoping untuk diajukan di Pertemuan Beijing. Yakni saling menghargai integritas teritorial, tak akan saling menyerang, saling tak ikut campur urusan dalam negeri, hidup berdampingan secara damai, dan saling memetik keuntungan dari hubungan kedua negara. "Kita harus menyelesaikan perselisihan lewat dialog," ujar Deng Xiaoping Senin pekan lalu di Beijing. Mengganti moncong senjata dengan diplomasi memang pilihan terbaik bagi Soviet dan RRC, jika tak ingin terus dicekik oleh kesulitan ekonomi. Bukan rahasia lagi, industri kedua raksasa komunis itu sulit berkembang lantaran digerakkan oleh mesin-mesin yang sudah kedaluwarsa. Dalam sektor perdagangan, keduanya dikepung rapat oleh negara-negara Barat, yang punya jaringan kuat di pasar bebas. Dengan rujuk, kedua negara bisa menjelma menjadi satu kekuatan ekonomi van bisa menandingi kekuatan Pasar Bersama Eropa yang akan dimulai pada 1992 mendatang. Bahkan mengimbangi pasar Amerika Utara yang sudah dibentengi oleh FTA (Akta Perdagangan Bebas AS-Kanada) sejak beberapa tahun lalu. Yang menarik dari pertemuan dua raksasa merah di zaman ketika banyak negeri sosialis mengubah haluan itu, tak ada persyaratan bahwa mereka harus bercerai dengan AS. Buktinya, Kamis pekan ini, ketika Gorbachev berkunjung ke Kota Shanghai, 3 kapal perang AS diundang untuk bersandar di pelabuhan kota industri tu. Kedua raksasa komunis itu memang membutuhkan AS, karena bisa dimanfaatkan untuk mengubah citra negara nonkomunis. Paling tidak untuk memancing kepercayaan, bahwa Soviet dan RRC bukan lagi "setan", sehingga bisa dijadikan rekanan ekonomi-bisnis. Itu membuktikan bahwa kedua pihak sudah membuang ketakutan masing-masing terhadap tetangganya. Bagi ASEAN rujuk Soviet dan RRC bisa mengurangi kekuatan militer di kawasan Asia Tenggara, yang kini dikonsentrasikan di pangkalan Subik dan Clark di Filipina. Ingat, RRC sudah menyatakan tak akan lagi ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, yang secara de facto juga berlaku bagi negara ASEAN lainnya. Alhasil, untuk mengimbanginya, warga ASEAN bisa saja merasa terpaksa untuk tidak helanja senjata lebih banyak. Berjabat tangannya Cina-Soviet mestinya juga akan berpengaruh di Semenanjung Korea. Paling tidak, keduanya bisa memaksa Korea Utara agar tak bersikap konfrontatif lagi. Selama ini Soviet dan RRC berebut pengaruh di Korea Utara. Keduanya jor-joran memberikan bantuan senjata. Kedua pemasok senjata itu kini tentu lebih realistis, hingga Korea Utara pun harus berpikir dua kali sebelum nekat memancing insiden. Misalnya meledakkan pesawat penumpang milik Korea Selatan, seperti pernah dilakukan untuk mengacaukan Olimpiade Seoul -- setidaknya menurut tuduhan Korea Selatan. SEMENTARA itu, diharapkan pula berhentinya perang dingin Sino-Soviet akan mempengaruhi hubungan RRC-India-Pakistan. Dekatnya RRC dengan Soviet kemungkinan bisa mendorong hubungan baik India-RRC. Lebih jauh, masalah perbatasan di kaki Himalaya, misalnya, bisa terpecahkan. Juga, tuduhan India bahwa RRC menjual senjata ke Nepal bisa lantas dijernihkan. Yang masih sulti ditebak adalah, apakah RRC akan menerapkan semacam glasnost dan perestroika. Kemungkinan tidak. Setidaknya selama Deng Xiaoping dan Perdana Menteri Li Peng masih berkuasa. Pasalnya, kedua orang itu menganggap situasi RRC berbeda dengan Soviet. Li Peng ada benarnya. RRC punya pengalaman buruk kala dipimpin oleh duet Ketua PKC Hu Yaobang dan Perdana Menteri Zhao Ziyang -- kini kondang sebagai Bapak Reformasi Cina di kalangan mahasiswa. Dalam versi Li Peng, pembaruan yang dijalankan oleh kedua pemimpin itu berantakan lantaran radikalisme politik tumbuh subur. Dengan alasan itulah Deng dan Peng lantas berkonsentrasi pada reformasi ekonomi. Restrukturisasi politik dikebelakangkan. Tapi kini Deng menghadapi efek pembangunan ekonominya. Ternyata pukulan inflasi di RRC mengalahkan kegembiraan sementara ketika pasar bebas diterapkan. Ketidakpuasan pada pembangunan ekonomi itulah, antara lain, yang meledakkan protes mahasiswa. Bisa dimengerti bila di seputar pertemuan puncak Deng Gorby para reformis kembali menyuarakan perlunya reformasi politik. Zhao Ziyang, Sekjen PKC yang dicap Li Peng terlalu "maju", bahkan berani bersuara sama dengan mahasiswa yang sudah tiga minggu melancarkan aksi mogok belajar. Katanya, sehelum pertemuan puncak dilangsungkan: "Kami tak akan malu hanya dengan reformasi di bidang ekonomi. Diperlukan restrukturisasi politik. Deng ternyata sudah menyiapkan jawaban lebih dulu. Akhir bulan lalu dia memerintahkan aparat pemerintah dan partai, termasuk tentara, agar meredam semua aksi mahasiswa. Dan rumah-rumah sakit diingatkan supaya bersiap-siap menerima banjir pasien. Cuma, perintah itu belum juga berjalan. Mungkin perintah baru akan dijalankan setelah Gorbachev pulang. Atau karena perintah itu diblokir oleh orang-orang yang simpati kepada mahasiswa. Seorang pejabat tinggi beberapa waktu lalu menelepon Qiao Shi, salah seorang anggota senior Politbiro, dan bilang, "Siapa pun yang memerintahkan penggunaan kekerasan, dia akan diludahi selama 10 ribu tahun. Analisa lain, dikatakan oleh Gao Fang, guru besar politik internasional Universitas Beijing, jabatan Deng sebagai Ketua Komisi Militer PKC sebenarnya cuma simbol. Konon kebanyakan anggota partai menghendaki dia pensiun. Tampaknya pertemuan puncak di Beijing lebih menguntungkan pihak reformis. Jumlah kaum buruh yang bergabung dalam demonstrasi meningkat, sementara makin banyak petugas keamanan yang, memasang muka manis kepada para demonstran. Dan pujian untuk Gorbachev terdengar makin keras. Tapi efek pertemuan bagi urusan dalam negeri RRC mungkin sedikit pengaruhnya terhadap perdamaian di kawasan Asia -- terutama di Asia Timur, Selatan, dan ASEAN. Senin pekan lalu Soviet telah menarik satuan tank dan pertahanan udaranya dari Mongolia. Bila ada ganjalan, itu tampaknya soal Kamboja. Sejauh ini RRC masih berkukuh mendukung pemerintahan sementara yang melibatkan Khmer Merah. Sungguh disayangkan bila pertemuan berantakan garagara Cina tetap ngotot dengan dukungannya -- dan itu hanya karena alasan sejarah masa lalu: Vietnam dan RRC memang tak pernah bisa akur.Praginanto & Isma Sawitri (Beijing)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini