Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pendekar yang naik-turun

Profil dan latar belakang kehidupan deng xiaoping, 84, karier politiknya diawali saat berkenalan dengan pediri PKC di prancis, zhou enlai. deng dituduh borjuis yang anti marxis. mahasiswa menuntut demokrasi.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENG Xiaoping, yang diduga keras berada di belakang layar demonstrasi terbesar sejak RRC berdiri, tak berasal dari kaum proletar. Darah militer juga tak mengalir di tubuhnya, meski hampir seluruh perjalanan kariernya tak terpisahkan dari dunia ketentaraan. Dia dilahirkan oleh keluarga tuan tanah di Provinsi Sichuan pada 1904. Pada usia 15 tahun dia dikirim ke sekolah Prancis dekat Kota Chungking. Dan setahun kemudian, Deng berangkat ke Paris. Di kota mode itulah Deng tak cuma akrab dengan dunia pertanian modern. Tapi juga dengan komunisme lantaran bersobat dengan Zhou Enlai, yang kemudian menjadi perdana menteri RRC. Zhou adalah pendiri dan pemimpin cabang Partai Komunis Cina di Prancis. Maka, pada 1925, ketika masa belajarnya di Paris usai, Deng tak langsung pulang. Dia bermukim dulu di Moskow selama setahun sebagai mahasiswa di Universitas Oriental. Konon, untuk mematangkan pemahamannya pada ajaran Marxisme-Leninisme. Setibanya di RRC, Deng langsung diangkat sebagai salah satu dekan di Akademi Militer Chungshan. Tak lama kemudian, ia bertugas di beberapa satuan militer di Provinsi Kiangsi. Di tahun 1927, ketika pemerintah koalisi Komunis-Kuomintang pecah, Deng kabur ke Shanghai, mengorganisasikan gerakan bawah tanah melawan rezim Kuomintang. Dari Shanghai, Deng hijrah ke Yukiang. Nah, di sini Deng kena batunya. Gagasannya untuk mempraktekkan sistem pertanian kolektif berantakan karena rakyat ternyata menghormati hak milik pribadi. Bisa jadi peristiwa itulah yang membuat Deng lalu bersikap mendua. Dia kolot dalam soal politik sehingga selalu ngotot untuk mempertahankan dominasi partai. Dalam ekonomi, dia tak mengharamkan kapitalisme. Deng kembali ke medan gerilya, bergabung dengan sayap militer partai yang beroperasi di wilayah pedesaan. Pada 1932, namanya mulai mencuat. Mao, yang sedang getol berkampanye untuk menggabungkan Provinsi Kiangsi dengan Soviet, mengangkat Deng sebagai kepala biro propaganda Tentara Merah di Kiangsi, merangkap redaktur koran resmi partai, Bintang Merah. Mao termasuk orang yang terpikat pada Deng. Maka, pada 1934-1935, ketika ia mengadakan long march menuju pegunungan di wilayah utara Cina, Deng diangkat sebagai komisaris politik merangkap wakil komandan pasukan divisi ke-12. Lalu, 1937, ketika Jepang menyerbu Cina, Deng diangkat menjadi komisaris politik sebuah divisi dalam Tentara Rute Delapan, yang kerap dianggap sebagai ujung tombak perjuangan kaum komunis menghadapi Kuomintang dan Jepang. Pada 1949 nama Deng mengejutkan dunia. Ia berhasil memimpin pasukan komunis menyeberangi Sungai Yangtze untuk menggilas kekuatan terakhir pasukan Kuomintang. Saat itu -- bahkan sampai kini -- ia kontan kondang sebagai ahli strategi militer paling tangguh dalam sejarah modern Cina. Empat tahun kemudian, Deng dipanggil ke Beijing -- Mao sudah menyiapkan sederet jabatan penting. Bayangkan, sejak kehadirannya di Ibu Kota sampai 1958, Deng diberi lima posisi strategis: menteri keuangan, sekjen sentral komite, wakil ketua Dewan Pertahanan Nasional, wakil perdana menteri, dan anggota tetap politbiro. Merasa dirinya sudah kuat, Deng lalu unjuk gigi. Tak lama setelah diangkat sebagai anggota tetap politbiro, pada 1956, dia ngotot agar RRC menempuh kebijaksanaan ekonomi yang rasional dan realistis. Bagi Deng, untuk meningkatkan produktivitas, kaum buruh dan tani harus diberi rangsangan materiil. Deng tak peduli bahwa Mao, yang sedang di-"dewa"-kan oleh rakyat, lebih percaya pada dogma revolusioner. Mao berang bukan kepalang. Maka, tahun 1958, dia melancarkan gerakan Meloncat Jauh ke Depan. Sebuah program yang mau menerapkan sistem komunal terhadap semua aktivitas pertanian. Program ambisius itu gagal total. Ini menyelamatkan kaum reformis. Partai pun lalu diserahkan kepada Deng, sedangkan pemerintahan dikuasai oleh Presiden Liu Shaoqi. Menjelang akhir 1966, suatu perubahan tiba-tiba terjadi. Deng dan rekan-rekan sungguh terkejut bahwa angin keras Revolusi Kebudayaan menerpa mereka. Pengawal Merah menggelar poster-poster raksasa berisi kutukan terhadap semua lawan politik Mao, dan itu termasuk Liu dan Deng. Presiden Liu, yang hilang sampai sekarang, dituduh sebagai "Khrushcnev dari Cina". Suatu hari Deng diarak di jalanan dalam pakaian tidur, dipaksa mengaku bahwa dirinya belum layak menjadi pemimpin RRC. Berbagai spekulasi kontan bermunculan. Ada yang menyatakan bahwa Deng dan rekan-rekan langsung dipecat dan dikirim ke penjara. Ada pula yang percaya, Deng cuma dibuat nonaktif. Tapi sungguh mengejutkan, pada April 1973, Deng tiba-tiba muncul dalam acara makan malam untuk menyambut kehadiran Pangeran Norodom Sihanouk di Beijing. Bahkan kemudian ia diangkat lagi sebagai calon anggota sentral komite dan politbiro. Orang yang diarak di zaman Revolusi Kebudayaan itu berpamor lagi. Dalam sidang pendahuluan kongres partai ke-l0, Agustus 1975, Deng hadir sebagai wakil perdana menteri, anggota tetap politbiro, dan salah satu ketua partai. Dua minggu kemudian ia dilantik sebagai kepala staf angkatan darat, sebuah jabatan strategis untuk menapak ke puncak kekuasaan. Aneh? Sebenarnya tidak. Mao memang tak punya pilihan lain. Hanya Deng yang bisa diandalkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan di tubuh militer sejak ditinggalkan oleh Lin Biao pada 1970. Selain itu, Mao juga butuh keahlian Deng sebagai administrator dan politikus untuk membenahi partai dan birokrasi pemerintahan. Tapi bagaimana bisa di satu kapal ada dua nakhoda? Mao akhirnya merasa tersaingi. Ia berpaling kepada Hua Guofeng di politbiro. Begitu Zhou Enlai pada Januari 1976 meninggal, Hua Guofeng diangkat sebagai perdana menteri, dan nama Deng tak dimasukkan dalam susunan kabinet. Tak cuma sampai di situ. Sekali lagi angin kekuasaan berbalik menyerang Deng. Koran-koran mengecamnya sebagai tokoh borjuis yang tak pernah menjadi Marxis. Tapi Deng tak terlalu lama memasuki hari gersang. September 1976, Mao Zedong meninggal. Hua Guofeng tak menganggap dia sebagai lawan. Pada 1977, Deng sudah menduduki jabatan strategis kembali, sampai akhirnya, 1978, dia menjadi ketua sentral komite. Puncak karier dicapainya pada 1981. Ia menjadi ketua Komite Militer, yang secara de facfo adalah penguasa tertinggi. Ia dudukkan Hu Yaobang sebagai sekjen partai, ia hilangkan jabatan ketua. Deng, yang melancarkan pembangunan ekonomi, tetap tak mau melepaskan kendali politik. Akibatnya, 1987 kampus bergolak, menuntut demokrasi. Dibungkam, sejumlah intelektual dicopot dari kampus. Hu Yaobang pun, yang diduga mendalangi aksi itu, diganti. Kini kita tunggu saja apa lagi yang mau diperbuat oleh Deng.Prg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum